Saturday 29 October 2011

Antara Eyang Pram, Gadis Jawa dan Kesetaraan

22:04 0 Comments


dimuat di Jawa Pos For Her 25 Februari 2011*

Oleh Qotrun Nada Haroen
Mahasiswi Teknik Informatika
 Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Jika ditanya siapa saja yang membentuk pribadi saya menjadi seorang perempuan, selain menjawab keluarga, saya akan menyebut nama lain, Pramoedya Ananta Toer. Bukan berlebihan rasanya menyebut salah satu penulis terbaik yang sempat dimiliki bangsa ini sebagai penulis feminis. Dari sekian banyak karyanya, mulai dari Gadis Pantai, Larasati, Arok Dedes hingga Tetralogi Bumi Manusia pun sangat menonjol dengan kefeminisannya, menyuarakan hak-hak dan perjuangan kaum perempuan, menunjukkan bahwa kaum yang seringkali disebut warga kelas dua sangat berhak mendapatkan kesetaraan.

Sejak mengenal karya Eyang Pram—saya suka memanggil almarhum dengan sebutan Eyang—saya menjadi lebih sering merenung tentang diri saya, tentang menjadi perempuan, tentang bersikap untuk mendapatkan hak tanpa melawan kodrat. Inilah yang menjadi pergulatan tiap saya membaca karya Eyang Pram, apa sesungguhnya kodrat seorang perempuan?

Dari Eyang Pram, saya tahu, gadis jawa jaman dahulu tak lebih dari sekadar aset bagi suaminya. Hak milik pada suami terhadap istrinya tak ubahnya seperti hak milik suami terhadap benda-bendanya, terhadap perabotnya. Perempuan praktis hanya menikmati dunia yang seluas-luasnya saat masih gadis, saat masih kanak. Begitu ia menjadi istri, dunia perempuan dibatasi oleh tembok-tembok rumahnya sendiri.

Sebagai seorang gadis jawa yang tumbuh di abad ke-21, batin saya mau tak mau bertanya, benarkah perempuan setelah sekian lama masih pada kasta yang sama?

Kini perempuan bisa bekerja di luar rumah, perempuan mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki—bahkan saya sendiri kuliah di ITS yang notabene didominasi kaum adam, seruan akan kesetaraan gender didengungkan dimana-mana, perempuan mulai masuk dalam jajaran pemerintahan, perempuan bisa meraih mimpinya apapun itu selama ia berusaha sama kerasnya atau justru lebih dari para pria.

Sayang, apa yang saya lihat sekarang tidak jauh lebih baik. Mimpi para gadis jawa bahkan mungkin gadis Indonesia, tidaklah lebih tinggi daripada ketika feodalisme masih diagungkan. Entah sudah menjadi mindset ataupun kesadaran kolektif, menjadi perempuan cukuplah mengerti soal dandan, cukuplah mengerti soal berbusana, agar mendapat lelaki yang mampu menghidupi maka pendidikan tinggi dijalani hanya sekadar gengsi dan tambahan gelar.

Memang benar banyak perempuan telah keluar dari zona nyaman itu dan membuktikan dia mampu, namun porsentasenya sangat sedikit dibandingkan yang tidak. Mari kita lihat para perempuan secara keseluruhan. Sudahkah tertanam kesadaran yang sama? Sudahkah para perempuan tidak hanya menjadi korban iklan? Sudahkah para perempuan memikirkan eksistensi diri melebihi dari kecantikan fisik? Sudahkan para perempuan paham bahwa menjadi seorang ibu tidak hanya berhenti pada darah daging sendiri tapi juga bagi negeri?

Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah ya, saya rasa tidak berlebihan jika mewajibkan seluruh gadis jawa—dimana Eyang Pram selalu membahas hal ini lebih rinci—dan gadis Indonesia seluruhnya untuk membaca karya-karya feminis Eyang Pram agar kaum perempuan sadar mereka telah ada di suatu era dimana mimpi tak lagi boleh dibatasi. Sangat disayangkan jika kita, para perempuan masih saja ngotot hanya soal penampilan. Perempuan layak dan harus berpikir lebih, bertindak lebih, dan berkarya lebih. Hanya dengan itu kesetaraan tidak di awang-awang.

Perempuan memang berbeda dalam kodratnya, tapi sebagai manusia, entah perempuan entah pria, semua setara.


 *saya agak lupa tanggalnya, antara 25-27 Februari lah pokoknya :-D alhamdulilah cuma sampe 25 besar aja tulisan ini :-D

Saturday 8 October 2011

Hey Kamu Yang Disana

23:32 0 Comments

Delilah, apa kabar kotamu, sayang? Jarak ribuan mil ini memisahkan kita, membuatku bertanya-tanya seperti apa rupa kotamu kini? Macetkah seperti biasa? Panaskah seperti yang biasa kau keluhkan? Atau justru penuh dengan canda dan tawa seperti yang biasa kau lontarkan padaku? Seperti caramu yang membuatku kangen setengah mati itu?

Malam ini kamu terlihat cantik, Delilah. Kita hanya saling menatap layar laptop masing-masing, memang. Tapi aku melihat kamu dengan hati dan aku melihat kamu yang cantik luar biasa. Ya, kita akui saja, rasa kangen seringkali melipatgandakan ketampanan atau kecantikan. Ibarat kota, kamu adalah alun-alun megah. Tempat segala perhatian tercurah untuk melepaskan penat dan gundah.

Delilah, kamu tak perlu khawatir soal jarak yang beribu mil ini. Jarak bisa saja memisahkan kita, tapi percayalah, setiap kali kamu merasa sendiri sebenarnya aku tak pernah kemana-mana. Dengarkan lagu yang sengaja kutulis untukmu. Dalam tiap liriknya, tiap baitnya, namamu kutasbihkan berkali-kali. Maka pejamkan matamu, dan rasakan aku disampingmu. Percayalah, lagu itu adalah aku, aku yang menjelma suara dan terbang beribu mil jauhnya hanya untuk menemani kamu dan membuatmu merasa tak pernah sendirian.

Semua memang tidak mudah, Delilah. Seiring waktu, rinfu itu membuat semuanya terasa makin sulit. Ibarat makan, kita berkali-kali makan tanpa pernah minum sekalipun. Tenggorokan kita sama-sama kering dan rasanya tak mampu lagi menelan apapun. Tapi percayalah, sayang. Suatu hari, rindu ini akan kubayar lunas.
Sekarang ini, rasanya begitu banyak yang ingin aku katakan kepadamu. Bahkan setiap lagu atau puisi yang aku tulis untukmu—yang kamu bilang selalu berhasil membuatmu lupa bernafas untuk beberapa detik itu—rasanya belum cukup untuk mengungkapkan semua itu. Rindu memang serakah, ia tak cukup dengan segala kata yang aku punya, ia selalu menuntut untuk bertemu.

Jutaan mil memang jauh, sayang. Tapi bukankah dunia punya pesawat dan kereta api? Juga kapal dan mobil? Bahkan sayang, ketika semua yang dunia punya itu tak bisa mengantarkanku untuk berdiri di sampingmu, aku akan berjalan kaki. I’d walk to you if I had no other way. Jangan pedulikan kawan-kawanmu yang menertawakan malam minggumu yang terpaksa kau jalani sendirian, balas saja dengan tertawa sayang. Biarkan mereka merasa bahagia dengan cukup tertawa, karena sesungguhnya mereka iri dengan cinta kita, cinta yang tak pernah mereka rasakan itu.

Jadilah anak baik Delilah, bersabarlah. Dua tahun lagi kamu akan jadi sarjana, dan aku akan membuat sejarah yang tak akan pernah dilupakan dunia. Setelah itu waktu menjadi milik kita. Perjalanan senja menuju taman kota ang semula hanya kita cakapkan, akan menjadi aktivitas rutin yang menyenangkan. Lagu dan puisi yang selama ini kamu dengar melalui headset favoritmu itu akan kamu dengar langsung dari mulutku, dari gitarku, dari hatiku.

Dua tahun lagi sayang, aku akan pulang. Dan segera saja, kita akan menjadi sejarah baru.





Dikarang bebas dari lagu Hey There Delilah-Plain White T lagu kebangsaan bagi setiap pasangan LDR. Bertahun-tahun mendengar lagu ini, perasaan saya selalu sama. Rindu itu nyiksa, pake banget. Dan lagu ini ibarat cuka yang dituangkan di atas luka, bikin menjerit kesakitan. Rindu makin tak tertahan.
Dan saya menulis lagu ini, karena alasan yang sama, membayangkan Nicholas Saputra membuat satu lagu untuk saya, dan menyanyikannya untuk saya di kafe, di bawah balkon kamar, atau di alun-alun kota. *jadul banget* XD

Monday 3 October 2011

Where I spent my childhood

20:23 3 Comments
jalanan pagi yang berkabut
 Namanya Ngadirejo, kecamatan di utara kabupaten Temanggung. beruntung, saya lahir dan besar di pusat kecamatan. saya tidak harus kesusahan mencari angkutan umum ataupun berjalan jauh untuk mencapai pasar. beruntung rumah saya masih dalam cakupan telkom sehingga ada telepon rumah, beruntung air PAM di rumah saya berasal langsung dari sumber mata air yang jaraknya hanya sekitar 3 km dari rumah saya. air PAM yang bahkan jauh lebih bening daripada air galon di Surabaya.

Saya merindukan kabut pagi itu, meski jam sudah menunjukkan pukul 06.00, jalanan masih terasa mengambang. saya merindukan dingin itu, yang membuat saya kerasan di balik selimut lama-lama. saya merindukan orang luar biasa yang ada di Ngadirejo, Ibu.
icon Ngadirejo, tugu gosong

TIMELINE #15harimenulisdiblog

00:33 4 Comments

Saya suka mengintip timeline kamu tiap malam. Mengintip dari tweet terakhir yang saya baca hingga tweet terbaru yang kamu tulis. Dari apa yang saya baca itulah saya menduga kamu sibuk apa hari itu, kamu bercanda dengan siapa saja hari itu, kamu sedang memikirkan siapa hari itu.

Saya tidak punya akun twitter dan saya bersyukur saya tidak perlu punya akun kalau hanya sekadar ingin membaca timeline mu, mengamatimu dari kejauhan.

Saya bersyukur kamu masih membuka profilmu itu dan saya berharap selepas pengakuan ini, kamu tidak mengubahnya. Kamu tidak membuat saya harus secara terang-terangan mengikutimu.

Saya kadang kesal sendiri, tiap kamu menulis tentang perasaan, atau rindu, atau cinta. Saya hanya bisa sebatas menduga, siapa dibalik itu semua? Siapa yang betah sekali berada di pikiranmu—seperti kamu yang betah sekali berada di pikiran saya?

Karena saya hanya bisa menduga, saya menimbun tanda tanya tiap hari, mengumpulkan penasaran yang makin hari makin menggunung. Dan yang paling parah, perasaan yang mulai tak bisa dibendung.
Saya Cinta Kamu.

Kamu mengaku. Saya ternganga. Tak menduga kamu yang saya anggap acuh, ternyata begitu rajin mengamati, begitu peduli. Hanya saja kamu diam, hanya saja kamu seperti hantu, tak meninggalkan jejak. Tak ada bukti, karena itu sepanjang hari saya hanya terus berspekulasi. Menulis tentang cinta, tentang rasa, tentang rindu tanpa pernah merujuk kepada siapa pun. Karena orang yang ingin saya sebut, tak punya akun twitter. Kamu.

Pengakuan ternyata membawa kamu dan saya, menjadi kita. Doa kita yang sederhana: semoga cinta tak hanya tumbuh di timeline, semoga cinta kita menyempurnakan satu sama lain. amin