Dua hari ini, 3-4 November Himpunan Mahasiswa Jurusan saya mengadakan pelatihan jurnalistik. Kebetulan saya menjadi panitia, sekaligus peserta. Dua hari yang menyenangkan untuk saya, rasanya tak pernah membayangkan di kampus ini saya akan menemukan sebuah pelatihan jurnalistik. Rasanya seperti oase di tengah gurun.
Tulisan ini tidak bermaksud mereview bagaimana pelatihan jurnalistik itu. Saya justru ingin bernostalgia dengan kenangan-kenangan. Dua hari ini mengingatkan saya ketika saya masih begitu sering membaca buku, sastra, novel dan bacaan-bacaan lain yang menurut saya 'berbobot'. Hari-hari itu adalah hari dimana produktifitas menulis saya cukup tinggi. Entah menulis cerpen, opini atau bahkan update blog?
Kini? Saya nyaris tak lagi membaca. Ironis? Jelas.
Alasannya? Tugas kuliah yang terlalu menyita waktu. Klise? Iya.
Kecewa? Pasti.
Kurang membaca ini membawa dampak pada kemampuan menulis saya. Menurun drastis. Kemampuan mengolah kata, bermain dengan diksi, mengolah imaji menjadi narasi kini menjadi berat. Membangun opini menjadi susah ketika saya tak memiliki banyak sumber untuk membangun opini itu sendiri.
Dari situlah, saya kembali pada kesadaran bahwa orang yang tak membaca tak akan bisa menulis. Orang yang tak membaca bacaan yang bagus dan bermutu, akan menulis dengan buruk dan tak berbobot. Seperti saya saat ini.
Sekali lagi, membaca menjadi sangat perlu. Tak lagi melulu, membaca ebook materi kuliah namun juga buku-buku seperti dulu. Buku-buku yang menyelamatkan dahaga saya akan dunia.
Tulisan ini tidak bermaksud mereview bagaimana pelatihan jurnalistik itu. Saya justru ingin bernostalgia dengan kenangan-kenangan. Dua hari ini mengingatkan saya ketika saya masih begitu sering membaca buku, sastra, novel dan bacaan-bacaan lain yang menurut saya 'berbobot'. Hari-hari itu adalah hari dimana produktifitas menulis saya cukup tinggi. Entah menulis cerpen, opini atau bahkan update blog?
Kini? Saya nyaris tak lagi membaca. Ironis? Jelas.
Alasannya? Tugas kuliah yang terlalu menyita waktu. Klise? Iya.
Kecewa? Pasti.
Kurang membaca ini membawa dampak pada kemampuan menulis saya. Menurun drastis. Kemampuan mengolah kata, bermain dengan diksi, mengolah imaji menjadi narasi kini menjadi berat. Membangun opini menjadi susah ketika saya tak memiliki banyak sumber untuk membangun opini itu sendiri.
Dari situlah, saya kembali pada kesadaran bahwa orang yang tak membaca tak akan bisa menulis. Orang yang tak membaca bacaan yang bagus dan bermutu, akan menulis dengan buruk dan tak berbobot. Seperti saya saat ini.
Sekali lagi, membaca menjadi sangat perlu. Tak lagi melulu, membaca ebook materi kuliah namun juga buku-buku seperti dulu. Buku-buku yang menyelamatkan dahaga saya akan dunia.