Hari ini saya pulang ke Temanggung,setelah hampir 20 hari saya tidak menginjak rumah.
Di bus,kebetulan saya duduk di samping seorang ibu yang membawa beberapa ember besar yang ditumpuk. Ibu itu menyapa saya ramah,"Turun mana mbak?".
Saya pun menjawab dengan ramah pula. Sebentar kemudian, tercium bau amis dari ember-ember itu. Saya lantas sadar, ibu tadi adalah seorang penjual ikan. Kemudian saya bertanya,"Berjualan dimana, Bu?".
Saya pikir, paling juga di daerah magelang. Karena itu saya mengajukan pertanyaan dengan agak basa-basi.
Tapi jawaban ibu tadi,di luar dugaan saya. Ibu itu mengaku berjualan di Jogja.bayangkan!Jogja!
Padahal rumahnya ada di Secang. Jarak jogja-secang mungkin sekitar 50 hingga 60 km.
Saya mulai tertarik lantas bertanya lagi,"Jam berapa Ibu berangkat dari rumah?".
"Setengah satu mbak", ibu itu menjawab dengan enteng.
Giliran saya yang geleng-geleng. Ibu itu lalu bercerita kesehariannya,bangun jam 12,sholat,berangkat, mengambil ikan di pasar induk lalu berangkat ke jogja jam 4 pagi.
Jualannya pun harus habis. Kalau belum habis, belum pulang.
Entah karena saya yang melankolis atau apa, saya trenyuh mendengarnya. Saya bandingkan dengan saya yang baru menghadapi soal fisika saja sudah mengeluh habis-habisan, ibu itu masih bisa menyediakan senyum tulus untuk saya meski menghadapi 'soal' yang lebih pelik.
Berbicara tentang ibu,pikiran saya langsung melayang ke ibu saya sendiri.
Apalagi saat itu saya dalam perjalanan pulang.
Saya membayangkan betapa beratnya hidup ibu yang harus menghidupi 5 nyawa dan nyawanya sendiri seorang diri sejak abah meninggal.
Saya tak berniat mengajak anda ikut seperti ibu, tidak. Yang ingin saya renungi adalah betapa 'bejat'nya saya selama ini.
Selama saya di magelang, saat saya pulang seolah tujuannya adalah meminta sangu. Walaupun saya pulang juga karena rindu. Tapi seolah-olah saya pulang ketika saya butuh saja.
Sekarang, frekuensi pulang saya makin berkurang sejak saya punya rekening bank sendiri. Ibu mentransfer 'bulanan' saya dengan lebih mudah.
Saya merasa begitu berdosa, saya tak pernah bisa pulang saat ibu membutuhkan saya, saya tak pernah mengucapkan terima kasih yang tulus untuk ibu. Saya juga tak pernah meminta maaf atas kebejatan saya itu.
Saya lantas ingat, setiap saya pulang dan keesokan harinya berangkat sekolah dari rumah, pagi-pagi benar ibu sudah bangun. Tanpa saya minta, ibu sudah menyiapkan air panas untuk mandi (air ngadirejo di pagi hari dinginnya seperti es).ibu juga menyiapkan sarapan untuk saya. Ibu melakukan semua itu dengan senang hati, seolah kebutuhan ibu bukan kebutuhan saya.
Saya kemudian mengingat apa yang sudah saya perbuat untuk ibu dalam usia yang hampir 17 ini. Tidak ada,tidak ada yang berarti yang saya lakukan untuk ibu. Saya tak mampu berbakti kepada ibu setulus ibu mencintai saya.
Ya, cinta.
Saat saya menulis note ini,tahu-tahu mata saya basah.
Saya rindu ibu, wanita yang mengandung saya, melahirkan saya, mengajari saya hidup, mencintai saya dengan tulus, berkorban demi kebahagian saya, dan berjuang keras demi saya dan saudara-saudara saya.
Temanggung pun hujan, basah.
Sebasah pipi saya,
Yang merindukan ibu lebih dari biasanya.
Hendak saya cium nanti kaki beliau, saya akan meminta maaf. Saya akan berterima kasih. . .
Nanti sesampai di rumah. . . .
Allahummaghfirly waliwa lidayya warhamhuma kama robbayani soghira. . . .
Setelah anda membaca tulisan ini, silahkan peluk ibu anda, sebelum anda terlambat.
Atau setidaknya ucapkanlah terima kasih atas cintanya yang begitu luar biasa. . .
No comments:
Post a Comment
jangan cuma baca, tapi komen juga ya