Oleh Qotrun Nada Haroen
Mahasiswi Teknik Informatika
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Jika ditanya siapa saja yang membentuk pribadi saya menjadi seorang perempuan, selain menjawab keluarga, saya akan menyebut nama lain, Pramoedya Ananta Toer. Bukan berlebihan rasanya menyebut salah satu penulis terbaik yang sempat dimiliki bangsa ini sebagai penulis feminis. Dari sekian banyak karyanya, mulai dari Gadis Pantai, Larasati, Arok Dedes hingga Tetralogi Bumi Manusia pun sangat menonjol dengan kefeminisannya, menyuarakan hak-hak dan perjuangan kaum perempuan, menunjukkan bahwa kaum yang seringkali disebut warga kelas dua sangat berhak mendapatkan kesetaraan.
Sejak mengenal karya Eyang Pram—saya suka memanggil almarhum dengan sebutan Eyang—saya menjadi lebih sering merenung tentang diri saya, tentang menjadi perempuan, tentang bersikap untuk mendapatkan hak tanpa melawan kodrat. Inilah yang menjadi pergulatan tiap saya membaca karya Eyang Pram, apa sesungguhnya kodrat seorang perempuan?
Dari Eyang Pram, saya tahu, gadis jawa jaman dahulu tak lebih dari sekadar aset bagi suaminya. Hak milik pada suami terhadap istrinya tak ubahnya seperti hak milik suami terhadap benda-bendanya, terhadap perabotnya. Perempuan praktis hanya menikmati dunia yang seluas-luasnya saat masih gadis, saat masih kanak. Begitu ia menjadi istri, dunia perempuan dibatasi oleh tembok-tembok rumahnya sendiri.
Sebagai seorang gadis jawa yang tumbuh di abad ke-21, batin saya mau tak mau bertanya, benarkah perempuan setelah sekian lama masih pada kasta yang sama?
Kini perempuan bisa bekerja di luar rumah, perempuan mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki—bahkan saya sendiri kuliah di ITS yang notabene didominasi kaum adam, seruan akan kesetaraan gender didengungkan dimana-mana, perempuan mulai masuk dalam jajaran pemerintahan, perempuan bisa meraih mimpinya apapun itu selama ia berusaha sama kerasnya atau justru lebih dari para pria.
Sayang, apa yang saya lihat sekarang tidak jauh lebih baik. Mimpi para gadis jawa bahkan mungkin gadis Indonesia, tidaklah lebih tinggi daripada ketika feodalisme masih diagungkan. Entah sudah menjadi mindset ataupun kesadaran kolektif, menjadi perempuan cukuplah mengerti soal dandan, cukuplah mengerti soal berbusana, agar mendapat lelaki yang mampu menghidupi maka pendidikan tinggi dijalani hanya sekadar gengsi dan tambahan gelar.
Memang benar banyak perempuan telah keluar dari zona nyaman itu dan membuktikan dia mampu, namun porsentasenya sangat sedikit dibandingkan yang tidak. Mari kita lihat para perempuan secara keseluruhan. Sudahkah tertanam kesadaran yang sama? Sudahkah para perempuan tidak hanya menjadi korban iklan? Sudahkah para perempuan memikirkan eksistensi diri melebihi dari kecantikan fisik? Sudahkan para perempuan paham bahwa menjadi seorang ibu tidak hanya berhenti pada darah daging sendiri tapi juga bagi negeri?
Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah ya, saya rasa tidak berlebihan jika mewajibkan seluruh gadis jawa—dimana Eyang Pram selalu membahas hal ini lebih rinci—dan gadis Indonesia seluruhnya untuk membaca karya-karya feminis Eyang Pram agar kaum perempuan sadar mereka telah ada di suatu era dimana mimpi tak lagi boleh dibatasi. Sangat disayangkan jika kita, para perempuan masih saja ngotot hanya soal penampilan. Perempuan layak dan harus berpikir lebih, bertindak lebih, dan berkarya lebih. Hanya dengan itu kesetaraan tidak di awang-awang.
Perempuan memang berbeda dalam kodratnya, tapi sebagai manusia, entah perempuan entah pria, semua setara.
*saya agak lupa tanggalnya, antara 25-27 Februari lah pokoknya :-D alhamdulilah cuma sampe 25 besar aja tulisan ini :-D