Denok Ayu
"Jangan pinter-pinter jadi anak wedok, nanti ngga ada lelaki yang berani dekatin, lho", ujar Lek Run.
"Iyo, ngapain mau sekolah tinggi-tinggi, minder semua nanti lelaki yang mau melamar", imbuh Wo Dar.
Denok Ayu, gadis yang sedang diberi petuah hanya tersenyum simpul. Mendengarkan saja, tanpa membantah. Bukankah gadis jawa harus selalu menurut apa kata mereka yang lebih tua? Bukankah pantang untuk gadis seperti dia memantik perdebatan dengan saudara-saudara ayahnya?
"Iya nok, mbok segera rabi saja. Wo Dar bisa kenalkan dengan anak Kaji Sal, juragan selep di ujung desa."
"Atau kalau mau yang sama-sama anak sekolah, ada anak Pak Kades yang kuliah di kota kabupaten. Cukup to?"
Lagi-lagi, denok Ayu hanya tersenyum simpul. Wanita jawa diajarkan memendam api dalam hati dan mengubahnya menjadi senyum anggun. Denok Ayu paham betul itu. Iya tak ingin meyanggah satu pun kata-kata para tetua, bukan karena tak mampu tapi buat apa? Mereka memaksa denok Ayu menuruti jalan pikir mereka dan kalau denok Ayu melakukan hal yang sama, apa bedanya?
Bukan karena denok Ayu memandang rendah paman-pamannya. Ia hormat betul, Ia sadar mereka sangat menyayang dirinya dengan cara mereka.
Yang berbeda karena denok Ayu telah melihat dunia. Denok Ayu telah mengenal banyak wanita yang berkarya. Denok Ayu telah tumbuh menjadi perempuan yang sadar betul akan apa potensinya dan bagaimana mengolah itu semua.
"Kok dari tadi cuma mesam-mesem? Apa harus yang bisa empat bahasa kayak kamu? Ya ndak ada di desa ini! Umurmu itu sudah 22, wayahe rabi", suara Wo Dar mulai meninggi.
Saat itulah Romo datang dan duduk di samping Denok Ayu.
"Yang merasa takut pada perempuan cerdas dan berpendidikan hanyalah lelaki yang pengecut. Pantang aku punya mantu seperti itu. Dan lelaki itu kangmas, tidak cuma di desa ini. Denok Ayu bisa menemukannya di belahan dunia manapun. Dengan ilmu yang akan dia raih. Begitu kan, nok?"
"Injih, Romo."
Tak ada lagi suara. Denok ayu kembali pada senyum simpulnya. Ia kembali merajut mimpi untuk melihat dunia.