Thursday 22 October 2015

Islam yang Begitu Intim

01:16 0 Comments
[Friendly reminder :Tulisan ini sangat personal bagi saya karena menjadi pengalaman batin luar biasa untuk saya. Jika Anda tidak menyukai Islam yang damai, silakan berhenti membaca sekarang juga.]

Mengapa saya memberikan judul yang kontroversial? Sesungguhnya tidak. Intim adalah kedekatan dan bagi saya apa yang saya tulis terasa begitu dekat, terasa begitu personal dan ini menjadikan pengalaman spiritual di negeri orang menjadi terasa mahal.


Saya tinggal di flat kampus yang berisikan lima orang. Saya adalah satu satunya yang berasal dari Indonesia, sementara flatmate saya berasal dari China dan Taiwan. Mereka tidak pernah kenal agama (china melarang agama kata salah seorang flatmate saya), suka minum alkohol dan tentu asa doyan daging babi. Lantas jika tahu kemungkinan tinggal dengan orang asing yang bukan muslim sangat besar, mengapa saya tetap memilih tinggal di flat kampus? Alasan paling utama adalah keamanan. Jurusan yang saya ambil di University of Warwick membuat saya sering di kampus hingga malam hari. Dengan tinggal di kampus, saya hanya perlu berjalan kaki sekitar 10 menit untuk pulang ke rumah.


Hall Campus tempat saya tinggal

Kembali ke flatmate saya, apakah mereka flatmate yang baik? Iya. Mereka sangat mengerti saya saya menjelaskan bahwa saya tidak makan babi, saya tidak bisa mencampurkan makanan saya dengan babi. Karena itu mereka selalu memisahkan babi-babian di rak tersendiri di kulkas (Tinggal di flat, artinya kami berbagi dapur dan juga kulkas). Jadi meskipun kami shared kitchen, hidup saya tetap damai. Mereka banyak bertanya mengapa saya memakai jilbab, apa yang saya rasakan dengan terus-terusaan memakai jilbab. Mengapa ada juga muslimah yang tidak berjilbab. Mengapa saya tidak minum alkohol sementara ada muslim minum alkohol. Rasa ingin tahu mereka tentang Islam begitu besar, bahkan salah satu flatmate saya mengatakan saya adalah orang berjilbab pertama yang ia kenal.

Flatmate saya banyak bertanya  soal islam, soal mengapa saya memilih Islam (do I take it for granted just from family?), apa yg orang Islam percaya setelah kemat ian dan sebagainya. Saya menjelaskan Islam dengan cara sebaik mungkin yang saya bisa. Kami sering bertemu dan menghabiskan waktu di dapur. Sering kali kami kemudian berdiskusi soal China, soal Indonesia.

Saya berterima kasih kepada mereka karena mereka mau memisah daging-daging babi itu di satu rak saja di kulkas. Jadi rak saya aman dari babi. Mereka melsayakannya dengan senang hati. Saya berterima kasih karena mereka tidak pernah memakai alat cuci piring saya sehingga tidak terkontaminasi babi. Saya pun menghargai mereka yang suka makan babi dan mereka juga menghargai pilihan saya untuk tidak makan babi. Bagi mereka, ini adalah sesuatu hal yang baru.

Pernah juga, flatmate saya menawari makanan kepada saya. Dia menawarkan ayam yang baru saja ia masak. Saya berusaha sesopan mungkin menjelaskan bahwa saya tidak bisa memakannya karena saya tahu ayam yang dia masak bukan ayam halal. Saya menjelaskan bahwa dalam Islam, tidak semua daging bisa dimakan. Hewan tersebut harus disembelih mengikuti tata cara Islam sebelum bisa dimakan. Saya menjelaskan apa itu halal dan mencoba menjelaskannya dengan memberikan contoh daging ayam saya yang halal. Apakah dia marah? Dia tidak tersinggung. Dia menghargai pilihan saya dan kami tetap berteman baik. Dia tidak menganggap saya sok suci dan sebaliknya saya juga tidak menganggap dia kotor.

Sejak saat itu jika mereka ingin berbagi makanan, katakanlah snack, mereka akan bilang itu cuma sayur tidak ada alkohol atau babi. You can check the ingredient. Dan ya, They are so nice to me. Sampai akhirnya ada salah satu teman saya yang bilang, "Maybe, I will think every muslim is like you, Nada. So nice and helpful"
SubhanALlah itu adalah momen yg sangat membahagiakan dan relijius buat saya. Ketika kita bisa mempotretkan Islam yang ramah, Islam yang indah. Bukan Islam yang kaku dan penuh amarah.

Menjadi minoritas saya belajar, untuk tidak menjudge orang dan berusaha bersikap baik ke siapapun. Kapanpun. Bagi saya inilah saatnya menunjukkan Islam itu damai dan sejuk. Para wali,  kyai dan habaib jaman dulu sibuk mencitrakan Islam yang semacam itu di nusantara dan akhirnya Islam bisa diterima dengan baik. Saya sedih sekali sekarang malah ada yang gencar bukan main mengkafirkan saudara sesama muslimnya dengan cara menfitnah.

Bagi saya menjadi muslim itu bukan sekadar soal sholat lima waktu saja , tapi bagaimana kita bisa menebar damai di sekeliling kita di lingkungan bukan muslim sekalipun. Menjadi muslim harusnya menerapkan hubungan sosial yang baik. Contohnya jika ada teman yang salah, ilakan diingatkan dan tabayyun (konfirmasi). Jangan malah koar koar di grup atau medsos. Mari citrakan Islam yang damai dan ramah.
Di sini saya belajar bersyukur. Disini pun tidak semua masjid itu boleh dimasuki perempuan, tidak seperti di Indonesia yang memudahkan muslim beribadah di mana saja. Saya kadang harus shalat hormatil waktu di bis, lantas saya qodlo begitu sampai rumah.

Disini saya belajar bersyukur. Disini harus masak sendiri untuk memastikan kehalalannya, namun alasan paling utama adalah untuk berhemat (ada pula catering halal di kampus tapi sejauh saya bisa memasak sendiri, saya memasak sendiri). Sementara di Indonesia banyak warung sehingga urusan makan menjadi mudah.
Disini saya belajar memahami bahwa agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang sangat personal. Kita tidak boleh memaksakan agama, kepercayaan dan pilihan hidup kepada siapapun. Kita harus memberikan ruang untuk orang lain agar bisa beragama dan menjalani kepercayaan dengan nyaman.
Apakah karena saya muslim dan saya memilih bersikap seperti itu, jika ada teman saya yang tidak mengambil sikap yang sama saya harus selalu berkhotbah kepada mereka dengan kata-kata? Saya harus selalu mengatakan ini salah ini haram? Saya harus selalu mengatakan kamu akan masuk neraka? Saya harus selalu menegur dengan menyakiti hati?

Saya pikir (everyone free to have their own mind) ada cara yang elegan, sopan dan toleran. Dengan menunjukkan sikap tanpa harus menjadi menggurui dan menghakimi. Dan inilah yang saya pelajari dari menjadi santri, dan inilah yang saya dapatkan dari menjadi muslim. Apakah harus menjadi santri dan muslim untuk bersikap seperti itu? Tentu tidak. Tapi jika ada orang yang mengaku Islam namun justru menebarkan ketidaknyamanan dan teror untuk orang disekelilingnya, saat itulah keislamannya patut dipertanyakan.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan quote dari Imam Ghozali .
 We are creatures that love to blame the external, not realizing that the problem is usually internal.