Sunday, 30 January 2011

Indrayanti Beach

02:08 8 Comments
Damai. Tenang. Indah. Bersih. Private.


Itulah yang saya rasakan liburan kemarin saat ke Pantai Indrayanti.
indrayanti beach






Iya, kalo dilihat dari foto, pantai ini adalah macam pantai di Kuta Lombok dengan pasir putih dan tebing di kanan-kiri, tapi secara geografis pantai ini tetaplah terletak di Gunung Kidul, Jogja.
gunung kidul via google maps


Damai?
Iya dong, pantai yang langsung menghadap Samudera Hindia ini punya horison yang seolah tanpa batas. Membuat jiwa ini merasa bebas.. *ceileeee*


Tenang?
Sebenenarnya ombaknya nggak tenang, besar dan gahar malah. Tapi, nuansa pantai ini memang masih tenang. Karena usia pantai ini yang masih muda *artinya baru saja dibuka sebagai tempat wisata* menjadikan pantai Indrayanti ini kurang begitu dikenal dibandingkan pantai-pantai di pesisir yang sama seperti Baron, Kukup, Krakal, Sundak dan Siyung. Tapi menurut saya, justru disitulah kelebihan pantai Indrayanti ini. Tidak crowded. Saya pribadi sih lebih suka pantai yang tenang macam ini, liburan benar-benar menikmati alam bukan melihat para pengunjung yang sibuk lalu lalang.


Indah?
As you see in the picture, this is an awesome beach! Pasirnya yang putih, ombaknya yang berbuih, lautanya yang biru, juga karang yang gahar. Di ujung kanan pantai ini ada semacam cekungan yang berisi batu-batu karang. Ada celah yang menghubungkan cekungan ini dengan laut lepas, begitu ombak datang saya langsung merasakan sensasi yang asyik, terhempas di antara karang. Seru! Di pantai ini juga disediakan pondok-pondok panggung. Kita bisa duduk-duduk dan ombak pun menghampiri kita hingga ke bawah pondok.


Bersih?
Dari sekian pantai yang pernah saya kunjungi, pantai Indrayanti adalah pantai terbersih yang pernah saya temui! Mencitrakan diri sebagai pantai bersih, Pantai Indrayanti tidak hanya menjadikan itu sebagai jargon semata. Para penjaga pantai secara rutin membersihkan pantai ini dan selain itu ada peraturan tegas yang melarang pengunjung buang sampah sembarangan. Satu puntung rokok atau sampah yang dibuang sembarangan akan membuat pengunjung mengeluarkan kocek sepuluh ribu rupiah, denda! Karena kebersihannya pulalah, pantai ini menjadi berbeda dengan pantai-pantai lain.


Private?
Yup. Serasa pantai milik pribadi. Ketika saya datang kesana, hanya saya dan kawan-kawan saya sajalah pengunjung pantai ini. Selang beberapa jam kemudian datanglah rombongan lain. Praktis, hari itu pantai ini hanya milik saya dan rombongan lain itu. Serasa orang kaya bisa menikmati pantai indah itu dan tidak banyak orang lain berdatangan. Hehehe.. kalau Anda ingin menikmati sensasi private ini juga, jangan datang saat weekend.


Satu lagi, pantai ini menyediakan jet ski untuk pengunjung lho. Tapi siap-siap merogoh kocek seratus lima puluh ribu rupiah untuk sensasi jet ski selama lima belas menit saja.


So, this is a very high recommended beach to visit! Come and enjoy!

Tuesday, 18 January 2011

kegelisahan seorang mahasiswi

00:10 18 Comments

Hidup di kota besar macam Surabaya, membuat saya lebih membuka mata soal negeri saya sendiri. Surabaya bagi saya merupakan gambaran kecil yang menyeluruh tentang Indonesia. Kemacetan jalan, keruwetan tata kota, kekontrasan pembangunan oleh investor dan pribumi. Berbagai isu sosial yang dulu sebatas saya baca lewat media, kini terpampang jelas.

Bagaimana kemiskinan penduduk dihadapkan oleh pembangunan mal-mal dan apartemen tanpa henti, bagaimana perumahan-perumahan megah terus dibangun sementara dalam radius sepuluh kilometer terdapat pemukiman penduduk yang masih berbahan kardus. Ironis.

Sore ini pula, ketika saya melewati Delta Mall, salah satu mall besar di Surabaya, saya mendapati banyak anak-anak jalanan. Ya,mereka benar-benar anak jalanan dalam arti harafiah. Mereka yang duduk menggelesot di pinggir jalan. Salah satu frame yang saya tangkap dalam memori, seorang bayi berumur kurang lebih 6 bulan dibiarkan tergeletak begitu saja di atas pangkuan anak berusia 2 tahun. Tangan kecil anak berusia dua tahun itu memegang gelas plastic yang ia gerak-gerakkan terus untuk menimbulkan suara gemerincing, mengundang koin-koin para pejalan dan pengunjung untuk mampir ke gelasnya itu.

gambar di ambil dari sini

Saya merasa dilematis. Di satu sisi, ketika saya harus memberikan uang ke anak kecil itu kemudian berlalu saja, artinya saya semakin menjerat mereka dalam lingkar hitam jalanan tapi jika saya diam saja, maka saya adalah orang apatis dan egois.

Sebelum saya ke Surabaya, kondisi miris semacam itu hanya saya dapati lewat film, koran atau televisi. Sindikat jalanan yang menjadikan anak-anak sebagai kedok dulu hanya saya pahami sebagai scenario tapi kini di hadapan saya sendiri, saya kehilangan kata-kata. Miris.

Sementara itu di dalam delta mall, orang-orang sedang mengahbiskan uang-uang mereka untuk memenuhi gaya hidup hedonis. Saya yakin, anak kecil itu tiap hari membaui aroma ayam goreng dari kfc, mencium bau donat yang lezat dari dunkin donat melihat baju bagus di etalase, sayang mereka hanya sampai pada itu, tidak lebih.

Soal anak jalanan ini baru satu masalah yang berkepanjangan di Indonesia, masalah-masalah lain yang membelit negeri ini masih bejibun. Lantas apa yang bisa saya lakukan setelah kini saya menyandang gelar baru sebagai mahasiswa yang sering disebut sebagai agent of change?


Hari ini saya baru bisa menulis, esok saya harus berbuat lebih. Hari ini saya menulis, agar ketika besok atau lusa saya hendak berleha-leha, saya kembali ingat, ada tugas besar yang menanti saya, menanti seluruh mahasiswa Indonesia, membangun Indonesia menjadi lebih baik dimulai dari sebuah langkah kecil bersama.

Wednesday, 5 January 2011

suntuk akut

01:38 5 Comments
Suntuk menumpuk.
Itulah saya. Dalam kondisi minggu (yang katanya) tenang menjelang UAS ini, saya sampai pada stadium suntuk akut tingkat dewa.


Selain karena tugas yang membabi buta, saya rasa salah satu alasannya adalah kevakuman saya dalam menulis. Salah satunya menulis Tuanmuda the series. Series yang sempat membuat saya bersemangat itu kini layu. Saya tak lagi punya banyak waktu untuk sekadar berimajinasi dan merancang scenario untuk Tuanmuda dan Nonamuda, pun kalau sempat saya tak punya banyak waktu untuk menuliskannya. Pun kalau saya tulis, bahasa saya tak lagi puitis. Ini I-R-O-N-I-S. Ibarat penyakit ini sudah kronis.