Pagi masih malu-malu di Timur Surabaya. Matahari belum seganas biasanya tetapi lelaki itu sudah menghabiskan separuh sarapannya di restoran cepat saji yang tak kenal kata tutup. Ini bukan jam sarapan lelaki itu seperti biasanya. Lelaki itu biasanya menggabungkan sarapan dan makan siang. Praktis.
Lelaki itu menikmati separuh sarapannya dengan separuh hati dan cemas. Sarapan itu terasa hambar. Sesungguhnya ia tak punya selera makan setelah tak bisa tidur semalaman. Tapi menunggu di restoran cepat saji tanpa memesan makanan rasanya jadi tontonan yang tak nyaman. Separuh pertama sarapannya menyadarkannya perutnya lapar, separuh akhir membuat ia merasakan detik-detik yang cemas.
Semalam gadisnya meminta bertemu di restoran cepat saji ini. Ada yang harus dibicarakan, kata gadis itu dengan nada menggantung yang tak enak. Lelaki itu hafal nada menggantung semacam itu. Pertanda tak baik. Semalaman ia gelisah. Ini bukan pertama kali gadis itu mengucapkan nada menggantung itu. Kesempatan-kesempatan sebelumnya lelaki itu berhasil mengubah kembali nada menggantung menjadi ceria dan keduanya kembali mesra. Akankah kali ini sama?
Sarapan lelaki itu sudah habis. Gadis itu sudah terlambat 45 menit. Tepat saat lelaki itu akan menelepon, gadis itu muncul dengan senyuman datar dan tatapan sayu. Ia menuju counter memesan makanan.
Lelaki itu tak pernah melihat tatapan sayu itu sebelumnya. Itu bukan tatapan kecewa atau marah. Itu adalah tatapan lelah. Gadis itu membawa sarapannya ke meja tempat lelaki itu duduk.
Tatapan gadis itu berubah dari biasanya. Mata gadis itu adalah mata bercahaya yang membuat lelaki itu jatuh cinta. Senyum gadis itu adalah semangat yang tak kenal habis. Kini di hadapan lelaki itu, mata gadis itu terlihat lelah. Gadis itu tersenyum. Senyum getir.
To be continued..