Saturday 29 May 2010

Puisi Habibie untuk Ainun (Air Mata Saya Pagi Ini)

00:48 3 Comments



Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya,
dan kematian adalah sesuatu yang pasti,
dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu.
Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat,
adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam
diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa
setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong
melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau
gersang.
Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang,
pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada,
aku bukan hendak megeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang,
tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik.
mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau
ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga
aku mampu mencintaimu seperti ini.

Selamat jalan,
Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya,
kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada.

selamat jalan sayang,

cahaya mataku, penyejuk jiwaku,

selamat jalan,


calon bidadari surgaku ....


BJ.HABIBIE




saya menemukan puisi ini tadi pagi di salah satu notes teman dari teman saya (friend of friend) dan saya langsung tersentuh. betapa saya (dan saya rasa anda juga begitu) ingin dapat mencintai dan dicintai seperti itu.

Selamat Jalan Ibu Ainun, anda tetap hidup di hati di hati Pak Habibie dan di hati kami.

Friday 28 May 2010

PUISI tanpa JUDUL

09:31 5 Comments
Malam separuh penuh
Saat dedaunan berkata dengan berbisik

“Lihat, angin baru saja menelisik”

“tentang?” tanyaku

“tentang lelaki jauhmu”


bulan melengkung
menelikungku dengan soal-soal serumit kalkulus

“mengapa ada ragu yang basah dihatimu?”

bulan menghujam, dengan sabitnya yang tajam

“mengapa tak berkaca dahulu?”


dedaunan yang tadi berbisik berubah menjadi berisik

aku dituding tak tahu diri dan menuntut bulan turun ke bumi

agar aku berkaca dengan sinar pualamnya



lelaki jauh, dengar itu, (m)alam sudah menyiksaku
diam saja, aku tahu raguku akan kering sendiri

duduk saja di atas pelana kudamu dan tunggu

tunggu hatiku berderap seirama derap kudamu




puisi ngawur bin nyeleneh. Sudah lama saya tidak menulis puisi, dan ujug-ujug jadi begini. Tapi itu menggambarkan perasaan saya sekali, meski mungkin hanya saya yang mengerti. Haha..

ini soal keraguan dan terburu-buru berkata yakin. Percaya deh, buru-buru itu emang ngga baik. Soal apapun itu, meski yakin itu baik, ragu itu menurut saya baik juga kok. Itu membuat kita mundur selangkah dan melihat apa langkah yang akan kita ambil tepat? Seingat saya, orang yang tak pernah ragu adalah orang yang tak pernah berpikir.

Saya ragu karena saya memikirkanmu lelaki jauh. Dan kamu, berpikirlah bagaimana membuat saya yakin. *haha, meksoooo*

Thursday 20 May 2010

manut keluarga

20:56 1 Comments

KELUARGA. Bagian paling penting dalam hidup bagi saya. Mereka yang berada di dekat saya, membimbing saya, menemani saya hingga saya menjadi saya yang seperti ini. Karena setiap orang berbeda, maka jelas setiap keluarga juga berbeda. Memiliki keunikan masing-masing juga tata nilai masing-masing.

Ketika sudah berbicara soal tata nilai, tentunya itu sudah menjadi ukuran absolut bagi masing-masing keluarga. Susahnya, tidak setiap anggota keluarga bisa sepenuhnya sepakat dengan nilai itu. Dan saya salah satunya.

Bukan berarti saya tidak mencintai keluarga saya, bukan berarti saya tidak menerima dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang pesantren, bukan berarti saya tidak suka dengan pandangan keluarga saya bahwa ‘ngaji’, agama, adalah yang paling utama. Tidak, tidak seperti itu.

Dalam proses tumbuh saya, saya menyadari bahwa nilai-nilai dalam keluarga saya yang oleh sebagian besar orang mungkin akan dikatakan ‘kaku’, adalah nilai-nilai yang rasional. Pesan abah saya kepada Ibuk, “anak-anak harus bisa mengaji, tidak sekadar mengaji bisa membaca Alqur’an, tapi bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-quran dan hadits itu dengan baik”

Bagaimana caranya mengimplementasikannya? Itulah yang dipelajari di pesantren. Belajar nahwu shorof, agar mengerti gramatikal arab, gramatikal bahasa alqur’an, agar tidak ngawur saat memaknai “alqur’an. Belajar fiqh dan ushul fiqh agar bisa menerapkan hukum-hukum Islam dengan baik dalam kehidupan, belajar soal ‘ubudiyah agar bisa beribadah dengan baik.

Ibuk saya dan kakak-kakak saya, ingin saya bisa belajar di pesantren dengan baik. Tapi, saya akui selama kurun waktu SMA ini saya belajar dengan kurang sungguh-sungguh. Akibatnya, hasilnya pun kurang maksimal. Pelajaran-pelajaran saya di pesantren agak terlunta-lunta. Saya kecewa. Benar-benar kecewa dengan diri saya yang ‘menomorduakan’ pesantren [walaupun tidak saya niati begitu] hingga akhirnya kacau begini.

Ini pula yang menjadi ‘persoalan’ ketika saya akan memasuki bangku kuliah. Bekal ilmu agama saya yang masih sangat minim itu dipertanyakan, baik oleh diri saya sendiri juga oleh keluarga. Bagi keluarga saya, bisa diterima di sebuah PTN itu bukan prestise sama sekali. Prestise adalah ketika saya bisa memahami dan menerapkan nilai-nilai agama dengan baik.

Kemarin, saya berkunjung di Surabaya, denga niatan mencari pondok pesantren. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada pondok putri untuk saya. Hati saya masyghul. Bagi sebagian besar orang mungkin akan menjawab,” ya sudah, ngekost saja atau di asrama”. Tidak, tidak bisa begitu.

Tidak ngaji, tidak di pesantren berarti tidak kuliah. Keluarga saya memiliki tata nilai sendiri sehingga memiliki prioritas sendiri. Ngaji adalah prioritas, kuliah? Itu nomor kesekian.

Sampai saya menulis posting ini, saya belum membicarakan secara lebih lanjut hasil saya ke Surabaya kemarin. Saya masih galau, hampir pasti, keluarga saya akan memberatkan saya ke ITS.

Setelah meminta saran dari ‘seseorang’ akhirnya saya sampai pada kesimpulan : MANUT. Apapun kehendak keluarga saya, saya anggap itulah juga kehendak TUHAN. Dimanapun saya harus melanjutkan pendidikan, entah formal atau nonformal, itulah yang terbaik. Keluarga saya menyayangi saya, mereka akan memilihkan yang terbaik bagi saya.

Terima kasih Tuhan, telah menempatkan saya di keluarga HAROEN. Maafkan saya Tuhan, karena saya entah sadar atau tidak, seringkali mengingkari bahwa saya adalah Nada HAROEN.

bertolak belakang dari postingan saya sebelumnya, saya belum resmi, belum pasti, jadi mahasiswi ITS

Sunday 16 May 2010

Ujian, Ikhlas dan ITS

07:29 10 Comments
Beberapa bulan terakhir ini merupakan bulan yang lumayan ‘berat’ bagi saya. Ujian Nasional dan sibuk cari tempat kuliah cukup menyita pikiran dan waktu saya. Sampai-sampai blog saya yang aduhai ini kurang terurus. Hehe :-D

Tapi sekarang masa itu udah terlewati. Alhamdulilah saya sudah lulus Ujian Nasioanal dengan nilai yang ngga jelek-jelek amat. Rata-rata di atas 8.5 udah luar biasa deh buat saya yang ngga pernah ikut bimbingan belajar ini.

Sebenarnya, awal-awal kelas 3 saya agak sangsi dengan ke-tidak-ikut-serta-an saya dalam bimbel manapun sementara teman-teman saya berbondong-bondong ke bimbel. Temen saya yang paling pinter di kelas pun juga ikutan bimbel. Tapi saya? Tidak. Jadi agak minder begitulah. Tapi karena emang saat itu saya ngga punya duit dan Ibuk saya khawatir madrasah saya terbengkalai, saya ngga ikut bimbel. Seumur hidup emang saya belum pernah ikut bimbel jadi pada awalnya pengen banget gitu, tapi setelah dihadapkan pada kenyataan ngga punya duit. Okelah. Saya menerima. Belajar sendiri aja.

Trus, pas mau masuk perguruan tinggi. Ibuk saya ngga memperbolehkan saya ‘melakukan perjalanan ke barat’ alias ngga boleh ke UI atau ITB. Pilihannya cuma dua Jogja atau Surabaya. Jogja karena mas saya kuliah di UGM, Surabaya karena ada paman saya di Surabaya. Jadilah saya Cuma daftar UGM pada awalnya.

Semula saya berharap banget bisa masuk UGM. Saya coba lewat jalur PMDK, tapi gagal. Saat itu, saya kurang bisa menata hati jadinya ya, agak remuk begitulah. Tapi saya tetep berusaha bangkit dan daftar UGM lagi lewat jalur Ujian Masuk.

Sementara saya nunggu pengumuman UGM, ‘seseorang’ menasehati saya buat daftar UII juga. Buat jaga-jagalah kalo UGM ngga diterima lagi. Saya manut. Saya daftar dan alhamdulilah saya diterima di UII. Tapi UGM menolak saya. Lagi. Jujur saya nangis saat itu. Mas saya bisa diterima di UGM kok saya nggak. Tapi lambat laun , saya sadar, emang belum jalan saya kok ya.

Akhirnya saya daftar ITS, PMDK lagi. Saat itu saya udah berusaha ‘noto ati’. Siap dengan kemungkinan terburuk, di tolak lagi dan kuliah di UII yang mahal banget itu. Tapi noto ati ternyata ngga semudah itu. Saya masih sering sulit menerima kenyataan semisal saya ditolak.

karena semua membutuhkan proses, lambat laun, saya menerima. Doa saya ngga lagi,” Ya Allah, semoga saya masuk UGM, semoga saya masuk ITS” tapi menjadi ,” Ya Allah, saya mohon tempatkan saya di universitas yang terbaik bagi saya menurutMu”. And it works on me. Saya jadi lebih siap kalo saya harus di terima di UII. Toh itu emang yang terbaik.

Dan benar, ketika kita sudah ikhlas dan siap menerima apapun takdirNya, Allah memberikan surprise untuk kita. Alhamdulilah saya diterima di ITS. Saya pikir selama ini kenapa saya ditolak UGM adalah karena saya belum bisa ikhlas. Ikhlas memang berat. Tapi percayalah, ada surprise dari Allah ketika kita sudah ikhlas.

Saya ngga mau bilang saya udah ikhlas, Cuma saya sebelum pengumuman uda siap dengan kata “tidak”. Dan itu justru membawa saya kepada kata Ya.

Alhamdulilah. saya sekarang udah resmi jadi calon mahasiswi ITS.