Aku berjalan mengendap-ngendap, sambil sesekali melirik kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang melihatku. Tidak Ibu, tidak juga Bapak. Begitu yakin kondisi aman, aku membuka pintu belakang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan derit yang bisa menyadarkan Bapak dan Ibu bahwa aku keluar malam ini. Kalau mereka sampai tahu, aku bisa dihukum semalaman penuh.
Sudah jadi ketentuan bahwa selepas maghrib aku dan adik-adikku tidak boleh keluar rumah. Mengaji selepas maghrib kemudian belajar hingga isya'. Setelah itu kami harus sholat berjamaah dan kemudian belajar kembali. Itu rutinitas wajib yang sudah tidak boleh ditawar lagi. Namun, ada pengecualian. Malam jum'at kami dibebaskan dari rutinitas mengaji sebab bapak dan ibu punya acara mengaji sendiri dengan orang kampung lain yang berdatangan di rumah kami. Bapakku memang seorang yang alim, mengetahui persoalan agama lebih dibanding warga kampung yang lain. Sebab dulu bapak pernah mengaji di Jombang selama 7 tahun, di tempat Gus Dur pernah dilahirkan, begitu kata Bapakku. Disana pula bapak bertemu Ibu yang kala itu baru mondok 4 tahun. Mereka bertemu jatuh cinta, menikah, lalu lahirlah aku dan adik-adikku.
Karena bapak menganggap mengaji sangat penting, kami tidak pernah bisa luput dari kewajiban mengaji. Kami pun tidak boleh berkeliaran sesuka kami pada malam hari, seperti anak kampung yang lain. Apalagi di malam hari begini. Karena itu, malam ini aku sangat berhati-hati agar Bapak tidak tahu aku sedang berusaha keluar.
"Krompyaaaang!!", tidak sengaja aku menginjak piring di dapur. Karena aku tidak menyalakan lampu maka aku tidak melihat benda-benda disekelilingku. Jantungku sudah ketar-ketir, takut ketahuan Bapak. Apalagi setelah itu terdengar langkah kaki Bapak menuju dapur.
Kurang tiga langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara kucing yang entah dimana asalnya, aku juga tak melihat karena dapur malam itu gelap sekali.
"Meaoow…"
"Oalah, Kucing kok, Bu," kata bapak sambil berbalik langkah. Aku lega sekali. Hampir saja bapak tahu. Untung ada kucing penyelamat itu sehingga Bapak urung masuk dapur.
Tak ingin nyaris ketahuan lagi, sekarang aku berjalan lebih hati-hati menuju pintu dapur yang menghubungkan dengan kebun milik Mbah Tejo. Kali ini aku berhasil keluar dengan selamat.
Saat aku sampai diluar, terlihat Ratri sudah menungguku gelisah. Begitu melihatku dia langsung bersorak tanpa suara.
"Ayo cepet! Lenggere hampir main!," bisik Ratri kepadaku.
"Iya, Iya. Ini juga sudah aku usahakan cepet," jawabku.
Segera kami berlari menuju lapangan kampung. Disana sedang ada pertunjukan kuda lumping yang biasa disebut jaran kepang. Jaran kepang di daerahku terdiri dari penari pria yang menari diatas kuda-kudaan yang dianyam dari bambu. Setelah menari sekitar 15 menit, tubuh para penari akan dimasuki roh dan mulai menari dengan tidak beraturan bahkan kadang makan ayam dan beling. Konon, yang makan ayam dan beling tersebut bukanlah para penari namun Arwah yang merasuki mereka. Jadi para penari itu aman-aman saja memakan ayam hidup ataupun beling tadi.
Selain para penari yang kesurupan itu ada pula penari yang tidak kesurupan. Para penari yang tidak kesurupan ini lazim disebut lengger dan Ratri suka sekali melihat lengger beraksi, sedangkan aku suka sekali mendengar Ratri bercerita tentang lengger.
Dari cerita Ratrilah, aku melihat gerakan para penari yang rancak dengan riasan yang tebal dan mendengar alunan pengiring yaitu tembang jawa dengan irama yang mengehentak. Mereka menari dengan serempak dan penuh semangat. Sesekali sambil bercerita Ratri mempraktekan tarian para pemain lengger itu membuat ceritanya semakin hidup saja. Pertama, dia akan berjalan seolah sedang menunggang kuda lumping lalu berjalan berputar sambil memainkan pecut. Tangannya naik turun dengan gaya orang yang sedang mengawasi. Lalu kuda lumping yang dikenakan dilepas lalu dipegang dan digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri. Setelah itu dia akan bercerita dengan bahasanya yang begitu memukau tentang lengger. Aku betul-betul kagum dibuatnya.
Ratri sudah berkali-kali melihat jaran kepang dan lengger. Dia bahkan hapal irama dan gerakan para pemain, kecuali yang kesurupan tentunya. Berbeda denganku yang belum pernah menyaksikan jaran kepang yang umumnya digelar malam hari itu. Bapak selalu melarangku menontonnya. Bapak bilang itu musyrik, tidak baik. Percaya sama hal seperti itu. Tidak edukatif. Entah apa makna kata itu, tapi kata itu membuat jaran kepang dan lengger seolah tidak modern, lha wong sampai dibilang tidak edukatif.
Awalnya tiap kali Ratri mengajakku menonton jaran kepang aku selalu menolak dengan memberikan alasan seperti yang Bapak ajarkan. Namun, lama-kelamaan aku terpikat juga dengan rayuan Ratri. Apalagi Ratri bilang,"Ora bakal melbu neraka mung merga ndelok lengger, asal sholat tetep 5 wektu. Yo opo ora??".
Ditambah lagi cerita Ratri yang mampu mengambarkan lengger begitu apik. Katanya para penari itu menari begitu indah, musik yang mengalun mampu menghilangkan penat. Pokoknya benar-benar menghibur lah! Bukan orang jawa namanya kalau belum pernah nonton jaran kepang, dalihnya suatu waktu.
"Tinggal sekarang kamu ini orang Jawa bukan? Kalo iya, ya nontonlah!," bujuk Ratri sore sebelum pertunjukan kuda lumping.
Karena penasaran dan ingin dianggap sama dengan anak lain, aku mengiyakan ajakan Ratri untuk menonton jaran kepang malam ini. Ratri tidak pernah absen nonton jaran kepang, sebab kakekknya adalah pawang jaran kepang. Kemana saja kakeknya tampil, Ratri selalu diajak, tapi belum boleh ikut main sebab dia masih anak-anak. Umurnya baru 12 tahun sama denganku.
Sampai di lapangan aku celingak-celinguk kebingungan mencari Ratri yang sudah lebih dulu berlari. Tiba-tiba ada yang menggamit tanganku,"Ayo!," ternyata itu Ratri. Baru saja dia mencarikan tempat yang strategis untuk kami menonton, di pojok kanan yang cukup sepi namun pertunjukan dapat terlihat jelas.
Saat aku mulai melihat aksi jaran kepang itu, ternyata beberapa pemain sudah mulai kesurupan. Seorang ada yang mengambil piring dan memecahkannya. Lalu serpihan-serpihan piring-piring itu dimakan begitu saja seperti kerupuk. Aku sampai melongo dilihatnya.
"Untung piringnya pas," celetuk Ratri.
"Apa maksud kamu?,"tanyaku tak mengerti.
"Kadang, setan yang masuk tidak suka dengan piring yang disediakan. Terus piringnya dibanting, dilempar-lempar ke penari lain. Kalau sudah begitu mbah kakungku yang beraksi, sudah harus nimbul.,” jelas Ratri panjang lebar.
"Nimbul?", dahiku mengernyit mendengar kata asing itu.
"Itu artinya mengeluarkan setan yang sudah masuk ke dalam tubuh. Hanya yang punya mata batin yang bisa nimbul. Kalau tidak ada tukang timbul, pertunjukan tidak akan pernah selesai. Lha wong setannya nggak mau pergi."
Aku hanya ber-oo panjang tanda mengerti.
Kami kembali asyik menikmati aksi para pemain. Ada yang mengambil ayam hidup, lalu memakannya mentah-mentah hingga darah ayam itu muncrat kemana-mana. Aku ngeri melihatnya. Namun, justru sebaliknya dengan Ratri dan penonton lain, mereka bertepuk tangan dan bersorak riuh.
"Ratri, aku mau pulang saja," kataku kepada Ratri diantara teriakan para penonton yang tampaknya mulai ikut menggila.
"Sekarang? Kamu belum lihat lenggernya. Sebentar lagi keluar kok"
Tak lama kemudian, tampak 2 penari wanita yang menari seiring dengan hentakan alunan musik. Gerakan mereka tampak luwes dan bersemangat tetapi beraturan tidak seperti pemain yang kesurupan. Tarian mereka memang tidak halus seperti layaknya tari jawa,namun justru menghentak. Sesekali mereka mengeluarkan sorakan saat gong dibunyikan. Tarian mereka begitu indah dinikmati.
"Itu lenggernya. Bagus kan?," kata Ratri menjelaskan.
Aku mengangguk. Tarian mereka memang lebih bisa dinikmati dan manusiawi menurutku.
"Ayo sekarang kalau pulang, nanti kamu dimarahi Bapakmu," ajak Ratri.
Aku mengiyakan dengan segera beranjak dari dudukku dan berjalan. Ratri mengikuti.
"Kamu mau pulang juga?," tanyaku.
"Iya. Aku sudah tahu kok lanjutan jaran kepangnya seperti apa. Aku mau pulang saja, bareng kamu. Biar tidak pulang sendiri," jawabnya.
Kami berduapun pulang bersama. Untung malam itu bulan purnama, sehingga kami tidak perlu obor untuk menerangi jalan kami. Rumahku dengan rumah Ratri berjarak 10 rumah. Agak jauh, tapi masih satu deret. Rumahku lebih dulu dilalui daripada rumahnya. Ketika kutawarkan untuk kuantar sampai rumahnya, Ratri menolak. Dia justru meminta yang lain.
"Sholeh,Kapan-kapan ajari aku baca Qur'an dan mengaji.seperti kemarin-kemari ya? Aku ingin menjadi pemain lengger kalau sudah besar tapi yang bisa mengaji," pintanya. Aku tersenyum mendengar permintaanya itu. Pemain lengger yang bisa mengaji, agak janggal saja rasanya.
"Tentu, nanti aku ajarkan kepadamu semua yang aku tahu." jawabku sambil tersenyum.
"Sayang sekali mbah kakung cuma bisa nimbul tapi tidak bisa sholat dan mengaji. Padahal aku senang sekali lho melihat orang sholat. Mbah kakung selalu marah-marah tiap aku tanya tentang sholat. Apalagi kalau Mbah tahu aku belajar sholat, wah aku langsung dihukum," keluh Ratri dengan wajah bulatnya yang lucu.
"Tahu mengapa Mbahku begitu?." Aku mengeleng.
"Kata orang Mbah kakung itu orang kejawen. Aku juga ndak tahu artinya apa."
"Kalau Bapakku sebaliknya tidak tahu tentang jaran kepang. Aku selalu tidak boleh minta ijin menonton jaran kepang. Katanya aku bisa musyrik, percaya sama setan. Lalu tidak takut sama Allah. Ternyata bapak salah, aku tidak jadi musyrik kok," aku menimpali.
"Musyrik itu apa?," tanya Ratri.
'MUSYRIK ITU ORANG KAYA KAMU DAN MBAHMU! TIDAK PERCAYA DENGAN ALLAH DAN TEMPATNYA DINERAKA!!!," bapak menjawab dengan nada membentak. Ternyata bapak sudah dibelakang kami. Bapak marah besar mengetahui aku keluar malam-malam dengan Ratri, menonton jaran kepang pula.
Aku ketakutan setengah mati, begitu juga Ratri. Dia langsung lari terbirit-birit kerumahnya.
Seketika itu juga bapak menyeretku pulang. Aku dengan perasaan takut yang luar biasa mulai menangis. Perasaanku campur aduk, antara takut dan marah. Aku seolah tidak terima Bapak menyebut Ratri musyrik. Sungguh bapak keterlaluan, pikirku.
Malam itu juga, hukuman untukku ditetapkan. Bukan berdiri semalaman sambil membaca surat yassin seperti biasanya, atau mencuci dan menimba air sebulan penuh, akan tetapi mondok. Besok pagi aku akan diantar bapak mondok di tempat bapak mondok dulu. Hatiku berontak, aku masih ingin menikmati masa kecilku dirumah bersama keluarga dan teman-temanku yang lain. Tapi bapak berkata lain, bapak sudah jengah melihat aku yang kian hari kian akrab dengan Ratri, cucu Mbah Jatmiko, ahli jaran kepang di kampung kami. Sudah menjadi rahasia umum sejak dulu Bapak dan Mbah Jatmiko bersitegang. Bapak menentang keras jaran kepang, sedangkan Mbah Jatmiko adalah pelopor jaran kepang di kampung kami hingga terkenal sampai kampung-kampung lain. Selain itu Bapak adalah ulama terpandang di kampong sedangkan Mbah Jatmiko adalah orang kejawen yang sangat keras.
Bapak tidak sudi melihat aku, putra sulungnya, bergaul akrab dengan cucu musuh bebuyutannya itu. Bapak khawatir aku akan tertular virus jaran kepang, yang kata bapak bisa membahayakan iman. Padahal tidak seperti itu, Ratri memang selalu bercerita tentang menariknya jaran kepang, namun ia juga selalu minta diajari mengaji. Ia tidak seperti anak yang lain, minatnya kepada agama begitu besar, bahkan menurutku lebih besar dibanding aku sendiri. Itu yang bapak tak pernah tahu, bapak melihat Ratri hanya dari sudut pandang Bapak, tanpa pernah peduli isi hati Ratri yang sebenarnya.
Malam itu, bapak meyumpahi Ratri yang membujukku keluar, aku dimarahi habis-habisan. Bahkan tidak akan dianggap anak lagi jika aku berani melanggar larangan Bapak. Bapak memang orang yang sangat otoriter, keras kepala. Keputusanya malam ini pun tidak dapat ditawar lagi, aku besok akan dikirim ke Jombang. Mengaji disana hingga alim seperti bapak, tidak boleh pulang sebelum 10 tahun mengaji. Mendengar keputusan bapak itu, aku justru teringat dengan waktu yang kuhabiskan bersama teman-teman, termasuk Ratri. Esok pagi aku sudah tidak bisa lagi menangkap belut tiap masa tanam akan berlangsung, atau memet; mencari ikan-ikan kecil di kali bersama yang lain, juga bermain layang-layang di lapangan, hilang sudah masa kecilku, hilang waktu bermainku, hilang kesempatan bertemu Ratri lagi meski untuk sekedar berpamitan.
10 tahun kemudian.
Aku menerima surat itu dengan tangan gemetar. Surat itu kuterima dari tangan Iffah, adikku.
Surat yang ditulis oleh tangan Ratri sendiri,Ratri teman masa kecilku.
Sudah 10 tahun aku tidak pernah bersua dengannya. Kabarnya pun baru akan kudengar sekarang.
"Mbak Ratri pengen banget bisa ketemu Mas Sholeh," kata Iffah.
Tanganku bergetar hebat membuka lipatan kertas.
Untuk Sholeh
Semoga damai selalu dalam harimu
Assalamualaikum wr.wb.
Apa kabar Sholeh? Masihkah kau ingat denganku yang membuat kau dimarahi habis-habisan oleh Bapakmu? Aku yang selalu menjadi teman sebangkumu dari kelas 1 hingga kelas 6, aku yang selalu minta kau ajari mengaji, aku yang selalu memaksamu menonton jaran kepang dan lengger, aku yang begitu dibenci oleh Bapakmu.
Aku hanya ingin mengucapkan maaf atas segala yang pernah aku lakukan kepadamu. Aku menyesal memaksamu menonton malam itu yang justru membuat aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku meminta maaf aku tak pernah bisa mengajari sesuatu yang berarti bagimu, tapi kau justru mengajariku begitu banyak hal. Darimu aku tahu syahadat, darimu aku bisa sholat.
Masih ingatkah kau saat aku pertama kali belajar puasa? Kau selalu mengawasiku hingga maghrib, memastikan aku menyempurnakan puasaku. Aku masih ingat betul suaramu yang sangat merdu saat menjadi imam ketika kita sekelas sholat berjamaah. Suaramu itu yang membuatku selalu semangat mengaji, semangat belajar menjdi wanita sholehah yang kau sebut sebagai perhiasaan dunia. Aku ingin sekali disebut wanita sholehah, aku ingin sekali nama kita menjadi mirip. Aku ingin sekali kau bisa mengajari aku mengaji lagi. Ingatkah kau pernah berjanji akan mengajarkanku semua yang kau tahu?
Ah tentu kau sudah sangat pandai sekarang, dan waktu yang kau perlukan untuk mengajarkan segala yang kau tahu akan menjadi sangat panjang bukan?
Karena kau jugalah, aku dapat mewujudkan cita-citaku, pemain lengger yang bisa mengaji dan rajin sholat, meskipun aku harus mengerjakannya sembunyi-sembunyi dari mbah kakung.
Percaya tidak? Aku selalu membaca doa setiap akan pentas,doa yang dulu kauajarkan, doa khusnul khotimah.Karena itu,aku selalu tampil memukau. Aku senang sekali, doamu itu manjur benar.
Tapi sekarang aku berhenti menjadi pemain lengger, sejak Mbah kakung meninggal. Aku sudah pakai jilbab. Kata adikmu, Iffah, seorang yang berjilbab tidak boleh lagi membuka auratnya. Padahal kau tahu sendiri kan? Pakaian pemain lengger hanya kemben, rompi bahu dan celana selutut. Karena itu aku tak pernah lagi menjadi pemain lengger, aku hanya menjadi penabuh kenongan. Untung aku masih diterima meski aku berjilbab. Katanya karena aku cucu Mbah Jatmiko, takut kualat kalau aku ditolak.
Kualat, pasti kau orang yang tak pernah takut kualat. Apalagi sekarang, kau hanya takut pada Tuhanmu kan? Ah, itu yang membuat berbeda dari pemuda lain. Aku sungguh bangga. Bangga pernah menjadi temanmu. Bangga pernah menjadi teman sebangkumu. Bangga pernah kau ajari mengaji. Bangga yang meluap-luap. Membuncah-buncah. Hingga aku tak tahu disebut apa. Yang aku tahu aku hanya selalu ingin bertemu denganmu, diajari mengaji lagi, dibimbing sholat lagi. Manjadi yang halal bagimu, menjadi yang mendampingi sisa hidupmu.
Maaf, jika apa yang aku utarakan ini berlebihan. Maaf, jika aku tidak tahu diri. Seorang yang pernah dibilang musyrik oleh ayahmu memintamu untuk meminangnya.
Tapi apa daya aku berkata? Aku hanya gadis yang tak bisa membohongi perasaanku sendiri.
Wassalamualaikum. Wr.wb.
Ratriningsih
Yang ingin menjadi SHOLEHAH
Aku melipat kembali surat dari Ratri dengan perasaan haru. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan bahasa, perasaan itu membuncah-buncah hingga aku tak dapat membendungnya. Air mataku meleleh.
"Mas?," Tanya Iffah. Aku menghapus buliran bening di pipi dan mataku.
"Mas, nggak apa-apa kan?,"Iffah berusaha memastikan.
"Nggak apa-apa," jawbku kelu."Bagaimana Ratri sekarang?," tanyaku.
"Setelah menitipkan surat itu, Mbak Ratri didatangi oleh kelompok islam militan.
Mereka mengajak Mbak Ratri untuk menjadi salah satu pejuang jihad fi sabillilah, kedok mereka licik sekali. 1 bulan berselang, terdengar kabar, Mbak Ratri… Mbak Ratri menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel Hilton," Iffah menceritakan dengan suara terbata-bata. Aku yang mendengarnya nyaris tak percaya.
"Mas tahu apa yang kelompok teroris itu janjikan pada Mbak Ratri? Mereka bilang Mbak Ratri akan menjadi gadis Sholehah yang selalu diingat oleh umat. Mbak Ratri akan menjadi penghuni surga bersama yang dicintainya. Mereka sama sekali tidak mengatakan bahwa mbak Ratri akan tercabik menjadi ratusan bagian yang tak bis diidentifikasi. Mereka tidak menyebutkan mbak ratri justru akan membunuh puluhan muslim lainnya." Mata Iffah sekarang sudah sama sembabnya dengan mataku.
"Lalu bagaimana reaksi Bapak mendengarnya?," tanyaku.
"Bapak tidak mengucap sepatah katapun. Tapi aku tahu, Bapak menyesal atas kata musyriknya dulu. Sekarang Bapak memang sudah tak bisa berkata apa-apa, Bapak.. Bapak sudah tiada," Iffah menangis semakin keras. Tangisku tak kalah kerasnya.
"Iffah, aku menyesal sekali telah mengecewakan banyak orang termasuk kamu. Apalagi Bapak dan Ratri yang sangat aku cintai, yang aku belum sempat meminta maaf kepada meraka atas apa yang aku lakukan. Seandainya Bapak dan Ratri tahu aku sekarng dipenjara karena kasus narkoba, pasti mereka sangat kecewa. Pasti ratri tak akan menulis surat itu. Pasti bapak akan meleyangkan kata musyrik itu kepadaku. Aku sangat menyesal…". Dari balik jeruji Iffah memegang tanganku, seolah hendak memberiku kekuatan.
"Sekarang saatnya berubah mas, jangan sampai terlambat untuk yang kedua kalinya."
Aku semakin tergugu, mendengar kata-kata Iffah yang begitu tulus. Aku, terpidana seumur hidup karena penyelundupan narkoba 3 kg di Bandara Soekarno-Hatta. Aku, yang gagal mewujudkan mimpi bapak dan Ratri. Aku, yang terjerumus sebab setan-setan itu tak mau pergi dari hatiku. Aku, yang membiru di sel tahanan itu.
Magelang, 10 Maret 2009
No comments:
Post a Comment
jangan cuma baca, tapi komen juga ya