Tuesday, 17 August 2021

Perjalanan Mencari Rumah - Part 1

Mengapa kita perlu rumah?

Saya rasa ini kembali ke pelajaran ekonomi waktu saya masih SMP. Sandang, pangan, papan. Jelas rumah adalah kebutuhan pokok yang bersifat fisik. Namun, lebih dari itu saya rasa perjalanan mencari/membangun/mendapatkan rumah adalah soal perasaan pulang. Rasa selalu bisa diterima dan menjadi diri sendiri.

Saya sendiri, hingga detik ini, masih menganggap rumah saya adalah rumah di mana saya dibesarkan. Saya tetap memanggil rumah Ibu saya sebagai rumah. Apalagi memang di KTP dan KK masih tertera begitu. Kemanapun kaki saya ini melangkah, mau ke Magelang, Surabaya bahkan hingga ke Eropa, rumah saya tetap sama. 




Saya kemudian beruntung karena memiliki rejeki yang cukup untuk membawa ibu saya hadir untuk wisuda saya di Inggris. Kami sempat juga berziarah ke Marrakesh, ke makam ulama-ulama Islam lampau yang tersohor. Ada rasa yang berbeda saat itu. Saya sendiri juga pernah mengunjungi beberapa negara lain di Eropa, sebagai pelancong tentu saja. Tapi melancong ke negeri lain dengan Ibu membuat saya memiliki perasaan yang berbeda. Rasanya seperti di rumah. Raga saya memang tidak di rumah, tapi jiwa saya merasa tenang seperti di rumah. Ada Ibu. Rupanya yang membuat rumah begitu dirindukan adalah rasa pulang itu sendiri. Pulang ke pelukan Ibu. Rumah itu, semakin terasa magnet dan magisnya justru ketika saya secara fisik semakin jauh. 1 tahun saya di Inggris membuat saya semakin sadar, perjalanan saya jauh jauh hingga Eropa itu ternyata mengukuhkan bahwa saya selalu ingin pulang. Saya pergi bukan untuk menjelajah, tapi untuk mendapatkan nikmatnya rasa pulang.




Sampai akhirnya saya menikah. Saya dan suami memilih mengontrak rumah di kawasan Jakarta Selatan karena lokasi saya bekerja. Hingga hari ini, kami lebih sering menyebutnya kontrakan. Bukan benar-benar rumah. Mungkin, dalam benak kecil kami, kami merasa ini pun adalah tempat singgah, bukan tempat pulang seperti rumah. (Suami saya juga masih menyebut perjalanan ke Jember sebagai perjalanan pulang, sama seperti saya menyebut perjalanan ke Temanggung.)

Hingga akhirnya kami mulai berunding soal rumah ini. Apakah sudah saatnya kami memiliki rumah kami sendiri? Diskusi saya dan suami cukup panjang. Diskusinya mulai dari "wah, rumah ini nampak bagus" hingga "yuk kita pikirkan lagi rumah seperti apa yang kita cari". Cukup panjang. Untuk sesama perantau di Jakarta tanpa ada orang tua di Jakarta, memiliki rumah itu adalah hal besar yang kami benar-benar buta bagaimana memulainya. Tak ada peta untuk menuntun.



Kembali soal kebutuhan dasar, kami pun sadar betul untuk mewujudkan rumah ini harus dengan hal yang bersifat fisikal juga uang. (Okay, kita bisa berdebat panjang soal apakah uang ini nyata atau hanya konstruksi sosial yang disepakati bersama tapi agar tulisan ini tidak semakin panjang maka mari kita sebut uang adalah hal fisik).

Kami tentu membahas dengan sangat dalam soal finansial dalam urusan memiliki rumah ini, namun akhirnya di tengah perjalanan kami, kami sadar ada hal penting yang harus dibahas dan tak boleh luput. Rasa pulang, rasa aman, rasa diterima dan menjadi diri sendiri. Hal-hal semacam inilah yang sebenarnya membentuk kami menjadi individu dan menjadi jelas nilai-nilai apa yang penting untuk kami.

Kami kemudian berusaha untuk mengurrangi bias kami dalam pencarian ini dengan cara secara sadar menuliskan apa saja faktor yang penting menurut kami terkait rumah. Ini tentunya akan sangat berbeda dari satu individu ke individu lainnya. Tiap orang hidup dengan pengalaman dan nilai yang berbeda. 



Untuk kami sendiri, akhirnya kami menuliskan lokasi, harga, luas, air, banjir, akses, transportasi umum, lingkungan dan legalitas ini sebagai faktor yang akan kami nilai. Faktor mana yang lebih peting dari pada yang lain? Nah ini kembali ke soal rasa pulang masing-masing orang. Apakah pulang bagi kamu adalah rasa lega di rumah yang luas? Ataukah pulang soal segera tiba? Nah disini jarak dan luasan bisa berbeda. Kami berusaha menuliskan dan mengurutkan faktor faktor ini dalam menulis agar kami sadar betul bahwa pilihan kami itu rasional terlepas dari seberapa sentimentalnya rasa pulang itu sendiri.

Apakah mudah? Tentu tidak. Pencarian dari satu titik ke titik lain, rasa sudah cocok tapi ternyata legalitas bermasalah. Atau sudah cocok tapi lingkungan tidak mendukung. Banyak sekali dramanya. Belum lagi drama finansial yang menyertai. Nampaknya sudah jelas ya di Jakarta, harga tanah atau pun rumah itu memang bukan barang murah.

Kami sendiri banyak menghabiskan akhir pekan untuk survey dari satu lokasi ke lokasi lain. Rajin mencari informasi secara online atau pun melalui agen-agen. Atau sekadar berkeliling siapa tahu menemukan ada area yang cocok dengan kami.

Kalau prosesnya begitu lama hingga bertahun-tahun, kenapa kami tetap jalani? Sederhana, kami ingin rasa pulang yang melegakan. Kami ingin tiba atau pun tinggal di rumah di mana hati kami sreg betul, tentu jika harganya cocok adalah catatan besar dan penting ya.

Poin utama dari tulisan panjang ini adalah perjalanan membeli/mencari/memiliki rumah itu memang bukan sesederhana ingin memilih beli kopi apa untuk siang ini. Karena memang merupakan pengeluaran besar, maka waktu yang diperlukan untuk mencari dan menyeleksi sebaikanya tak sedikit.

Saya sendiri menuliskan ini di blog sebagai pengingat pribadi, bahwa rupanya hidup sudah membawa saya ke fase ini. Fase saya harus bisa membangun rumah kami sendiri. 

Ibuk, saya ingin pulang, tapi masih PPKM 😢.

No comments:

Post a Comment

jangan cuma baca, tapi komen juga ya