Sunday 29 March 2009

Nasehat Abah

05:54 0 Comments

Siang tadi,sepulang sekolah,saya tidak langsung pulang tapi menuju Rumah Sakit Harapan yang terletak 150meter dari sekolah saya.

Saya kesana untuk menjenguk paman saya yang sudah seminggu dirawat di sana.
Saat saya menunggui paman saya itulah,saya akrab memanggilnya Lik Said,saya mendapat banyak cerita mengenai orang yang begitu saya sayangi dan rindukan namun saya tak punya waktu banyak untuk mengenalnya,ya orang yang diceritakan itulah abah saya.kakak sulung dari paman saya itu.

Cerita ngalor-ngidul itu begitu saya nikmati,cerita betapa 'cerdas'nya abah saya mengakali mbah saya.cerita betapa ayah saya selalu punya cara jitu mengambil hati orang,cerita mengenai ayah saya yang menjadi mahasiswa termuda di arab saudi dulu waktu beliau kuliah disana.cerita mengenai track recordnya yang begitu aneh,nyeleneh.paman saya memilih kata 'antik' untuk abah saya itu.

Siang tadi,saya serasa bertatap muka dengan abah kala muda.banyak orang yang mengenal abah saya,karena kesupelannya.bahkan paman saya mengatakan,hampir semua kyai di jawa,tahu nama abah saya.

Kisah-kisah abah saya yang begitu menarik itu,kapan-kapan mungkin akan saya bagi dengan anda,didapat paman saya justru dari orang lain.Abah tidak suka mengumbar 'keunikan' dirinya,orang lainlah yang mengabarkannya.
Satu hal penting yang saya pelajari dan menjadi inti catatan ini adalah abah tetap dikenang.
Saya berandai-andai,semisal abah masih sugeng,mungkin saya akan lebih dikenali oleh sanak family(bukan berarti saya sekarang tidak mengenal siapa-siapa).
"Owalalah!putrane pak harun temanggung to?"

Mungkin jika abah saya masih ada,sepak terjangnya akan lebih banyak,lebih dikenal.
Lalu saya,sebagai anak,akan ikut pula dikenal.ndompleng.
Tapi tidak,abah telah tiada.abah memang begitu di kenal,tapi tak lantas mewariskan 'ke-terkenal-an' kepada kami,anak-anaknya begitu saja.

Satu hal penting yang saya sadari,abah ingin kami dikenal karena kami sendiri.bukan karena nama Haroen yang melekat di belakang nama kami.Seperti abah yang dikenal karena Haroen,bukan Asrori(nama kakek saya),meski nama abah saya jelas,Ahmad Haroen Asrori.

Ah,saya merindukannya lagi.
Terima kasih Abah,,
Untuk semua yang kau ajarkan dengan perlahan meski kami tak lagi mampu mendekapmu. . .

Soleh dan Ratri

05:34 0 Comments


Aku berjalan mengendap-ngendap, sambil sesekali melirik kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang melihatku. Tidak Ibu, tidak juga Bapak. Begitu yakin kondisi aman, aku membuka pintu belakang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan derit yang bisa menyadarkan Bapak dan Ibu bahwa aku keluar malam ini. Kalau mereka sampai tahu, aku bisa dihukum semalaman penuh.

Sudah jadi ketentuan bahwa selepas maghrib aku dan adik-adikku tidak boleh keluar rumah. Mengaji selepas maghrib kemudian belajar hingga isya'. Setelah itu kami harus sholat berjamaah dan kemudian belajar kembali. Itu rutinitas wajib yang sudah tidak boleh ditawar lagi. Namun, ada pengecualian. Malam jum'at kami dibebaskan dari rutinitas mengaji sebab bapak dan ibu punya acara mengaji sendiri dengan orang kampung lain yang berdatangan di rumah kami. Bapakku memang seorang yang alim, mengetahui persoalan agama lebih dibanding warga kampung yang lain. Sebab dulu bapak pernah mengaji di Jombang selama 7 tahun, di tempat Gus Dur pernah dilahirkan, begitu kata Bapakku. Disana pula bapak bertemu Ibu yang kala itu baru mondok 4 tahun. Mereka bertemu jatuh cinta, menikah, lalu lahirlah aku dan adik-adikku.

Karena bapak menganggap mengaji sangat penting, kami tidak pernah bisa luput dari kewajiban mengaji. Kami pun tidak boleh berkeliaran sesuka kami pada malam hari, seperti anak kampung yang lain. Apalagi di malam hari begini. Karena itu, malam ini aku sangat berhati-hati agar Bapak tidak tahu aku sedang berusaha keluar.

"Krompyaaaang!!", tidak sengaja aku menginjak piring di dapur. Karena aku tidak menyalakan lampu maka aku tidak melihat benda-benda disekelilingku. Jantungku sudah ketar-ketir, takut ketahuan Bapak. Apalagi setelah itu terdengar langkah kaki Bapak menuju dapur.

Kurang tiga langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara kucing yang entah dimana asalnya, aku juga tak melihat karena dapur malam itu gelap sekali.
"Meaoow…"
"Oalah, Kucing kok, Bu," kata bapak sambil berbalik langkah. Aku lega sekali. Hampir saja bapak tahu. Untung ada kucing penyelamat itu sehingga Bapak urung masuk dapur.
Tak ingin nyaris ketahuan lagi, sekarang aku berjalan lebih hati-hati menuju pintu dapur yang menghubungkan dengan kebun milik Mbah Tejo. Kali ini aku berhasil keluar dengan selamat.

Saat aku sampai diluar, terlihat Ratri sudah menungguku gelisah. Begitu melihatku dia langsung bersorak tanpa suara.

"Ayo cepet! Lenggere hampir main!," bisik Ratri kepadaku.
"Iya, Iya. Ini juga sudah aku usahakan cepet," jawabku.

Segera kami berlari menuju lapangan kampung. Disana sedang ada pertunjukan kuda lumping yang biasa disebut jaran kepang. Jaran kepang di daerahku terdiri dari penari pria yang menari diatas kuda-kudaan yang dianyam dari bambu. Setelah menari sekitar 15 menit, tubuh para penari akan dimasuki roh dan mulai menari dengan tidak beraturan bahkan kadang makan ayam dan beling. Konon, yang makan ayam dan beling tersebut bukanlah para penari namun Arwah yang merasuki mereka. Jadi para penari itu aman-aman saja memakan ayam hidup ataupun beling tadi.

Selain para penari yang kesurupan itu ada pula penari yang tidak kesurupan. Para penari yang tidak kesurupan ini lazim disebut lengger dan Ratri suka sekali melihat lengger beraksi, sedangkan aku suka sekali mendengar Ratri bercerita tentang lengger.

Dari cerita Ratrilah, aku melihat gerakan para penari yang rancak dengan riasan yang tebal dan mendengar alunan pengiring yaitu tembang jawa dengan irama yang mengehentak. Mereka menari dengan serempak dan penuh semangat. Sesekali sambil bercerita Ratri mempraktekan tarian para pemain lengger itu membuat ceritanya semakin hidup saja. Pertama, dia akan berjalan seolah sedang menunggang kuda lumping lalu berjalan berputar sambil memainkan pecut. Tangannya naik turun dengan gaya orang yang sedang mengawasi. Lalu kuda lumping yang dikenakan dilepas lalu dipegang dan digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri. Setelah itu dia akan bercerita dengan bahasanya yang begitu memukau tentang lengger. Aku betul-betul kagum dibuatnya.

Ratri sudah berkali-kali melihat jaran kepang dan lengger. Dia bahkan hapal irama dan gerakan para pemain, kecuali yang kesurupan tentunya. Berbeda denganku yang belum pernah menyaksikan jaran kepang yang umumnya digelar malam hari itu. Bapak selalu melarangku menontonnya. Bapak bilang itu musyrik, tidak baik. Percaya sama hal seperti itu. Tidak edukatif. Entah apa makna kata itu, tapi kata itu membuat jaran kepang dan lengger seolah tidak modern, lha wong sampai dibilang tidak edukatif.

Awalnya tiap kali Ratri mengajakku menonton jaran kepang aku selalu menolak dengan memberikan alasan seperti yang Bapak ajarkan. Namun, lama-kelamaan aku terpikat juga dengan rayuan Ratri. Apalagi Ratri bilang,"Ora bakal melbu neraka mung merga ndelok lengger, asal sholat tetep 5 wektu. Yo opo ora??".

Ditambah lagi cerita Ratri yang mampu mengambarkan lengger begitu apik. Katanya para penari itu menari begitu indah, musik yang mengalun mampu menghilangkan penat. Pokoknya benar-benar menghibur lah! Bukan orang jawa namanya kalau belum pernah nonton jaran kepang, dalihnya suatu waktu.

"Tinggal sekarang kamu ini orang Jawa bukan? Kalo iya, ya nontonlah!," bujuk Ratri sore sebelum pertunjukan kuda lumping.
Karena penasaran dan ingin dianggap sama dengan anak lain, aku mengiyakan ajakan Ratri untuk menonton jaran kepang malam ini. Ratri tidak pernah absen nonton jaran kepang, sebab kakekknya adalah pawang jaran kepang. Kemana saja kakeknya tampil, Ratri selalu diajak, tapi belum boleh ikut main sebab dia masih anak-anak. Umurnya baru 12 tahun sama denganku.

Sampai di lapangan aku celingak-celinguk kebingungan mencari Ratri yang sudah lebih dulu berlari. Tiba-tiba ada yang menggamit tanganku,"Ayo!," ternyata itu Ratri. Baru saja dia mencarikan tempat yang strategis untuk kami menonton, di pojok kanan yang cukup sepi namun pertunjukan dapat terlihat jelas.

Saat aku mulai melihat aksi jaran kepang itu, ternyata beberapa pemain sudah mulai kesurupan. Seorang ada yang mengambil piring dan memecahkannya. Lalu serpihan-serpihan piring-piring itu dimakan begitu saja seperti kerupuk. Aku sampai melongo dilihatnya.

"Untung piringnya pas," celetuk Ratri.
"Apa maksud kamu?,"tanyaku tak mengerti.
"Kadang, setan yang masuk tidak suka dengan piring yang disediakan. Terus piringnya dibanting, dilempar-lempar ke penari lain. Kalau sudah begitu mbah kakungku yang beraksi, sudah harus nimbul.,” jelas Ratri panjang lebar.

"Nimbul?", dahiku mengernyit mendengar kata asing itu.
"Itu artinya mengeluarkan setan yang sudah masuk ke dalam tubuh. Hanya yang punya mata batin yang bisa nimbul. Kalau tidak ada tukang timbul, pertunjukan tidak akan pernah selesai. Lha wong setannya nggak mau pergi."
Aku hanya ber-oo panjang tanda mengerti.

Kami kembali asyik menikmati aksi para pemain. Ada yang mengambil ayam hidup, lalu memakannya mentah-mentah hingga darah ayam itu muncrat kemana-mana. Aku ngeri melihatnya. Namun, justru sebaliknya dengan Ratri dan penonton lain, mereka bertepuk tangan dan bersorak riuh.

"Ratri, aku mau pulang saja," kataku kepada Ratri diantara teriakan para penonton yang tampaknya mulai ikut menggila.
"Sekarang? Kamu belum lihat lenggernya. Sebentar lagi keluar kok"

Tak lama kemudian, tampak 2 penari wanita yang menari seiring dengan hentakan alunan musik. Gerakan mereka tampak luwes dan bersemangat tetapi beraturan tidak seperti pemain yang kesurupan. Tarian mereka memang tidak halus seperti layaknya tari jawa,namun justru menghentak. Sesekali mereka mengeluarkan sorakan saat gong dibunyikan. Tarian mereka begitu indah dinikmati.

"Itu lenggernya. Bagus kan?," kata Ratri menjelaskan.
Aku mengangguk. Tarian mereka memang lebih bisa dinikmati dan manusiawi menurutku.
"Ayo sekarang kalau pulang, nanti kamu dimarahi Bapakmu," ajak Ratri.
Aku mengiyakan dengan segera beranjak dari dudukku dan berjalan. Ratri mengikuti.
"Kamu mau pulang juga?," tanyaku.

"Iya. Aku sudah tahu kok lanjutan jaran kepangnya seperti apa. Aku mau pulang saja, bareng kamu. Biar tidak pulang sendiri," jawabnya.

Kami berduapun pulang bersama. Untung malam itu bulan purnama, sehingga kami tidak perlu obor untuk menerangi jalan kami. Rumahku dengan rumah Ratri berjarak 10 rumah. Agak jauh, tapi masih satu deret. Rumahku lebih dulu dilalui daripada rumahnya. Ketika kutawarkan untuk kuantar sampai rumahnya, Ratri menolak. Dia justru meminta yang lain.

"Sholeh,Kapan-kapan ajari aku baca Qur'an dan mengaji.seperti kemarin-kemari ya? Aku ingin menjadi pemain lengger kalau sudah besar tapi yang bisa mengaji," pintanya. Aku tersenyum mendengar permintaanya itu. Pemain lengger yang bisa mengaji, agak janggal saja rasanya.

"Tentu, nanti aku ajarkan kepadamu semua yang aku tahu." jawabku sambil tersenyum.
"Sayang sekali mbah kakung cuma bisa nimbul tapi tidak bisa sholat dan mengaji. Padahal aku senang sekali lho melihat orang sholat. Mbah kakung selalu marah-marah tiap aku tanya tentang sholat. Apalagi kalau Mbah tahu aku belajar sholat, wah aku langsung dihukum," keluh Ratri dengan wajah bulatnya yang lucu.

"Tahu mengapa Mbahku begitu?." Aku mengeleng.
"Kata orang Mbah kakung itu orang kejawen. Aku juga ndak tahu artinya apa."
"Kalau Bapakku sebaliknya tidak tahu tentang jaran kepang. Aku selalu tidak boleh minta ijin menonton jaran kepang. Katanya aku bisa musyrik, percaya sama setan. Lalu tidak takut sama Allah. Ternyata bapak salah, aku tidak jadi musyrik kok," aku menimpali.

"Musyrik itu apa?," tanya Ratri.

'MUSYRIK ITU ORANG KAYA KAMU DAN MBAHMU! TIDAK PERCAYA DENGAN ALLAH DAN TEMPATNYA DINERAKA!!!," bapak menjawab dengan nada membentak. Ternyata bapak sudah dibelakang kami. Bapak marah besar mengetahui aku keluar malam-malam dengan Ratri, menonton jaran kepang pula.

Aku ketakutan setengah mati, begitu juga Ratri. Dia langsung lari terbirit-birit kerumahnya.

Seketika itu juga bapak menyeretku pulang. Aku dengan perasaan takut yang luar biasa mulai menangis. Perasaanku campur aduk, antara takut dan marah. Aku seolah tidak terima Bapak menyebut Ratri musyrik. Sungguh bapak keterlaluan, pikirku.

Malam itu juga, hukuman untukku ditetapkan. Bukan berdiri semalaman sambil membaca surat yassin seperti biasanya, atau mencuci dan menimba air sebulan penuh, akan tetapi mondok. Besok pagi aku akan diantar bapak mondok di tempat bapak mondok dulu. Hatiku berontak, aku masih ingin menikmati masa kecilku dirumah bersama keluarga dan teman-temanku yang lain. Tapi bapak berkata lain, bapak sudah jengah melihat aku yang kian hari kian akrab dengan Ratri, cucu Mbah Jatmiko, ahli jaran kepang di kampung kami. Sudah menjadi rahasia umum sejak dulu Bapak dan Mbah Jatmiko bersitegang. Bapak menentang keras jaran kepang, sedangkan Mbah Jatmiko adalah pelopor jaran kepang di kampung kami hingga terkenal sampai kampung-kampung lain. Selain itu Bapak adalah ulama terpandang di kampong sedangkan Mbah Jatmiko adalah orang kejawen yang sangat keras.

Bapak tidak sudi melihat aku, putra sulungnya, bergaul akrab dengan cucu musuh bebuyutannya itu. Bapak khawatir aku akan tertular virus jaran kepang, yang kata bapak bisa membahayakan iman. Padahal tidak seperti itu, Ratri memang selalu bercerita tentang menariknya jaran kepang, namun ia juga selalu minta diajari mengaji. Ia tidak seperti anak yang lain, minatnya kepada agama begitu besar, bahkan menurutku lebih besar dibanding aku sendiri. Itu yang bapak tak pernah tahu, bapak melihat Ratri hanya dari sudut pandang Bapak, tanpa pernah peduli isi hati Ratri yang sebenarnya.

Malam itu, bapak meyumpahi Ratri yang membujukku keluar, aku dimarahi habis-habisan. Bahkan tidak akan dianggap anak lagi jika aku berani melanggar larangan Bapak. Bapak memang orang yang sangat otoriter, keras kepala. Keputusanya malam ini pun tidak dapat ditawar lagi, aku besok akan dikirim ke Jombang. Mengaji disana hingga alim seperti bapak, tidak boleh pulang sebelum 10 tahun mengaji. Mendengar keputusan bapak itu, aku justru teringat dengan waktu yang kuhabiskan bersama teman-teman, termasuk Ratri. Esok pagi aku sudah tidak bisa lagi menangkap belut tiap masa tanam akan berlangsung, atau memet; mencari ikan-ikan kecil di kali bersama yang lain, juga bermain layang-layang di lapangan, hilang sudah masa kecilku, hilang waktu bermainku, hilang kesempatan bertemu Ratri lagi meski untuk sekedar berpamitan.



10 tahun kemudian.

Aku menerima surat itu dengan tangan gemetar. Surat itu kuterima dari tangan Iffah, adikku.
Surat yang ditulis oleh tangan Ratri sendiri,Ratri teman masa kecilku.
Sudah 10 tahun aku tidak pernah bersua dengannya. Kabarnya pun baru akan kudengar sekarang.
"Mbak Ratri pengen banget bisa ketemu Mas Sholeh," kata Iffah.
Tanganku bergetar hebat membuka lipatan kertas.

Untuk Sholeh
Semoga damai selalu dalam harimu

Assalamualaikum wr.wb.
Apa kabar Sholeh? Masihkah kau ingat denganku yang membuat kau dimarahi habis-habisan oleh Bapakmu? Aku yang selalu menjadi teman sebangkumu dari kelas 1 hingga kelas 6, aku yang selalu minta kau ajari mengaji, aku yang selalu memaksamu menonton jaran kepang dan lengger, aku yang begitu dibenci oleh Bapakmu.
Aku hanya ingin mengucapkan maaf atas segala yang pernah aku lakukan kepadamu. Aku menyesal memaksamu menonton malam itu yang justru membuat aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku meminta maaf aku tak pernah bisa mengajari sesuatu yang berarti bagimu, tapi kau justru mengajariku begitu banyak hal. Darimu aku tahu syahadat, darimu aku bisa sholat.
Masih ingatkah kau saat aku pertama kali belajar puasa? Kau selalu mengawasiku hingga maghrib, memastikan aku menyempurnakan puasaku. Aku masih ingat betul suaramu yang sangat merdu saat menjadi imam ketika kita sekelas sholat berjamaah. Suaramu itu yang membuatku selalu semangat mengaji, semangat belajar menjdi wanita sholehah yang kau sebut sebagai perhiasaan dunia. Aku ingin sekali disebut wanita sholehah, aku ingin sekali nama kita menjadi mirip. Aku ingin sekali kau bisa mengajari aku mengaji lagi. Ingatkah kau pernah berjanji akan mengajarkanku semua yang kau tahu?
Ah tentu kau sudah sangat pandai sekarang, dan waktu yang kau perlukan untuk mengajarkan segala yang kau tahu akan menjadi sangat panjang bukan?
Karena kau jugalah, aku dapat mewujudkan cita-citaku, pemain lengger yang bisa mengaji dan rajin sholat, meskipun aku harus mengerjakannya sembunyi-sembunyi dari mbah kakung.
Percaya tidak? Aku selalu membaca doa setiap akan pentas,doa yang dulu kauajarkan, doa khusnul khotimah.Karena itu,aku selalu tampil memukau. Aku senang sekali, doamu itu manjur benar.
Tapi sekarang aku berhenti menjadi pemain lengger, sejak Mbah kakung meninggal. Aku sudah pakai jilbab. Kata adikmu, Iffah, seorang yang berjilbab tidak boleh lagi membuka auratnya. Padahal kau tahu sendiri kan? Pakaian pemain lengger hanya kemben, rompi bahu dan celana selutut. Karena itu aku tak pernah lagi menjadi pemain lengger, aku hanya menjadi penabuh kenongan. Untung aku masih diterima meski aku berjilbab. Katanya karena aku cucu Mbah Jatmiko, takut kualat kalau aku ditolak.
Kualat, pasti kau orang yang tak pernah takut kualat. Apalagi sekarang, kau hanya takut pada Tuhanmu kan? Ah, itu yang membuat berbeda dari pemuda lain. Aku sungguh bangga. Bangga pernah menjadi temanmu. Bangga pernah menjadi teman sebangkumu. Bangga pernah kau ajari mengaji. Bangga yang meluap-luap. Membuncah-buncah. Hingga aku tak tahu disebut apa. Yang aku tahu aku hanya selalu ingin bertemu denganmu, diajari mengaji lagi, dibimbing sholat lagi. Manjadi yang halal bagimu, menjadi yang mendampingi sisa hidupmu.
Maaf, jika apa yang aku utarakan ini berlebihan. Maaf, jika aku tidak tahu diri. Seorang yang pernah dibilang musyrik oleh ayahmu memintamu untuk meminangnya.
Tapi apa daya aku berkata? Aku hanya gadis yang tak bisa membohongi perasaanku sendiri.

Wassalamualaikum. Wr.wb.

Ratriningsih
Yang ingin menjadi SHOLEHAH
Aku melipat kembali surat dari Ratri dengan perasaan haru. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan bahasa, perasaan itu membuncah-buncah hingga aku tak dapat membendungnya. Air mataku meleleh.

"Mas?," Tanya Iffah. Aku menghapus buliran bening di pipi dan mataku.
"Mas, nggak apa-apa kan?,"Iffah berusaha memastikan.

"Nggak apa-apa," jawbku kelu."Bagaimana Ratri sekarang?," tanyaku.

"Setelah menitipkan surat itu, Mbak Ratri didatangi oleh kelompok islam militan.
Mereka mengajak Mbak Ratri untuk menjadi salah satu pejuang jihad fi sabillilah, kedok mereka licik sekali. 1 bulan berselang, terdengar kabar, Mbak Ratri… Mbak Ratri menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel Hilton," Iffah menceritakan dengan suara terbata-bata. Aku yang mendengarnya nyaris tak percaya.

"Mas tahu apa yang kelompok teroris itu janjikan pada Mbak Ratri? Mereka bilang Mbak Ratri akan menjadi gadis Sholehah yang selalu diingat oleh umat. Mbak Ratri akan menjadi penghuni surga bersama yang dicintainya. Mereka sama sekali tidak mengatakan bahwa mbak Ratri akan tercabik menjadi ratusan bagian yang tak bis diidentifikasi. Mereka tidak menyebutkan mbak ratri justru akan membunuh puluhan muslim lainnya." Mata Iffah sekarang sudah sama sembabnya dengan mataku.

"Lalu bagaimana reaksi Bapak mendengarnya?," tanyaku.

"Bapak tidak mengucap sepatah katapun. Tapi aku tahu, Bapak menyesal atas kata musyriknya dulu. Sekarang Bapak memang sudah tak bisa berkata apa-apa, Bapak.. Bapak sudah tiada," Iffah menangis semakin keras. Tangisku tak kalah kerasnya.

"Iffah, aku menyesal sekali telah mengecewakan banyak orang termasuk kamu. Apalagi Bapak dan Ratri yang sangat aku cintai, yang aku belum sempat meminta maaf kepada meraka atas apa yang aku lakukan. Seandainya Bapak dan Ratri tahu aku sekarng dipenjara karena kasus narkoba, pasti mereka sangat kecewa. Pasti ratri tak akan menulis surat itu. Pasti bapak akan meleyangkan kata musyrik itu kepadaku. Aku sangat menyesal…". Dari balik jeruji Iffah memegang tanganku, seolah hendak memberiku kekuatan.

"Sekarang saatnya berubah mas, jangan sampai terlambat untuk yang kedua kalinya."
Aku semakin tergugu, mendengar kata-kata Iffah yang begitu tulus. Aku, terpidana seumur hidup karena penyelundupan narkoba 3 kg di Bandara Soekarno-Hatta. Aku, yang gagal mewujudkan mimpi bapak dan Ratri. Aku, yang terjerumus sebab setan-setan itu tak mau pergi dari hatiku. Aku, yang membiru di sel tahanan itu.

Magelang, 10 Maret 2009

IBU, AKU mencintaimu

05:09 0 Comments

Hari ini saya pulang ke Temanggung,setelah hampir 20 hari saya tidak menginjak rumah.

Di bus,kebetulan saya duduk di samping seorang ibu yang membawa beberapa ember besar yang ditumpuk. Ibu itu menyapa saya ramah,"Turun mana mbak?".
Saya pun menjawab dengan ramah pula. Sebentar kemudian, tercium bau amis dari ember-ember itu. Saya lantas sadar, ibu tadi adalah seorang penjual ikan. Kemudian saya bertanya,"Berjualan dimana, Bu?".
Saya pikir, paling juga di daerah magelang. Karena itu saya mengajukan pertanyaan dengan agak basa-basi.
Tapi jawaban ibu tadi,di luar dugaan saya. Ibu itu mengaku berjualan di Jogja.bayangkan!Jogja!
Padahal rumahnya ada di Secang. Jarak jogja-secang mungkin sekitar 50 hingga 60 km.
Saya mulai tertarik lantas bertanya lagi,"Jam berapa Ibu berangkat dari rumah?".
"Setengah satu mbak", ibu itu menjawab dengan enteng.
Giliran saya yang geleng-geleng. Ibu itu lalu bercerita kesehariannya,bangun jam 12,sholat,berangkat, mengambil ikan di pasar induk lalu berangkat ke jogja jam 4 pagi.
Jualannya pun harus habis. Kalau belum habis, belum pulang.

Entah karena saya yang melankolis atau apa, saya trenyuh mendengarnya. Saya bandingkan dengan saya yang baru menghadapi soal fisika saja sudah mengeluh habis-habisan, ibu itu masih bisa menyediakan senyum tulus untuk saya meski menghadapi 'soal' yang lebih pelik.

Berbicara tentang ibu,pikiran saya langsung melayang ke ibu saya sendiri.
Apalagi saat itu saya dalam perjalanan pulang.

Saya membayangkan betapa beratnya hidup ibu yang harus menghidupi 5 nyawa dan nyawanya sendiri seorang diri sejak abah meninggal.

Saya tak berniat mengajak anda ikut seperti ibu, tidak. Yang ingin saya renungi adalah betapa 'bejat'nya saya selama ini.

Selama saya di magelang, saat saya pulang seolah tujuannya adalah meminta sangu. Walaupun saya pulang juga karena rindu. Tapi seolah-olah saya pulang ketika saya butuh saja.
Sekarang, frekuensi pulang saya makin berkurang sejak saya punya rekening bank sendiri. Ibu mentransfer 'bulanan' saya dengan lebih mudah.

Saya merasa begitu berdosa, saya tak pernah bisa pulang saat ibu membutuhkan saya, saya tak pernah mengucapkan terima kasih yang tulus untuk ibu. Saya juga tak pernah meminta maaf atas kebejatan saya itu.

Saya lantas ingat, setiap saya pulang dan keesokan harinya berangkat sekolah dari rumah, pagi-pagi benar ibu sudah bangun. Tanpa saya minta, ibu sudah menyiapkan air panas untuk mandi (air ngadirejo di pagi hari dinginnya seperti es).ibu juga menyiapkan sarapan untuk saya. Ibu melakukan semua itu dengan senang hati, seolah kebutuhan ibu bukan kebutuhan saya.

Saya kemudian mengingat apa yang sudah saya perbuat untuk ibu dalam usia yang hampir 17 ini. Tidak ada,tidak ada yang berarti yang saya lakukan untuk ibu. Saya tak mampu berbakti kepada ibu setulus ibu mencintai saya.
Ya, cinta.
Saat saya menulis note ini,tahu-tahu mata saya basah.
Saya rindu ibu, wanita yang mengandung saya, melahirkan saya, mengajari saya hidup, mencintai saya dengan tulus, berkorban demi kebahagian saya, dan berjuang keras demi saya dan saudara-saudara saya.

Temanggung pun hujan, basah.
Sebasah pipi saya,
Yang merindukan ibu lebih dari biasanya.

Hendak saya cium nanti kaki beliau, saya akan meminta maaf. Saya akan berterima kasih. . .
Nanti sesampai di rumah. . . .


Allahummaghfirly waliwa lidayya warhamhuma kama robbayani soghira. . . .


Setelah anda membaca tulisan ini, silahkan peluk ibu anda, sebelum anda terlambat.
Atau setidaknya ucapkanlah terima kasih atas cintanya yang begitu luar biasa. . .

Monday 16 March 2009

BULAN DI ATAS BALKON, sebuah cerita

00:13 1 Comments



Awan itu beringsut pelan. Menampilkan bulan dengan caranya yang anggun. Perlahan dari langit cahaya jingga mulai berpendar, menggeser awan yang semula menutup para bintang dan kilau sang bulan.
Dari balkon, aku termangu menyaksikan fragmen malam yang begitu memesona. Inikah purnama yang sempat kau janjikan? Dimana selalu sama sisi yang tampak, kemarin, sekarang, esok dan lusa.
Mendadak fragmen tentangmu muncul begitu saja. Ada kamu yang menemaniku mengetik tiap malam. Ada kamu yang rajin membuat kopi di pagi hari untukku. Ada kamu yang membuka pintu dengan senyum yang tak pernah surut. Ada kamu yang selalu menyediakan telinga untuk mulutku yang rajin mengomel. Ada kamu, ada beribu kamu yang terpecah menjadi berjuta sel di otakku. Begitu pula aku memahamimu, tak pernah bisa utuh.
aku masih belum mengerti mengapa kau selalu mampu memberiku sandaran saat aku lelah tanpa sekalipun kau meminta tempat bersandar layaknya wanita lain. Atau kebiasaanmu menanam melati di malam hari saat purnama menjadi raja. Belum lagi kau yang selalu menghindari obrolan para tetangga yang gemar menggosip. Kau begitu berbeda dengan yang lain. Kau unik tetapi kau tetap seorang wanita yang selalu mencintai dengan air mata. Uniknya air matamu itu justru kau tampung di sebuah botol kaca. Dengan perlahan kau kumpulkan tiap tetes air matamu lalu kau masukkan ke dalam botol kaca itu. Kau bilang itu adalah cara jitu untuk mengalihkan perhatian, sehingga kau bahkan lupa kau sedang menangis. Lalu tahu-tahu pipimu sudah kering saja.
Dan tidak hanya satu botol yang kau punya, tapi belasan. Satu botol untuk satu alas an. Begitu kau bilang. Sempat aku mencoba bertanya apa sajakah alasan itu? Kau hanya tersenyum dan berbisik, pokoknya kamu salah satunya.
Aku menjadi merasa bersalah mendengar jawaban itu. Bagaimana tidak? Aku ternyata mampu membuatmu menangis dan bahkan menjadi salah satu alasan yang paling sering.
"Tapi botolmu paling berbeda dengan yang lain. Ada dua alasan untuk satu botol."
"Dua? Kau ternyata menduakan aku dengan alasan lain?"
"Iya." Aku bersungut mendengarnya. Sesal berganti kecewa. Merasa tak terima di campurkan dengan yang lain padahal yang lain tidak.
"Aku menyatukanmu dengan cinta".
Ah, kau ini, selalu saja punya cara berbeda untuk membuatku tersenyum dan bernapas lega.
"Meski aku tahu kau menyatukan cintamu untukku dengan cinta untuk yang lain".
Setelah berkata begitu, kau akan memandangi purnama semalaman. Tanpa aku bisa mengusik atau sekedar mengucapkan selamat malam.
Kau begitu larut dalam cahaya purnama. Aku heran mengapa kau begitu khusyuk?
Apakah ada alasan gaib? Atau yang lain?
Tapi aku tahu betul kau orang yang sangat rasional. Segala kau pikirkan masak-masak. Tak ada yang meleset dari perencanaan dan keluar dari penjadwalan. Harus ada alasan yang masuk akal atas setiap tindakan yang kau lakukan. Begitu juga dengan mencintaiku.
Alasanmu kala itu adalah untuk menjadi penyeimbang hidupmu yang terlalu rasional. Kau ingin menjadi orang yang berada di tengah, tidak condong atau malah memihak sepenuhnya. Karena itu kau perlu sesuatu yang irrasional, yaitu cinta. Saat aku bertanya, mengapa aku yang kau pilih? Padahal kau tahu betul aku tidak mencintaimu.
Jawabmu enteng saja,"Itu yang akan membuat cintaku semakin tidak rasional. Jika aku mencintai orang yang mencintaiku, itu masih bisa dinalar. Aku ingin sesuatu yang diluar akalku. Kamu".
Dengan orang yang sangat taktis semacam kau, aku selalu dibuat bisu. Tak bisa menyanggah bahkan berkomentar. Kata-katamu itu selalu menjajah aku yang begitu labil. Aku yang tak pernah punya rencana, apalagi penjadwalan ketat macam kau. Kubiarkan hidup mengalir saja. Begitu juga saat bertemu kau. Aku tak pernah menarget kita akan menikah suatu hari atau bahkan saling mencintai. Aku pikir jika kita memang harus bersama, ya bersama. Seperti sabda Allah, Kun Fayakun* maryam:35.
Balik kau yang bertanya, "Sekarang mengapa kau bersama aku yang tidak kau cintai?". Jawabanku tak kalah enteng," Karena kau mencintaiku, aku hanya butuh waktu untuk mencintaimu. Tapi jika kau yang tidak mencintaiku, lebih dari sekedar waktu yang kau butuhkan".
Lalu senyummu yang manis sekali itu akan tampak berkilauan. Aku ikut-ikutan tersenyum. Begitu saja kita lalui hari-hari kita. Kau tetap kau yang idealis dan aku tetap aku yang aku. Tidak berubah sedikitpun menjadi kekamu-kamuan. Pun kamu, tak menjadi keaku-akuan.
Aku tetap belum bisa mencintaimu, selalu saja aku menduakanmu tiap hari dengan yang lain. Kau sendiri tak pernah gusar bahkan meski aku tak pernah sekalipun meyentuhmu meski kita telah diikat ijab qabul. Tetangga mulai membicarakan kita. Ada yang bilang kau mandul, ada yang menyebutkan aku selingkuh. Bahkan seorang menuduh kita menikah hanya untuk menyelesaikan kontrak.
Mungkin salah satunya benar, tapi entah yang mana. Kau tak pernah tertarik membahas hal itu, kau bilang selalu ada yang lebih penting. Yang penting aku mencintaimu dan kita seatap. Soal kau mencintaiku atau tidak, itu urusanmu. Aku tidak ingin bergantung dengan cintamu, aku mandiri. Aku bergantung kepada cintaku untukmu. Itu yang harus kau tahu."
Masalah mulai timbul saat kau mulai sering menatap langit malam, entah ada purnama atau tidak. Kau mampu duduk dibalkon sejak isya hingga menjelang subuh. Sehari dua hari aku masih mendiamkanmu, tapi beranjak hari ketiga aku mulai khawatir. Kau selalu menolak kuajak kedokter atau psikiater. Mendengar jawabanmu yang tak bisa ditawar, aku hanya bisa manut. Ah betapa sulitnya memahamimu. Kau tak pernah memberiku penjelasan mengapa kamu seperti itu. Saat aku bertanya, apakah karena aku yang tak pernah bisa mencintaimu? Kau langsung berlari menuju balkon dan mengunci pintu. Aku kaubiarkan sendiri dengan pertanyaan yang tak pernah bisa terjawab.
Sampai suatu hari aku terpaksa membawamu ke rumah sakit. Aku khawatir betul saat kau tak sadarkan diri. Dokter memvonis kau mengidap leukemia. Sebenarnya kau sudah tahu tapi tak pernah mau memberitahuku. Semalaman aku menangis disampingmu yang koma.
Hari berikutnya kau sadar dan langsung minta diantar ke balkon bersamaku. Semula aku menolak tetapi kau bilang kau hanya ingin memberiku jawaban. Lagi-lagi aku manut.
"Bulan tak pernah berganti sisi ketika bertemu bumi. Hanya yang tampak oleh mata melebar kian hari hingga penuh utuh menjadi purnama. Itulah kamu. Itulah kenapa aku selalu melihat bulan. Karena aku melihat kamu disitu. Aku yakin sekali kamu akan menjadi matahari suatu saat nanti buatku setelah kau usai menjadi bulan. Aku yakin sekali".
Aku membiarkan saja air mataku jatuh berguliran. Aku minta maaf ternyata aku belum berhasil mencintaimu, bisikku ditelingamu. Kau mengangguk lemah lalu meminta diantar kembali kekamar.
Itulah terakhir kita sempat berbicara banyak. Setelah itu kau kembali tak sadarkan diri lagi hingga sekarang. Aku mulai mencerna kata-katamu yang masih sulit kupahami itu.
Aku sadar betul aku lelaki. Aku tahu betul kewajibanku sebagai seorang muslim. Tapi sebagian hatiku ternyata menolak, menolak mencintai wanita. Aku adalah pecinta sesama yang tak pernah mewujudkannya seperti gay yang lain. Cukup di hati saja, karena aku tahu batasan. Aku tahu agama telah mengatur yang seharusnya, termasuk kewajiban menikah dengan perempuan.
Saat pertama kali aku mengatakan siapa aku yang sebenarnya, kau tak terkejut sama sekali. Aku ingat betul raut mukamu saat itu. Kau juga sangat memahami, aku yang tak bisa menyentuhmu dengan cinta layaknya suami lain.
Kembali aku menatap purnama, mengapa aku kau samakan dengannya? Apakah aku akan berhenti pada penolakanku mencintai wanita? Apakah iya? Apakah aku bisa mencintaimu pada akhirnya?
Dan disinilah aku, menatap bulan lewat balkon untuk mencari jawaban. Aku mencoba mengingat segala yang pernah kita lewati. Apakah ada cinta yang pernah terpercik? Apakah ada gelora yang sempat ada?
Tepat saat bulan mulai akan tenggelam, aku dipanggil ke ruang ICU. Kondisimu semakin kritis. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut kehilanganmu. Aku ingin lagi mengulang semua yang pernah kita lewati. Aku ingin menjadi imammu lagi. Aku ingin membelai rambutmu yang halus. Aku ingin menyentuhmu dengan cinta, sebab sekarang ternyata aku sudah merasakannya.
Aku merasakan cinta kepadamu tepat disaat Izrail menjemputmu. Hadirnya rasa cinta kepadamu harus ditebus dengan kehilanganmu. Begitukah yang semula kusebut hidup mengalir? Oh, ternyata semesta ini cair, bergerak dan tak pernah berhenti berubah.


Aku memandangi nisanmu dengan haru. Kau yang menyembuhkanku. Membuatku menjadi lelaki yang seutuhnya yang dapat mencintai wanita, bukan sejenisku. Setelah membaca tahlil, aku meletakkan bunga melati yang dulu sempat kau tanam. Begitu asyiknya aku bercengkerama, sampai tak sadar gerimis mulai menyapa. Seolah ikut sendu kehilanganmu meski sudah 3 tahun kau berlalu.
"Ayo Abi, hujannya sebentar lagi deras. Nanti Faya bisa masuk angin," Nia, istriku yang sekarang mengajakku beranjak.
Sekilas kupandangimu namamu yang tertoreh dinisan sambil menggendong buah hatiku, Faya. Sedang dibawah nisan itu terbaring pula seorang Faya lain, yaitu kamu.
Aku selalu mengingatmu yang menjelma menjadi anakku.
Kau sungguh benar, kini aku mampu menjadi matahari.

Sunday 1 March 2009

SURAT UNTUK AYAH

03:57 0 Comments

Aku berdiri tak tenang di depan gerbang sekolah. Sudah lebih dari 1 jam aku menunggu dan tahu-tahu kesabaranku sudah mencapai ubun-ubun saja. Ayah lagi-lagi membatalkan janji sepihak begini. Tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah Ayah menulis pesan untukku yang ditempelkan di depan pintu bahwa Ayah akan menjemputku sepulang sekolah lalu kami akan menghabiskan hari berdua untuk merayakan ulang tahunku yang ke enam belas hari ini.


Tampaknya semua akan cukup indah hari ini meski aku tidak mendapati ucapan selamat ulang tahun dan kecupan manis Ayah tepat tengah malam tadi atau sekedar kue ulang tahun yang bertatahkan lilin yang menyala. Bagiku janji menghabiskan waktu berdua sudah lebih dari sekedar kado indah dari Ayah yang hampir sejak 3 bulan ini tak pernah punya waktu untukku. 



Ayah selalu berangkat ke kantor sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tertidur lelap. Otomatis aku tidak pernah mengoborol dengannya. Meski sekarang sudah ada tekhnologi dan Ayah memfasilitasiku dengan semua itu, tetap saja jarak diantara kami makin menganga hari demi hari.

Drrrt..drrrt.. handphoneku bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayah, segera kuangkat.
"Sayang, Maafkan Ayah, Ayah nggak..".Klik. aku memutuskan sambungan telepon itu. Aku sudah tahu sekuelnya. Daripada mendengar langsung dari Ayah membuatku semakin lara lebih baik aku matikan telepon itu. Ini seperti saat Ayah berjanji akan mengambilkan raportku namun ternyata Ayah tidak bisa karena ada janji dengan klien yang mendadak. Sontak emosiku meledak, merasa aku tak lagi punya harga di mata Ayah. Merasa aku tak punya arti buat Ayah. Untung kala itu ada Tante Linda, mama Ical,mama pacarku. Tante Linda berbaik hati mengambilkan raportku dan untungnya wali kelasku menyutujuinya.

Kali ini aku sudah tidak bisa lagi menahan emosi. Aku menelpon Ical, meminta diantar pulang ke rumah, tidak kemana-mana. Aku hanya ingin pulang dan sendiri saja. Ical manut, jadilah aku sampai dirumah 30 menit kemudian.
"Nad, kalo ada apa-apa kamu harus ngasih tahu aku ya?", Ical berharap cemas, seolah aku ini hendak bunuh diri saja. Aku tersenyum tipis dan mengangguk.
"Kalau kamu butuh cerita,aku siap kapan aja," Ical sibuk menawarkan bantuan.
"Makasih sayang, makasih banget. Aku cuma butuh sendiri sekarang".
"Ini hari ulang tahun kamu, seharusnya kamu nggak melewatkannya dengan cara begini". Aku tersenyum getir dan melangkah masuk kerumah.

Sesampainya dikamar, aku mengambil album foto keluargaku. Masih ada Ibu yang menggendongku, Ayah yang mengajariku bersepeda dan kami bertiga yang belajar berenang bersama-sama sebab sama-sama tidak bisa. Ada juga fotoku sedang mengangkat piala tinggi setelah memenangkan pertandingan catur saat berusia 10 tahun. Ayah mengangkatku tinggi-tinggi dan ibu tersenyum manis sekali.

Sayang sekali kebersamaan itu luntur, sejak Ibu meninggal 3 bulan yang lalu. Tahu-tahu Ayah menjadi sangat sibuk dan tak punya waktu. Sekedar makan malam bersama atau mengantarkanku ke sekolah tak lagi sempat. Aku malah lebih banyak menghabiskan waktu dengan Ical. Dan Ayah? Tenggelam dalam dunianya sendiri seolah aku tak ada lagi..

Aku sudah memutuskan untuk menulis surat saja buat Ayah. Kupikir itu lebih baik dan Ayah bisa membaca sesempatnya. Surat yang mengabarkan aku sudah lelah merasa sendiri dan tak dianggap penting atau bahkan mungkin dianggap ada. Jadi begini bunyi suratku..

Untuk AYAH
Terima kasih Ayah, Ayah selalu pulang setelah waktu makan malam usai sehingga aku bisa makan tanpa peraturan yang kaku
Terima kasih Ayah, Ayah terus mengganti perhatian dengan uang sehingga aku kelelahan mengahabiskannya sendirian
Terima kasih Ayah, Ayah tak pernah menjemputku atau mengantarkanku sehingga aku punya lebih banyak waktu dengan Ical
Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi menemamiku main catur di sore hari sehingga aku bisa berkeliaran sesukaku
Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi sempat mengambil raportku sehingga aku tak perlu melihat kebanggaan yang mengharu biru
Terima kasih Ayah, Ayah sudah melupakan hari ulang tahunku sehingga aku tidak perlu menutup mata untuk membuat permintaan sesaat sebelum meniup lilin

Maaf., aku tidak pernah mengerti dunia Ayah
Maaf, aku terlalu banyak menuntut waktu Ayah
Maaf, aku selalu saja tak peduli dengan apa yang terjadi pada Ayah
Maaf, aku tak lagi pernah bercerita tentang duniaku kepada Ayah
Maaf, aku tak lagi memberi dekapan hangat dan ucapan selamat pagi sebelum memulai hari
Maaf, aku membebani hidup Ayah
Maaf, aku menjadi anak Ayah yang membuat Ayah tak bahagia
Maaf, aku tak lagi bisa merasakan cinta dalam keluarga kita
Maaf, aku terlalu menuntut banyak maaf sedang aku tak bisa memberi apa-apa

-NADIA-


Pada baris terakhir dimana namaku berada, air mataku menetes lembut. Aku terlalu lelah sekarang untuk menahan air mata. Aku tidak lagi percaya aku masih punya keluarga. Aku lelah.. aku kehilangan arah..

Tepat pukul 11 malam aku terbangun, ternyata menangis menguras air mata dan aku kelelahan karenanya. Tahu-tahu aku sudah terbangun saja. Namun ada yang aneh, surat yang kutulis untuk Ayah tidak lagi disebelahku. Ada secarik kertas lain yang ditujukan untukku.

Untuk Nadia, malaikat kecil Ayah yang beranjak dewasa

Maaf, Ayah tak pernah lagi menemanimu makan malam atau sekedar main catur di sore hari. Ayah tahu nak, Ayah telah terlalu jauh mengabaikanmu. Tapi bagaimanapun juga sekarang Ayah sendiri. Sendiri mengurus kantor dan usaha perkebunan bunga yang dulu sempat dikelola ibu. Sendiri juga Ayah harus mengatur diri. Sendiri membesarkanmu dan pada yang terakhir ini ternyata Ayah gagal. Ayah tak pernah mau berterus terang kepadamu, kepada permintaan terakhir ibumu, bahwa kaulah yang mengurus perkebunan bunga itu, Ayah pikir kau masih terlalu kecil untuk mendapat beban seberat itu. Ayah takut masa remajamu akan lewat tanpa kau sempat menikmatinya. Ayah takut mengatakan hal ini kepadamu, takut kalau Ayah menyebut Ibu dukamu akan kembali hadir dan Ayah tak sanggup melihatmu menangis karena jauh dalam hati Ayah, Ayah akan lebih dari sekedar menangis. Ayah selalu tak tahan melihatmu bersedih, Nak. Maaf Ayah tak memberitahumu sehingga justru Ayahlah yang membuatmu merasa bersedih atas kesepian yang Ayah ciptakan.
Maaf Ayah tak pernah memberitahumu betapa Ayah sangat khawatir kau bergaul dengan tidak benar, berkawan dengan orang yang salah. Tapi ternyata kau memilih Ical masuk dalam hidupmu dan Ayah selalu yakin dengan pilihanmu. Meski Ayah sangat khawatir Ayah rasa Ayah tidak perlu mengatkannya kepadamu karena Ayah pikir itu hanya akan membuatmu merasa terbelenggu.

Maaf Ayah tak pernah memberitahumu, setiap malam Ayah selalu masuk kamarmu dan tidur disebelah ranjang diatas karpet merah itu. Ayah selalu menciummu keningmu diam-diam dan menatap senyummu yang damai dalam tidur. Itu membuat Ayah lebih kuat untuk menjalani eok hari. Hanya kamu yang memberi Ayah kekuatan. Hanya senyummu yang membuat Ayah bertahan.
Maaf Ayah membuatmu menutup telepon siang tadi. Ayah ingin berkata sebenarnya. Ayah ada di makam Ibu. Mengabarkan kepadanya tentang kau yang terus membuat kami bangga dengan prestasi dan tumbuh menjadi gadis manis yang sungguh cantik. Ayah juga bercerita kepada Ibu betapa Ayah sangat bangga kau tetap menjadi juara pertama di sekolah meski Ibu tidak ada lagi. Ayah menceritakan semuanya Nak. Ayah pikir Ibu juga harus berbahagia di ulang tahunmu ini. Tapi Ayah justru membuatmu kecewa dengan tidak menngatakannya. Entah mengapa sekarang Ayah terlalu takut berkata apa-apa. Takut Ayah akan terlalu sering mengucapkan nama Ibumu dan kau akan merindukannya dan merasa tersiksa. Dan disinilah kesalahan Ayah. Ayah tak lagi pernah berbicara kepadamu. Ayah tak pernah lagi mengatakan betapa Ayah sangat menyayangimu dan bangga padamu. Ayah terlalu takut membagi beban tentang kesedihan ditinggal Ibu. Ayah terlalu sibuk mencintaimu tapi tak pernah membuktikannya dihadapanmu.
Maaf Ayah terus membiarkanmu sendiri, maaf Ayah terlalu sering membuatmu kecewa. Maaf Ayah menyayangimu tapi kau tak lagi tahu.

Sayang, disebelahmu Ayah meletakkan kue ulang tahunmu. Entah apakah sekarang lilinnya masih menyala atau tidak. Jika masih dan kau menginginkan Ayah menemanimu untuk meniupnya, turunlah. Ayah menunggumu didepan gerbang. Tapi jika sudah lewat tengah malam dan kau tak juga turun, Ayah mengerti. Memang Ayah terlalu banyak bersalah dan lebih baik kau sendiri. Ayah mengerti dan Ayah akan membiarkan kau melakukannya sendiri.

-Ayah-


Sampai pada titik terakhir, surat itu sudh basah oleh air mataku. Aku segera berlari keluar membawa kue ulangtahunku yang sudah dingin. Ternyata Ayah sudah menungguku sejak tadi dan teteap terjaga.
"Ayah..",aku berkata pelan. Ayah tersenyum menatapku. Segera aku berlari memeluknya.
"Ayah menyayangimu tapi Ayah tak memberitahumu. Maaf."
"Aku yang bodoh, tak pernah merasakannya."

Dan kami pun tenggelam dalam tangis disaksikan oleh kue ulang tahun yang membeku.

Ah, senyum

03:46 0 Comments
ah,senyum..
memang tak bisa di nujum..
amarah yang kemarin meledakkan tangis
kini oleh kalian ditepis manis..

ah,senja..
cahaya temaram yang selalu sampaikan simfoni warna
tanpa ia,mana siap aku menyambut malam
dalam isak yang tersulam

ah,bunda. .
maafkan ananda tiada dapat dipercaya. .
bukan salah bunda,,jika aku kembali mendapat murka..

ah,bunda
kenapa ah yang kau ucap tampak gerah?
pertanda lelahkah?
jangan bunda,aku masih butuh amarahmu
agar aku tak menjadi jalang baru

ah,bunda
ah,cinta..

Maaf, Bunda..

03:44 0 Comments
Bunda..
maaf, aku pulang tanpa apa-apa
Tiada senyum bahagia yang mampu kuramu untukmu
atau sekedar haru yang berwarna biru
apalagi tawa dan suka cita
tanganku kosong,bunda..

sejujurnya
aku membawa
malu yang luar biasa
dan gagal yang menyiksa
mana patut kusuguhkan pada bunda
meski hanya itu yang kupunya,kubawa

jadi aku tanggalkan mereka di depan pintu
jangan heran aku jadi gagu
mataku basah sebab sesal dan rindu
jiwaku compang-camping dihadapmu
tak mampu utuh sebab rapuh
tak lengkap karena aku tak cakap

apa bunda?
aku boleh membawa masuk mereka?
kau terima aku utuh walau kecewa?

maaf bunda,,
kau bisa mencintaiku begitu apa adanya
tapi baktiku masih mengada-ada..
maaf bunda. . .

SETIA

03:40 0 Comments
malam ini
habiskan saja makan malam kita
aku tak bisa pulang,dinda..

...

lalu kopi yang kau janjikan sambil menunggu
tak perlu kau buat secangkir lagi untukku

...

dan selimut yang menghangat
tak perlu kau tinggal di depan pintu untukku yang terlambat
pulang dan tersesat..

...

cukup esok pagi kau sisakan senyum itu
saat membuka pintu
karena itulah semestaku..

lalu berhamburlah dalam dekapku
hanya parfummu yang menempel disitu
...

itukah setia yang kau tanya?
kaulah bagiku semesta..