KELUARGA. Bagian paling penting dalam hidup bagi saya. Mereka yang berada di dekat saya, membimbing saya, menemani saya hingga saya menjadi saya yang seperti ini. Karena setiap orang berbeda, maka jelas setiap keluarga juga berbeda. Memiliki keunikan masing-masing juga tata nilai masing-masing.
Ketika sudah berbicara soal tata nilai, tentunya itu sudah menjadi ukuran absolut bagi masing-masing keluarga. Susahnya, tidak setiap anggota keluarga bisa sepenuhnya sepakat dengan nilai itu. Dan saya salah satunya.
Bukan berarti saya tidak mencintai keluarga saya, bukan berarti saya tidak menerima dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang pesantren, bukan berarti saya tidak suka dengan pandangan keluarga saya bahwa ‘ngaji’, agama, adalah yang paling utama. Tidak, tidak seperti itu.
Dalam proses tumbuh saya, saya menyadari bahwa nilai-nilai dalam keluarga saya yang oleh sebagian besar orang mungkin akan dikatakan ‘kaku’, adalah nilai-nilai yang rasional. Pesan abah saya kepada Ibuk, “anak-anak harus bisa mengaji, tidak sekadar mengaji bisa membaca Alqur’an, tapi bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-quran dan hadits itu dengan baik”
Bagaimana caranya mengimplementasikannya? Itulah yang dipelajari di pesantren. Belajar nahwu shorof, agar mengerti gramatikal arab, gramatikal bahasa alqur’an, agar tidak ngawur saat memaknai “alqur’an. Belajar fiqh dan ushul fiqh agar bisa menerapkan hukum-hukum Islam dengan baik dalam kehidupan, belajar soal ‘ubudiyah agar bisa beribadah dengan baik.
Ibuk saya dan kakak-kakak saya, ingin saya bisa belajar di pesantren dengan baik. Tapi, saya akui selama kurun waktu SMA ini saya belajar dengan kurang sungguh-sungguh. Akibatnya, hasilnya pun kurang maksimal. Pelajaran-pelajaran saya di pesantren agak terlunta-lunta. Saya kecewa. Benar-benar kecewa dengan diri saya yang ‘menomorduakan’ pesantren [walaupun tidak saya niati begitu] hingga akhirnya kacau begini.
Ini pula yang menjadi ‘persoalan’ ketika saya akan memasuki bangku kuliah. Bekal ilmu agama saya yang masih sangat minim itu dipertanyakan, baik oleh diri saya sendiri juga oleh keluarga. Bagi keluarga saya, bisa diterima di sebuah PTN itu bukan prestise sama sekali. Prestise adalah ketika saya bisa memahami dan menerapkan nilai-nilai agama dengan baik.
Kemarin, saya berkunjung di Surabaya, denga niatan mencari pondok pesantren. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada pondok putri untuk saya. Hati saya masyghul. Bagi sebagian besar orang mungkin akan menjawab,” ya sudah, ngekost saja atau di asrama”. Tidak, tidak bisa begitu.
Tidak ngaji, tidak di pesantren berarti tidak kuliah. Keluarga saya memiliki tata nilai sendiri sehingga memiliki prioritas sendiri. Ngaji adalah prioritas, kuliah? Itu nomor kesekian.
Sampai saya menulis posting ini, saya belum membicarakan secara lebih lanjut hasil saya ke Surabaya kemarin. Saya masih galau, hampir pasti, keluarga saya akan memberatkan saya ke ITS.
Setelah meminta saran dari ‘seseorang’ akhirnya saya sampai pada kesimpulan : MANUT. Apapun kehendak keluarga saya, saya anggap itulah juga kehendak TUHAN. Dimanapun saya harus melanjutkan pendidikan, entah formal atau nonformal, itulah yang terbaik. Keluarga saya menyayangi saya, mereka akan memilihkan yang terbaik bagi saya.
Terima kasih Tuhan, telah menempatkan saya di keluarga HAROEN. Maafkan saya Tuhan, karena saya entah sadar atau tidak, seringkali mengingkari bahwa saya adalah Nada HAROEN.
bertolak belakang dari postingan saya sebelumnya, saya belum resmi, belum pasti, jadi mahasiswi ITS
mmm. aku tidak bisa mengomentari apapun sebelum bertatap muka dan membicarakan masalah ini dg jelas.
ReplyDelete