Kebaya itu masih tergantung di lemari, menunggu disentuh. Semua penghuni lemari yang lain telah berpindah rapi ke dalam koper. Denok Ayu sudah bersiap membawa pergi semua yang ia punya, kecuali kenangan.
Ia tak ingin membawa kenangan-kenangan yang tak pernah tuntas. Bukankah pergi ke tempat baru seharusnya membuatnya mudah menciptakan kenangan baru pula? Semacam pain killer untuk migrain yang kerap menyambangi. Jelas bukan solusi, tapi siapa yang bisa bertahan terus-menerus dengan ingatan yang membuat sembilu di hati?
Kebaya merah muda dengan bordiran mawar merah itu sebenarnya sungguh cantik. Berbahan satin, bukan brokat seperti yang banyak dikenakan, membuatnya berkilau ditimpa cahaya. Memukau. Tapi di benak Denok Ayu, tiap helai benang dari kebaya itu saja bagai belati. Menusuk-nusuk hati dengan luka yang tak pernah sembuh.
Saat ada bulir air mata di sudut mata Denok Ayu, Romo masuk dan duduk di samping Denok Ayu. Buru-buru Denok Ayu menyembunyikan air mata.
"Sudah selesai, nok?".
"Sampun, Romo". Denok Ayu menjawab sambil menunduk. Romo mendekati lemari kayu jati, membukanya perlahan. Mendapati kebaya itu sebagai satu-satunya yang tersisa, satu-satunya yang tak tersentuh. Romo menghela napas panjang.
"Nok.."
"Injih, Romo".
"Ikhlaskan, Nok. Apa selama ini kamu belum bisa mengikhlaskan juga?", Romo bertanya dengan suara yang tercekat. Jelas ada sekelebat kenangan buruk yang datang.
Denok Ayu tak mampu menjawab. Gelombang air mata semakin susah dihadang. Bagaimana bisa mengikhlaskan sesuatu yang tak pernah genap ia miliki?
Romo duduk di tepi ranjang, menyebelahi Denok Ayu, merangkul gadis itu.
"Ikhlaskan, ikhlaskan. Ibumu menyayangimu, kamu tahu itu kan?".
Hancur sudah pertahanan air mata Denok Ayu. Sesak di dada itu tak lagi bisa ia bendung. Denok Ayu selalu berusaha menyimpan rapat segala pertanyaan yang tak memiliki jawaban, kegelisahan yang tak pernah tuntas, rindu yang tak kunjung padam dan amarah yang tak bisa hilang. Semua yang ia simpan rapat 12 tahun ini, meledak seketika.
"Bagaimanapun, Ibumu menyayangimu. Ibumu khusus memberikanmu kebaya turun-temurun itu untuk kelak kamu pakai saat malam midodareni. Bawalah, Nok. Bawalah.."
Ada ribuan kata yang tersendat. Ada satu cerita utuh yang harus ia bagi, tapi tentu menyakiti Romo. Bagaimana mungkin ia sanggup?
"Pesawat itu bisa saja ditemukan suatu hari nanti. Romo percaya. 12 tahun sudah lewat, tapi Romo tahu kelak kita akan menemukan Ibumu. Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa mengikhlaskan. Ikhlaskan.."
Denok Ayu masih bisa merasakan cinta Romo yang menggebu, bagaimana bisa Denok Ayu tega membunuh cinta itu?
Romo, kula benci Ibu. Kata-kata itu tertahan di tenggorokan dan menjadi bulir-bulir air mata.
"Injih, Romo..". Hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Denok Ayu.