KASMARAN
Pertanyaan itu muncul dari seorang teman saya ketika saya menulis sebuah puisi di bukunya. Alis saya langsung terangkat. Kok bisa-bisanya pertanyaan begitu langsung muncul. Saya lantas balik bertanya, apa yang menjadi sebab pertanyaan itu muncul. Teman saya itu lalu tertawa terkekeh. Katanya, biasanya orang yang menulis puisi itu orang yang sedang kasmaran. Saya jadi geli, kalau misalkan benar saya sedang kasmaran, apa itu berarti saya punya pacar? Teman saya itu tertawa menyadari pertanyaannya yang kurang pas itu. Ah, tapi pasti Nada punya pacar. Teman saya itu masih ngeyel. Saya jawab dengan jujur, sejujur-jujurnya, saya tidak punya pacar dan juga tidak sedang kasmaran.
Tapi puisinya kok bisa kayak gitu. Masih ngeyel juga teman saya itu. Saya jawab, ini puisi bikinan saya yang paling saya sukai sampai sekarang. Saya merasa puisi itu maknanya bisa tepat di segala kondisi. Barulah teman saya itu berhenti ngeyel.
Puisi saya yang menimbulkan pertanyaan tadi sebenarnya sangat singkat hanya 1 Bait, 4 baris.
Aku ingin kau tahu
Tapi aku tak permah mampu
Aku ingin kau merasa
Sayangnya aku tak pernah bisa
Hanya itu sebenarnya. Singkat bukan? Tapi padat buat saya. Kau disitu bisa bermakna luas sekali. Bisa seorang yang kita kagumi atau bisa juga pemerintah. Atau siapapapun yang kita kehendaki. Luas objek, luas pula maknanya. Kebetulan saja teman saya tadi memaknainya dengan sempit sehingga kesan kasmaranlah yang pertama kali muncul.
Tak apa, toh dulu memang saya menulisnya saat kasmaran. Dulu sekali.
Dulu memang saya penganut aliran puisi kasmaran, artinya saya hanya menulis saat perasaan -yang entah bagaimana menggambarkannya- itu hadir. Saya lalu jadi melankolis dan menulis puisi kapan saja.
Namun sekarang berbeda. Saya menulis ketika saya merasa ada uneg-uneg. Ad ayang mengganjal. Apa saja itu, bukan melulu urusan cinta. Saya mengungkapkanya kadang lewat puisi, kadang lewat cerpen kadang bisa juga lewat tulisan semacam ini. Macam-macamlah.
Tapi eits, tunggu dulu. Saya mencerna lagi kata kasmaran tadi. Jika kasmaran dimaknai cinta, sepertinya ada benarnya juga kata teman saya itu. Ketika saya menulis puisi tentang tanah air saya, itu berarti saya sedang kasmaran dengan tanah air saya sendiri. Atau saat saya mengumpat tentang negara saya sendiri, berarti saya sedang dalam proses mencintai negara sendiri. Cinta tak harus selalu memuji kan? Lalu pernah pula saya berbicara tentang Tuhan, Allah. Ini jelas, saya sedang menumbuhkan dan menyuburkan cinta saya kepadaNya. Sempat pula saya menulis tentang keluarga, tentang abah, tentang ibu. Tak usah ditebak lagi, alasannya sebab saya memang sangat mencintai keluarga saya.
Saat saya mengerik postingan ini, tiba-tiba ada ide yang ujug-ujug mak bedunduk minta dilahirkan.
Sendiri
Meski di sebelah buku-buku berhimpitan mesra
Bantal yang sedari tadi bercumbu dengan guling mengejek dengan mengerling
Mereka tertawa melihat yang bernyawa di ruang sendirian
Sementara mereka yang tak berdenyut nadinya
Justru bergelimang cumbu dengan sesamanya
Ah sungguh mereka tak paham
D iluar sana
Banyak yang seperti mereka
Bernafas namun berkeliaran memajang hasrat
Sedang aku yang sedang belajar memanusiakan diriku sendiri
Terkungkung dalam kamar yang sepi
Sendiri
Puisi ini tiba-tiba muncul, saat saya memang sedang sendirian di kamar malam-malam. Lantas saya ingat ada kehidupan malam yang sungguh tak pantas saya ceritakan. Saya menjadi bersyukur Allah membiarkan saya sendirian, bukan berkeliaran dengan jalang di jalanan. Saya menjadi mencintai kesendirian ini.
Begitu banyak hal disekeliling saya yang membuat saya sadar, saya berkali-kali kasmaran. Jika kurang percaya, tengoklah cerpen saya yang saya pajang disini. Mungkin akan memberi anda sedikit rasa yakin. Hehehe..
Dan yang pasti saat saya menulis sekarang juga karena cinta. Cinta kepada para pembaca yang sudah berkenan membaca coretan saya ini. I LOVE YOU!