Sunday, 1 November 2015

1450

15:44 0 Comments

Dear Boi,
Ini kartu pos ke lima yang kukirim untukmu. Sudah sampaikah 4 yang lain? Kau memintaku untuk mengirimimu kartu pos dari kota-kota yang kukunjungi. Katamu, kartu pos selalu punya kemampuan magis yang tidak bisa kau jelaskan dengan akal. Jelas-jelas aku bisa mengirimimu potret atau video dalam sekejap, lebih jernih dan actual. Katamu, justru segala sesuatu yang langsung datang tanpa penantian itu membuat segalanya terasa murah. Ada yang mahal dan begitu berharga dalam sebuah penantian.
Kali ini sengaja kupilih kartu pos ukuran besar, agar aku bebas bicara tanpa terbatas ruang. Lelah aku, Boi. Selama ini kita sudah terpisah ruang—lebih tepatnya jarak yang begitu jauh—jadi biarlah kali ini aku gunakan sedikit ruang yang ada untuk sekadar berbagi kata-kata.
Sudah 1450, Boi. Apakah kau menghitung? Bukankah kau begitu gemar dengan menghitung angka? Apalagi ini soal kita. Luar biasa, Boi. Mengutip lagu kegemaranmu saat kanak-kanak, kita sudah mendaki gunung lewati lembah sungai mengalir indah ke samudera. Kita sudah melewati begitu banyak jalan yang terjal. Kadang kita terdiam sesaat di persimpangan, untuk sekadar memutuskan apakah kita masih menjadi rekan seperjalanan atau kita cukupkan perjalanan ini sampai di persimpangan-persimpangan itu. Beberapa kali kita memilih untuk berpisah, namun rupanya jalan yang kita pilih bermuara di persimpangan yang sama dan lagi-lagi menjadi teman perjalananmu adalah hal yang menyenangkan dalam hidup ini.
Terima kasih, Boi. Kali ini pun kita sepakat untuk menempuh jalan yang berbeda setelah tiba di persimpangan dua lima. “Kejar saja mimpimu”, katamu waktu itu. “Toh aku tahu, muara kita satu”. Siapapun yang tiba lebih dulu di persimpangan jalan, biasanya kita menunggu hingga yang lain datang sebelum melanjutkan langkah. Meskipun kali ini, aku tahu kau akan lebih dulu tiba. Boi, maukah kau menungguku seperti kau sabar menunggu kartu pos-kartu pos itu? Maukah kau menjadikanku mahal dan berharga dalam penantianmu?

Penuh Sayang,


Gadis

Thursday, 22 October 2015

Islam yang Begitu Intim

01:16 0 Comments
[Friendly reminder :Tulisan ini sangat personal bagi saya karena menjadi pengalaman batin luar biasa untuk saya. Jika Anda tidak menyukai Islam yang damai, silakan berhenti membaca sekarang juga.]

Mengapa saya memberikan judul yang kontroversial? Sesungguhnya tidak. Intim adalah kedekatan dan bagi saya apa yang saya tulis terasa begitu dekat, terasa begitu personal dan ini menjadikan pengalaman spiritual di negeri orang menjadi terasa mahal.


Saya tinggal di flat kampus yang berisikan lima orang. Saya adalah satu satunya yang berasal dari Indonesia, sementara flatmate saya berasal dari China dan Taiwan. Mereka tidak pernah kenal agama (china melarang agama kata salah seorang flatmate saya), suka minum alkohol dan tentu asa doyan daging babi. Lantas jika tahu kemungkinan tinggal dengan orang asing yang bukan muslim sangat besar, mengapa saya tetap memilih tinggal di flat kampus? Alasan paling utama adalah keamanan. Jurusan yang saya ambil di University of Warwick membuat saya sering di kampus hingga malam hari. Dengan tinggal di kampus, saya hanya perlu berjalan kaki sekitar 10 menit untuk pulang ke rumah.


Hall Campus tempat saya tinggal

Kembali ke flatmate saya, apakah mereka flatmate yang baik? Iya. Mereka sangat mengerti saya saya menjelaskan bahwa saya tidak makan babi, saya tidak bisa mencampurkan makanan saya dengan babi. Karena itu mereka selalu memisahkan babi-babian di rak tersendiri di kulkas (Tinggal di flat, artinya kami berbagi dapur dan juga kulkas). Jadi meskipun kami shared kitchen, hidup saya tetap damai. Mereka banyak bertanya mengapa saya memakai jilbab, apa yang saya rasakan dengan terus-terusaan memakai jilbab. Mengapa ada juga muslimah yang tidak berjilbab. Mengapa saya tidak minum alkohol sementara ada muslim minum alkohol. Rasa ingin tahu mereka tentang Islam begitu besar, bahkan salah satu flatmate saya mengatakan saya adalah orang berjilbab pertama yang ia kenal.

Flatmate saya banyak bertanya  soal islam, soal mengapa saya memilih Islam (do I take it for granted just from family?), apa yg orang Islam percaya setelah kemat ian dan sebagainya. Saya menjelaskan Islam dengan cara sebaik mungkin yang saya bisa. Kami sering bertemu dan menghabiskan waktu di dapur. Sering kali kami kemudian berdiskusi soal China, soal Indonesia.

Saya berterima kasih kepada mereka karena mereka mau memisah daging-daging babi itu di satu rak saja di kulkas. Jadi rak saya aman dari babi. Mereka melsayakannya dengan senang hati. Saya berterima kasih karena mereka tidak pernah memakai alat cuci piring saya sehingga tidak terkontaminasi babi. Saya pun menghargai mereka yang suka makan babi dan mereka juga menghargai pilihan saya untuk tidak makan babi. Bagi mereka, ini adalah sesuatu hal yang baru.

Pernah juga, flatmate saya menawari makanan kepada saya. Dia menawarkan ayam yang baru saja ia masak. Saya berusaha sesopan mungkin menjelaskan bahwa saya tidak bisa memakannya karena saya tahu ayam yang dia masak bukan ayam halal. Saya menjelaskan bahwa dalam Islam, tidak semua daging bisa dimakan. Hewan tersebut harus disembelih mengikuti tata cara Islam sebelum bisa dimakan. Saya menjelaskan apa itu halal dan mencoba menjelaskannya dengan memberikan contoh daging ayam saya yang halal. Apakah dia marah? Dia tidak tersinggung. Dia menghargai pilihan saya dan kami tetap berteman baik. Dia tidak menganggap saya sok suci dan sebaliknya saya juga tidak menganggap dia kotor.

Sejak saat itu jika mereka ingin berbagi makanan, katakanlah snack, mereka akan bilang itu cuma sayur tidak ada alkohol atau babi. You can check the ingredient. Dan ya, They are so nice to me. Sampai akhirnya ada salah satu teman saya yang bilang, "Maybe, I will think every muslim is like you, Nada. So nice and helpful"
SubhanALlah itu adalah momen yg sangat membahagiakan dan relijius buat saya. Ketika kita bisa mempotretkan Islam yang ramah, Islam yang indah. Bukan Islam yang kaku dan penuh amarah.

Menjadi minoritas saya belajar, untuk tidak menjudge orang dan berusaha bersikap baik ke siapapun. Kapanpun. Bagi saya inilah saatnya menunjukkan Islam itu damai dan sejuk. Para wali,  kyai dan habaib jaman dulu sibuk mencitrakan Islam yang semacam itu di nusantara dan akhirnya Islam bisa diterima dengan baik. Saya sedih sekali sekarang malah ada yang gencar bukan main mengkafirkan saudara sesama muslimnya dengan cara menfitnah.

Bagi saya menjadi muslim itu bukan sekadar soal sholat lima waktu saja , tapi bagaimana kita bisa menebar damai di sekeliling kita di lingkungan bukan muslim sekalipun. Menjadi muslim harusnya menerapkan hubungan sosial yang baik. Contohnya jika ada teman yang salah, ilakan diingatkan dan tabayyun (konfirmasi). Jangan malah koar koar di grup atau medsos. Mari citrakan Islam yang damai dan ramah.
Di sini saya belajar bersyukur. Disini pun tidak semua masjid itu boleh dimasuki perempuan, tidak seperti di Indonesia yang memudahkan muslim beribadah di mana saja. Saya kadang harus shalat hormatil waktu di bis, lantas saya qodlo begitu sampai rumah.

Disini saya belajar bersyukur. Disini harus masak sendiri untuk memastikan kehalalannya, namun alasan paling utama adalah untuk berhemat (ada pula catering halal di kampus tapi sejauh saya bisa memasak sendiri, saya memasak sendiri). Sementara di Indonesia banyak warung sehingga urusan makan menjadi mudah.
Disini saya belajar memahami bahwa agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang sangat personal. Kita tidak boleh memaksakan agama, kepercayaan dan pilihan hidup kepada siapapun. Kita harus memberikan ruang untuk orang lain agar bisa beragama dan menjalani kepercayaan dengan nyaman.
Apakah karena saya muslim dan saya memilih bersikap seperti itu, jika ada teman saya yang tidak mengambil sikap yang sama saya harus selalu berkhotbah kepada mereka dengan kata-kata? Saya harus selalu mengatakan ini salah ini haram? Saya harus selalu mengatakan kamu akan masuk neraka? Saya harus selalu menegur dengan menyakiti hati?

Saya pikir (everyone free to have their own mind) ada cara yang elegan, sopan dan toleran. Dengan menunjukkan sikap tanpa harus menjadi menggurui dan menghakimi. Dan inilah yang saya pelajari dari menjadi santri, dan inilah yang saya dapatkan dari menjadi muslim. Apakah harus menjadi santri dan muslim untuk bersikap seperti itu? Tentu tidak. Tapi jika ada orang yang mengaku Islam namun justru menebarkan ketidaknyamanan dan teror untuk orang disekelilingnya, saat itulah keislamannya patut dipertanyakan.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan quote dari Imam Ghozali .
 We are creatures that love to blame the external, not realizing that the problem is usually internal.


Monday, 14 September 2015

Secangkir Kopi Denok Ayu

23:40 0 Comments
Secangkir kopi seringkali lewat begitu saja sebagai rekan menghabiskan malam atau sekadar pelengkap obrolan bagi kawan. Tapi bagi Denok Ayu, secangkir kopi ini selalu punya makna lebih. Denok Ayu menolak mengunjungi kafe di kota ini, meskipun banyak orang mengatakan inilah benua dimana kafe dan segala kehidupan sosial di dalamnya begitu lekat. Jantung benua ini terletak pada waktu-waktu santai dan remeh yang dihabiskan menyesapi secangkir kopi dalam diskusi-diskusi di kafe-kafe kota.

Denok Ayu memilih caranya sendiri. Ia telah membawa biji kopinya sendiri dan tak rela orang lain menyentuhnya. Bagi Denok Ayu, kopi adalah urusan sentimentil. Soal kenangan yang dipadatkan dalam biji-biji kopi, terpaksa dihancurkan dahulu hingga menjadi buih sampai bisa dinikmati.

“Saya menanamnya sendiri dan memunguti biji-biji kopi ini di pinggiran alas. Menjijikkan memang, tapi percayalah, rasanya sungguh enak. Sudah saya cuci bersih tentu”, ucap lelaki itu sambil menyerahkan seplastik kopi yang hanya diikat sederhana dengan tali rafia yang nyaris putus.

“Konon, kata Wo Dar, kalau dijual bisa laku tiga ratus ribu”, sambung lelaki itu sambil terkekeh. Dia menyerahkannya begitu saja, tanpa berpikir nominal sebesar itu harus ia cari pontang-panting selama sebulan hanya untuk sekadar menyambung makan.

“Maaf saya tidak sempat nyelep, jadi masih gelondongan begini. Tapi di sana nanti ada selepan to?” Denok Ayu mengangguk dengan getir.

“Supaya tidak lupa ya, aroma kopi di sini tidak kalah dengan kopi Londo. Hati-hati!”. Kata-kata yang diucap tanpa beban oleh lelaki itu terasa begitu menghujam. Ada keringat yang mengkristal di setiap biji kopi yang Denok Ayu bawa dan meneguknya seperti mengulang kembali kenangan dengan cara yang begitu pahit. Hati yang tulus dan murni justru ia temukan di tengah kehidupan yang tak mudah, dengan desakan ekonomi yang menghimpit tiap hari. Tapi semangat lelaki itu berkobar sejak mereka berdua masih anak-anak. Seringkali takdir punya jalannya sendiri.

Inilah secangkir kopi yang akan selalu menambatkan hati Denok Ayu untuk bergegas pulang. Secangkir kopi yang mengingatkan Denok Ayu, orang-orang terdekat dalam hidupnya harus bermandi keringat untuk sekadar menikmati nasi yang pulen dan hangat. Secangkir kopi ini akan selalu membawa Denok Ayu pulang.

image courtesy : http://captain-d-o.tumblr.com/



Thursday, 13 August 2015

Surat Terbuka Untuk Gubernur Jawa Tengah Bapak Ganjar Pranowo

18:52 0 Comments

Kepada Yth. Mas Ganjar Pranowo
Saya perlu matur tentang 5 hari sekolah utk SLTA se Jawa Tengah:
Dengan diberlakukannya  secara efektif jam dan hari kegiatan belajar mengajar (KBM) 5 hari (Senin-Jumat) sejak pukul 07.00 hingga 16.00 WIB,saat  ngaji di kampung-kampung,  saya mendapat banyak keluhan dari berbagai pihak, mulai dari pengelola madrasah diniyah dan pesantren, wali murid hingga para guru SLTA. Kebijakan baru di Jateng ini dinilai secara internal memberatkan murid, guru dan sekolah, sebab anak didik dan guru mengalami kelelahan dan kejenuhan yg luar biasa. Secara eksternal kebijakan tsb mengancam eksistensi madrasah-madrasah diniyah (madin) yg dikelola masyarakat dan pesantren. Mungkin panjenengan berpikir bahwa  madin bisa diselenggarakan malam hari atau dipadatkan pada hari Sabtu dan Ahad. Namun bisa dibayangkan betapa murid sudah menjalani sehari penuh dgn kegiatan sekolah plus kegiatan ekstra kurikuler, mereka tentu sudah kelelahan. Sehingga mereka tak dapat secara optimal mengikuti KBM di Madin di malam hari, apalagi bila mereka harus belajar dan mengerjakan PR dari sekolah. Lama-lama madin akan ditinggalkan para muridnya dan gulung tikar.
   Bila madin diselenggarakan pada hari Sabtu dan Ahad, maka berarti harus menyerobot hari libur mereka, tidak pernah memberi mereka saat-saat utk melepaskan diri dari kegiatan KBM selama seminggu penuh. Kejenuhan, kelelahan dan kebosanan murid akan berimbas pada efektifitas KBM dan ketika murid merasa perlu memilih salah satu  lembaga pendidikan saja, maka mereka tentu akan memilih meninggalkan madinnya.
   Dampak lainnya, murid tidak memiliki waktu dan kesempatan utk berinteraksi dan bersosialisasi dengan lingkungan sosial di rumah atau pesantren. Mereka hanya dijejali pengetahuan secara kognitif dan secara psykis tentu bisa berakibat kurang baik.
   Bila kebijakan ini dilanjutkan dan madin-madin gulung tikar, berarti tidak ada lagi benteng yg kuat bagi generasi muda. Dgn masih bejalannya madin saja kerusakan moral sudah merajalela, apalagi bila kelak sudah tidak ada madin yg berjalan efektif.
   Mungkin Pak Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah perlu mengkaji ulang kebijakan ini agar tidak mengancam eksistensi madrasah diniyah dan pesantren demi penanaman pendidikan moral keagamaan generasi muda kita.
Trm ksh
Salam Hormat saya,
Achmad Labib Asrori, PP. Raudhatut Thullab, Wonosari Tempuran Magelang

Saturday, 8 August 2015

Thank You

00:55 0 Comments
Saya percaya, setiap orang yang singgah dalam hidup saya turut membentuk saya yang sekarang. Ada yang singgah untuk memberikan pelajaran, ada yang datang untuk menyemai mimpi dan cita, ada yang bertahan untuk bersama-sama belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Dan satu pelajaran yang saya camkan betul, sebanyak apapun orang yang datang dan saya temui, pada akhirnya ini adalah perjalanan hidup saya sendiri. Tak seorangpun patut menjadi tempat bergantung, kecuali diri sendiri. Orang-orang bisa pergi kapan saja ia mau atau saat Dia berkehendak. Betapapun saya meminta untuk tinggal, saya tak bisa menahan siapapun untuk tak meninggalkan saya.
Yang tinggal kemudian adalah diri saya sendiri dan kenangan yang menjadi pelajaran. Sementara orang-orang itu, siapapun itu, akan berlalu. Ada yang menoleh dan menghampiri sesekali waktu, ada yang mencari setiap ada kesempatan, tapi ada pula yang berjalan cepat dan tak menoleh sama sekali.
Jika suatu hari saya menghampirimu setelah sekian lama tak berkabar, ingatlah bahwa saya ingin berterima kasih dari hati saya terdalam. Terima kasih telah menjadi bagian yang turut menjadikan diri saya yang sekarang, yang tak pernah sempurna tapi berusaha terus belajar.
Jika hingga saat ini saya masih terus mencarimu dan kembali padamu, ingatlah bahwa kamu sudah menjadi bagian penting dalam hidup saya. You've made me to be who I am today. I am not good at 'keep in touch' with friends and relatives, so please find me when I am lost. (by good I mean, I regularly contact you, meet you and spending time with you at least once a year. Sometimes I get awkward when meeting long lost friend).
I write this because I realise, I am so grateful to meet you all, to know you all and to have you all, whatever lesson you've given to me.

Thursday, 4 June 2015

Kenangan Denok Ayu (part 1)

21:18 0 Comments

Kebaya itu masih tergantung di lemari, menunggu disentuh. Semua penghuni lemari yang lain telah berpindah rapi ke dalam koper. Denok Ayu sudah bersiap membawa pergi semua yang ia punya, kecuali kenangan.

Ia tak ingin membawa kenangan-kenangan yang tak pernah tuntas. Bukankah pergi ke tempat baru seharusnya membuatnya mudah menciptakan kenangan baru pula? Semacam pain killer untuk migrain yang kerap menyambangi. Jelas bukan solusi, tapi siapa yang bisa bertahan terus-menerus dengan ingatan yang membuat sembilu di hati?

Kebaya merah muda dengan bordiran mawar merah itu sebenarnya sungguh cantik. Berbahan satin, bukan brokat seperti yang banyak dikenakan, membuatnya berkilau ditimpa cahaya. Memukau. Tapi di benak Denok Ayu, tiap helai benang dari kebaya itu saja bagai belati. Menusuk-nusuk hati dengan luka yang tak pernah sembuh.

Saat ada bulir air mata di sudut mata Denok Ayu, Romo masuk dan duduk di samping Denok Ayu. Buru-buru Denok Ayu menyembunyikan air mata.

"Sudah selesai, nok?".
"Sampun, Romo". Denok Ayu menjawab sambil menunduk. Romo mendekati lemari kayu jati, membukanya perlahan. Mendapati kebaya itu sebagai satu-satunya yang tersisa, satu-satunya yang tak tersentuh. Romo menghela napas panjang.
"Nok.."
"Injih, Romo".
"Ikhlaskan, Nok. Apa selama ini kamu belum bisa mengikhlaskan juga?", Romo bertanya dengan suara yang tercekat. Jelas ada sekelebat kenangan buruk yang datang.

Denok Ayu tak mampu menjawab. Gelombang air mata semakin susah dihadang. Bagaimana bisa mengikhlaskan sesuatu yang tak pernah genap ia miliki?

Romo duduk di tepi ranjang, menyebelahi Denok Ayu, merangkul gadis itu.
"Ikhlaskan, ikhlaskan. Ibumu menyayangimu, kamu tahu itu kan?".

Hancur sudah pertahanan air mata Denok Ayu. Sesak di dada itu tak lagi bisa ia bendung. Denok Ayu selalu berusaha menyimpan rapat segala pertanyaan yang tak memiliki jawaban, kegelisahan yang tak pernah tuntas, rindu yang tak kunjung padam dan amarah yang tak bisa hilang. Semua yang ia simpan rapat 12 tahun ini, meledak seketika.

"Bagaimanapun, Ibumu menyayangimu. Ibumu khusus memberikanmu kebaya turun-temurun itu untuk kelak kamu pakai saat malam midodareni. Bawalah, Nok. Bawalah.."

Ada ribuan kata yang tersendat. Ada satu cerita utuh yang harus ia bagi, tapi tentu menyakiti Romo. Bagaimana mungkin ia sanggup?

"Pesawat itu bisa saja ditemukan suatu hari nanti. Romo percaya. 12 tahun sudah lewat, tapi Romo tahu kelak kita akan menemukan Ibumu. Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa mengikhlaskan. Ikhlaskan.."

Denok Ayu masih bisa merasakan cinta Romo yang menggebu, bagaimana bisa Denok Ayu tega membunuh cinta itu?

Romo, kula benci Ibu. Kata-kata itu tertahan di tenggorokan dan menjadi bulir-bulir air mata.
"Injih, Romo..". Hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Denok Ayu.

Wednesday, 3 June 2015

Teruntuk Boi

02:32 0 Comments

Teruntuk Boi,

Boi, langit pagi ini cerah betul di Eindhoven. Musim semi sudah tiba. Jalanan yang semula terasa dingin dan kelabu, kini menjadi hangat dan penuh warna. Sepanjang jalan bunga-bunga bermekaran. Ada satu bunga indah yang kuhapal betul, Boi. Bunga tulip. Bukankah kau pernah berjanji kita akan memetiknya bersama di tempat asalnya?

Rupanya Boi, selain dilarang, memetik bunga terasa kejam buatku sekarang. Keindahan yang hakiki adalah keindahan yang dibagi dan hidup. Jika kita memetik tulip-tulip itu siapa lagi yang akan memandangnya selain kita? Jika kita merenggut tulip-tulip itu dari akarnya, berapa lama ia bisa bertahan?

Gugurkan saja janji itu, Boi. Gantilah dengan janji lain. Untuk perempuan lain.

Sudah kau temukan wanita itu, Boi? Yang kau sebut tunduk dan taat tapi juga menjadi mata air senyum dan tawamu. Sudah kau temukan wanita yang bersedia menjadi pengikut setiamu tak peduli seberapa tinggi suaramu?

Ah, Boi. Aku tak membencimu. Bagaimana bisa? Kau memberiku terlalu banyak kisah untuk dikenang. Jika tiba di Eindhoven adalah perjalanan panjang dengan sayapku yang rapuh, kamulah yang menguatkan.

Ya, Boi. Kamu lelaki yang kuat. Terlampau kuat. Pendirian dan egomu, bagai pagar besi di depan kedutaan yang selalu jadi sasaran demo itu. Kamu adalah lelaki yang tak bisa tunduk. Aku bangga, Boi.

Namun, aku ini rupanya terlalu lemah untukmu Boi. Kau ingat senja di batas kota itu? Seperti biasa kita mendebatkan seisi dunia. Seperti biasa kita tak pernah mau mengalah. Seharusnya semua baik-baik saja, seandainya apa yang kita debatkan tak menusuk egomu. Aku salah memilih kata.

Meledaklah kau, Boi. Dengan suaramu yang garang. Dengan gayamu yang ingin menunjukkan kau adalah kebenaran absolut. Dengan tingginya suaramu, ingin menunjukkan kaulah lelaki. Pantas dihormati. Dengan sekelebat tanganmu sudah mendarat di wajahku. Ngilu.

Boi,
Aku menyesal betul hari itu. Aku menyesal menyakiti egomu. Tapi aku juga akhirnya menyadari satu hal. Aku tak bisa, Boi. Aku tak bisa mendengar suaramu yang tinggi karena berikutnya bisa saja kau lepas kendali lagi. Aku takut, Boi. Aku ini hanya perempuan lemah. Tentu aku kalah beradu otot denganmu. Aku sadar itu.

Aku memilih menjauh Boi, bukan karena kau melakukan kesalahan. Tapi karena aku sadar, aku perempuan lemah yang butuh dikuatkan. Aku perempuan lemah yang tak bisa diperlakukan dengan makian. Aku Boi, aku yang salah.

Aku menyayangimu teramat sangat, Boi. Aku sadar itu, karena itu aku pergi. Aku ingin belajar bela diri, aku ingin belajar menjadi wanita tangguh yang tahan makian dan bentakan. Aku ingin sekali, Boi, saat aku kembali nanti aku dengan tegak berkata,"Kekerasan hanya terjadi karena salah satu pihak menjadi lemah dan yang lain menjadi kuat."

Ah, Boi. Seandainya kau melindungi, tentu aku tak perlu pergi sejauh ini...

Sunday, 31 May 2015

Denok Ayu

07:58 0 Comments

"Jangan pinter-pinter jadi anak wedok, nanti ngga ada lelaki yang berani dekatin, lho", ujar Lek Run.
"Iyo, ngapain mau sekolah tinggi-tinggi, minder semua nanti lelaki yang mau melamar", imbuh Wo Dar.
Denok Ayu, gadis yang sedang diberi petuah hanya tersenyum simpul. Mendengarkan saja, tanpa membantah. Bukankah gadis jawa harus selalu menurut apa kata mereka yang lebih tua? Bukankah pantang untuk gadis seperti dia memantik perdebatan dengan saudara-saudara ayahnya?
"Iya nok, mbok segera rabi saja. Wo Dar bisa kenalkan dengan anak Kaji Sal, juragan selep di ujung desa."
"Atau kalau mau yang sama-sama anak sekolah, ada anak Pak Kades yang kuliah di kota kabupaten. Cukup to?"
Lagi-lagi, denok Ayu hanya tersenyum simpul. Wanita jawa diajarkan memendam api dalam hati dan mengubahnya menjadi senyum anggun. Denok Ayu paham betul itu. Iya tak ingin meyanggah satu pun kata-kata para tetua, bukan karena tak mampu tapi buat apa? Mereka memaksa denok Ayu menuruti jalan pikir mereka dan kalau denok Ayu melakukan hal yang sama, apa bedanya?
Bukan karena denok Ayu memandang rendah paman-pamannya. Ia hormat betul, Ia sadar mereka sangat menyayang dirinya dengan cara mereka.
Yang berbeda karena denok Ayu telah melihat dunia. Denok Ayu telah mengenal banyak wanita yang berkarya. Denok Ayu telah tumbuh menjadi perempuan yang sadar betul akan apa potensinya dan bagaimana mengolah itu semua.
"Kok dari tadi cuma mesam-mesem? Apa harus yang bisa empat bahasa kayak kamu? Ya ndak ada di desa ini! Umurmu itu sudah 22, wayahe rabi", suara Wo Dar mulai meninggi.
Saat itulah Romo datang dan duduk di samping Denok Ayu.
"Yang merasa takut pada perempuan cerdas dan berpendidikan hanyalah lelaki yang pengecut. Pantang aku punya mantu seperti itu. Dan lelaki itu kangmas, tidak cuma di desa ini. Denok Ayu bisa menemukannya di belahan dunia manapun. Dengan ilmu yang akan dia raih. Begitu kan, nok?"
"Injih, Romo."

Tak ada lagi suara. Denok ayu kembali pada senyum simpulnya. Ia kembali merajut mimpi untuk melihat dunia.

Friday, 6 March 2015

Mengamankan Facebook dari Konten Gadis Mabuk dan Konten Porno Lainnya

22:08 0 Comments
Pagi tadi, Guru SMA saya saat  memposting 'warning' agar teman-teman beliau di Facebook tidak mengirimi konten-konten mesum di laman Facebook wali kelas saya itu. Saya pun ikut berkomentar di status tersebut, menyarakankan beliau untuk mengatur privasi beliau agar tidak semua posting yang menandai beliau langsung muncul. Guru saya itu menanyakan caranya. Saya pikir akan lebih mudah menjawabnya melalui posting blog.

Sebelumnya beberapa teman saya yang lain di Facebook mengalami hal yang sama, news feed saya jadi penuh hal tak senonoh. Jadi mungkin untuk yang sudah mengalami kasus gadis mabuk ataupun sejenisnya atau yang belum dan tidak ingin sampai mengalami kasus itu, begini cara mudahnya.

1. Masuk ke akun Facebook Anda.
2. Buka laman pengaturan Facebook Anda. Untuk mengakses laman ini ada dua cara. Cara yang pertama klik di bagian yang saya tandai merah, kemudian klik Pengaturan.

cara yang kedua, ketikkan di browser Anda https://www.facebook.com/settings seperti yang saya lakukan di gambar di bawah ini.


3. Di bagian kiri halaman pengaturan, klik Menu Kronologi dan Penandaan.


4. Pada bagian Siapa yang dapat menambahkan hal-hal ke kronologi saya? Klik Sunting di bagian Siapa yang boleh mengirim ke kronologi saya?

5. Atur hanya Anda yang bisa mengirim di kronologi Anda. Hal ini akan membuat teman Anda di Facebook sama sekali tidak bisa mengirim di Beranda Anda. Anda akan terbebas dari orang yang mengirim konten mesum di halaman Anda. Jika Anda ingin teman Anda masih bisa menulis di laman Facebook Anda, maka pilih Teman.

6. Seringkali muncul kasus Anda ditandai di sebuah postingan mesum di dinding orang lain. Jika Anda ditandai pada postingan tersebut, maka postingan itu akan muncul pula di halaman dan news feed Anda. Untuk mencegah hal ini, klik Sunting pada bagian Tinjau kiriman yang menandai Anda sebelum muncul di kronologi Anda?

7. Pilih Nyala. Hal ini akan membuat Anda bisa memfilter postingan-postingan yang menandai Anda sebelum postingan tersebut muncul di dinding Facebook Anda.

Perlu diingat, cara ini adalah sebagai filter agar dinding facebook Anda aman dari konten yang tidak diinginkan, bukan menghilangkan konten itu sepenuhnya dari Facebook. Yang perlu diingat adalah, hati-hati dalam mengklik suatu link atau video yang tersebar di Facebook agar Anda tidak menjadi 'Gadis Mabuk' berikutnya!

Semoga Bermanfaat. Cheers :)

Thursday, 5 March 2015

Worry

00:44 0 Comments
Lately, I’ve started my phase of job-seeking. I decided to do it just now, when many of my friends who graduated in the same period with me already got their jobs in big company. Right now, I found myself worrying about the company will accept my application and choose me as one of their employee. Worrying? Yeah, this takes my time to thinking. Why I should worry?
Because my friends already get their salary and I am still looking for a job? Is that really a reason to be worried and not enjoying life? If I get the job, but my salary isn’t as high as my friends, will I be happy? Or still worrying?

When this question hit me, I found a really inspirational quote on a website,  that somehow ease me and give me another way how to see my life. (I recommend this website for you who are looking for inspirational quotes in different ways)

Here is what I found.
You can see the entire comic here at Zen Pencils

Yeah, what do I really wanna do? I was immersed in reading and writing back then in high school and early year of college.  I even declared, I wanna be a writer. Years pass by and this little girls inside me who really want to be a writer craves for help. What do I really wanna do? I wanna help this little girls and show her to the world. 

I am worried I can not enjoy life as the way it supposed to be enjoyed. I am worried I listen to other more than I listen to myself. I am worried that I always compare everything that I have to others. I am worried I can not be grateful of the life I have been had so far.

Life is not a race. Life is about enjoying life gracefully. Life is not about being the winner of the competition. Life is about doing your best and enjoy the process. Let’s enjoy life and start writing again!


PS : I am on my way improving my English. If you find any grammatical error, please kindly show me where’s my mistakes. I’ll be glad to be corrected.

Saturday, 28 February 2015

What have you done?

22:29 0 Comments
Setelah sekian lama hibernasi menulis, jiwa saya terbelah dua. Sebelah jiwa saya selalu berkata, "Nada si penulis sudah mati. Mana ada penulis ngga pernah nulis? Berkarya aja ngga ada karyanya. Udah sana, tekuni dunia IT aja. Ngoding aja sana.". Sebelah jiwa saya yang lain, suaranya lebih lirih.
"Nada, kapan menulis kembali? Bukankah kamu rindu rasanya berhasil menuangkan pikiran dalam tulisan, membacanya berulang kali dan membiarkan orang lain mengkritisi? Bukankah kamu rindu membaca? Bukankah kamu rindu itu semua?".

Lalu saya sendiri membela yang mana? Tak ada. Saya diam saja disini. Justru tak melakoni keduanya. Iya, lebih parah. Kalau Anda mengharapkan akan menemukan semacam motivasi dalam tulisan ini, berhentilah. Ini hanya bentuk dialog imajiner diri saya sendiri. Semacam curhat terselubung yang saya harap bisa menjadi semacam terapi.

Ada banyak ide yang bersliweran. Melihat senja yang merah, saya pikir ini sangat romantis. Melihat jalanan yang lengang di lereng gunung, bukankah ini kedamaian yang akan indah jika dibahasakan? Mengamati pergolakan politik bangsa ini, bukankah akan baik untuk saya jika menelisik kemudian menggubahnya menjadi semacam tulisan fiksi?

Sayangnya semua berhenti menjadi sebatas ide. Sebatas angan. Begitu juga dengan ngoding. Niat awal, saya ingin meneruskan projek Tugas Akhir saya. Nyatanya selalu saja menemukan alasan untuk berkata "Nanti dulu,deh". What a bad habit.

Terus setelah lulus September lalu, saya ini sudah melakukan apa?
Ya, saya sudah melakukan apa?

Setelah wisuda, saya memutuskan untuk pulang dan tidak langsung mencari kerja. Terus apa yang kamu lakukan? Saya memutuskan untuk secara intensif mengaji. Mengaji baca qur'an gitu? Emang belum bisa?

Mengaji bukan soal baca Qur'an saja kawan, mengaji (minimal dalam definisi saya) adalah mempelajari agama. Khususnya agama saya yaitu Islam. Ada banyak cabang sebenarnya yang bisa saya pelajari, mulai dari Tauhid, Hadits, Ulumul Qur'an, Ushul Fiqh, Tasawuf dan lainnya. Lalu mana yang saya pilih? Saya memilih fiqh. Alasana sederhana, fiqh merupakan salah satu yang paling aplikatif dalam kehidupan. Untuk urusan beribadah, saya tahu bagaimana beribadah yang tepat dan benar menurut madzhab yang saya anut. Untuk menjalani urusan kehidupan lain, baik itu dari urusan jual beli, sewa menyewa, menikah, hingga menyelesaikan konflik saya tahu harus bagaimana. Minimal saya tahu harus merujuk kemana. Dan yang paling penting, saya belajar fiqh ini dari seorang Kyai dan Guru yang jalur ilmunya secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Ini penting, bukan sekadar mengikuti Ustad wannabe yang kian hari kian marak. Ustad wannabe yang seringkali mengalami logical fallacy dan sanad ilmunya saya sendiri belum tahu.

Sejujurnya, tak pernah ada kata cukup untuk belajar ini. Untuk memiliki pandangan dan pengetahuan yang menyeluruh, belajar dari satu kitab sangat kurang. Tapi setidaknnya, saya sudah tahu bagaimana harus melangkah. Sekarang, kurang lebih sejak satu minggu yang lalu saya sedang memasuki fase job seeker. Dan ternyata galau sekali. Hahahahaha. So this is it. Fase hidup yang perlu dilewati. Galau - galau sedap yang membuat saya banyak merenung. Hidup itu rupnya adalah persoalan-persoalan yang tak akan ada habisnya. Ini bukan soal siapa cepat dan tepat menjawab soal-soal itu hingga kemudian tergesa-gesa. Hidup adalah tentang menerima pertanyaan-pertanyaan itu dan menyadari pertanyaan yang jauh lebih besar dari ini semua.

Untuk apa hidup saya ini?
Ah, pertanyaan ini sepertinya perlu perenungan lebih lama untuk bisa saya jawab..