Beberapa hari yang lalu, saat saya sedang mengikuti kuliah tiba-tiba ponsel saya bergetar. Bergegas saya minta ijin keluar dan mengangkat telepon dari nomor tak dikenal itu, nomor dengan kode area Jakarta. Siapa pula dia?
Ternyata, dia adalah Maya Wuysang. Who is her? Just ask google about her. Agar cerita ini menjadi jelas, lebih baik saya menceritakan ulang apa yang terjadi sebelumnya.
Sekitar bulan Juli, saya mendapat informasi soal dua lomba menulis, satu lomba menulis cerpen dan satu lagi lomba menulis essay. Jujur saya tertarik dengan yang pertama, karena meskipun hadiahnya tidak semenggiurkan yang pertama, saya lebih nyaman menulis fiksi. Akhirnya, saya ikuti lomba menulis cerpen itu dengan harapan besar. Lalu apa kabar lomba essay? Saya nyaris melupakannya.
Hingga tepat di hari deadline pada minggu ketiga September, lebih tepatnya 9 jam sebelum deadline, seorang teman mengirimi saya SMS yang intinya menanyakan keikutsertaan saya dalam lomba essay itu. Saya menjawab saya tidak ikut, karena selain memang belum menulis essay, saya tidak punya program PDF creator di netbook saya, padahal salah satu ketentuan lomba itu adalah dikirim dalam format PDF.
Alasan lain, saya sudah memiliki ide tapi baru membaca sekitar dua buku yang sekiranya akan membantu saya dalam penulisan essay itu. Saya ogah-ogahan ikut lomba itu, apalagi saya sadar diri, kemampuan saya mengolah kata dalam essay masih sangat-sangat-sangat rendah. Essay yang pernah sangat tulis bahasanya sangat kaku dan wagu. Menyadari hal itu, saya semakin ogah-ogahan.
Tapi teman saya itu terus mendesak saya agar mengikuti lomba essay tersebut, akhirnya dengan proses ngebut, saya menulis kurang dari 2 jam, dengan proses editing yang hanya sekilas, jadilah essay saya itu.
Jujur saja, saya ikut lomba ini tanpa pretensi, tidak ada harapan untuk menang sama sekali, kalau pun saya ikut, itu lebih karena ‘paksaan’ teman saya itu.
Dan hari pun berlalu hingga bulan Oktober. Terkejutlah saya ketika saya mendapat telepon dari Mbak Maya Wuysang yang mengabarkan bahwa essay saya masuk 20 besar! Memang bukan juara 1, 2 atau tiga. Memang tidak mendapat hadiah laptop atau uang, tapi untuk saya pencapaian 20 besar saja sudah di luar dugaan sebab saya memang tidak pernah punya bayangan akan lolos, hal ini disadari oleh kemampuan menulis essay saya yang masih rendah.
Lantas nasib lomba cerpen? Justru, lomba yang saya ikuti dengan sepenuh hati, dengan ada keyakinan akan masuk nominasi justru kalah sama sekali. Padahal, saya merasa sudah menulis dengan segenap kemampuan saya. Tapi apa? Kalah.
Dari dua hal ini, saya menarik kesimpulan. Melakukan suatu hal tanpa pretensi, tanpa harapan lebih justru adalah tindakan yang akan memberi kita lebih banyak hal. Sering sekali, saya melakukan hal ini karena saya ingin mendapat itu, saya bertindak seperti ini agar say dipandang seperti itu. Dan apa yang saya dapat dari sikap seperti itu? Tidak ada.
Saya kembali diajari Tuhan untuk bertindak ikhlas. Lakukan yang terbaik dan lupakan. Bersiaplah selalu untuk kemungkinan terburuk, yaitu ketika kamu merasa Tuhan tidak menjawab doamu. Dan lihat apa yang kamu dapat? Tuhan menjawab doamu dari jalan yang tak kamu duga.
Thanks for the lesson, God. Semakin tidak ada alasan untuk tidak mencintai-Mu, bukan? Karena Tuhan mencintai diluar kemampuan nalar kita untuk menganalisanya. Alhamdulilah..
Thursday, 21 October 2010
renungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Pelajaran yang ga kira didapatkan disekolah...
ReplyDeleteNice share dan salam kenal... :)
yap, salam kenal :)
ReplyDeleteterima kasih sudah berkunjung ke gubuk maya saya.. :)