Padamu, hati ini diam-diam lelah dan ingin mencari jalan pulang
Padamu, kata-kata yang berserakan telah kukumpulkan untuk suatu hari kuserahkan menjadi sekumpulan jurnal tebal
Padamu, kata dan hati mengkristal
Padamu, rinduku kian bebal.
Seorang gadis dengan satu tas ransel di punggungnya membawa kopernya dengan setengah berlari di tangga stasiun Tanah Abang. Ia memburu waktu, commuter berangkat sebentar lagi dan koper dan tasnya yang berat itu jelas tak bisa lari sendiri. Beruntung , she could make it on time. Tepat ketika kereta tiba, ia tiba di stasiun dan bergegas memasuki commuter bersama teman-temannya yang telah menunggu dengan cemas.
Sepuluh menit sebelumnya, gadis itu masih duduk manis dalam mobil ber AC dan terjebak dalam macetnya Jakarta yang benar-benar gila. Sembilan menit sebelumnya, gadis itu memutuskan untuk jalan kaki, lebih tepatnya berlari, kemacetan Jakarta sudah mulai menggila. Kakak sang gadis tak bisa berkata tidak. Waktu sudah memburu. Jadilah gadis itu berlari dengan satu tas selempang hijau yang sudah buluk, tas ransel yang berat dan menyeret kopernya yang nyaris pecah karena penuh barang. Di antara abang-abang tanah abang, bajaj yang geyal-geyol, pasar tumpah di trotoar jalan dan angkot yang ngetem seenaknya, gadis itu berlari.
Setibanya di tanah Abang, kawan-kawannya yang baru saja tiba dari Surabaya dengan kereta—belum sempat mandi tentunya—segera menuruni tangga. Commuter sudah tiba. Penumpang tumpah ruah dimana-mana.
Pertama kalinya naik commuter gadis itu dan kawan-kawannya bersyukur. Ber AC dan bisa duduk. Lebih dari cukup untuk perjalanan melelahkan dengan kemacetan Jakarta yang melatih kewarasan dan kesabaran.
Tiga puluh menit kemudian, commuter sampai di stasiun tujuan. Serpong. Perkenalkanlah mereka, Nada gadis yang berlari dengan menyeret kopernya, Luluk, Aji dan Dadang. Mereka tiba di serpong, membawa kembali tas mereka yang penuh, menuruni tangga dan langsung girang begitu menemukan indomaret di depan stasiun. Mereka kepanasan dan kehausan.
Setelah ‘menggembel’ di depan minimarket, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Menuju jalan raya dan mencari angkot dengan warna putih oranye. Tujuan mereka sudah dekat, seharusnya. LAPAN. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional di desa Rumpin kecamatan Sukamulya Bogor.
Rupanya jalan mereka tak semulus itu. I mean, literally, jalan menuju LAPAN rusak parah. Dengan truk besar yang mondar-mandir, jalanan itu berlubang dimana-mana, penuh debu dan tentunya panas. Setelah satu jam perjalanan penuh debu di Angkot, sampailah mereka di LAPAN tepat saat adzan dhuhur berkumandang.
Ratusan truk-truk besar yang hilir mudik
Pemandangan dari dalam angkot menuju LAPAN
... dan jalanan yang rusak..
Fiuuuh...
Untuk sampai disini, mereka sudah melewati lima provinsi. Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten dan kini kembali sampai di Bogor. Dan ternyata sampai di LAPAN bukanlah akhir, itu hanyalah mula dari cerita-cerita mengejutkan lainnya..
Finally, LAPAN. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional