Seringkali aku gagal membaca isyarat. Aku tak pandai
menerjemahkan tanda yang tersirat. Aku tak mahir memahami tanda-tanda alam. Aku
tak bisa mengerti kamu yang duduk disampingku namun diam. Mengapa para wanita
harus begitu mengagungkan perasaan? Tak sadarkah mereka bagi kami itu adalah
beban?
Seringkali aku tak bisa menyelaraskan hati dan pikiran. Aku
tak pandai membahasakan dengan terus terang. Aku tak mahir memberikan tanda
yang mudah terbaca. Aku tak bisa mengerti kamu yang begitu patuh pada logika.
Mengapa para lelaki harus begitu kaku dengan logika? Tak sadarkah mereka itu
membuat sikap mereka kepada kami menjadi tidak peka?
Aku sudah lelah menebak. Diammu selalu menjebak. Kukira ini
karena aku telat datang, seperti hari lalu. Tapi bukankah ini belum lewat dari
perjanjian kita yaitu pukul tujuh? Aku sudah memberikan penjelasan yang rinci.
Aku sudah berusaha berkata tanpa menutup-nutupi. Kamu tetap tegak dalam diam
dan sepi. Aku benci.
Aku sudah lelah diacuhkan. Sikapmu tiap kali aku diam selalu
menjemukan. Kamu selalu gagal dengan segala tebakan dan aku terlalu letih untuk
menjelaskan. Aku memahamimu kemarin karena datang terlambat, tapi hingga
seharian kau berkabar pun tak sempat, emosiku berlipat. Kamu tetap tak
menyadari, seolah itu bukan sesuatu yang berarti. Aku benci.
Aku diam.
Aku diam.
Diam selalu memberiku waktu lebih bernapas. Merasakan oksigen
itu menembus paru-paru hingga meresap ke hati. Ada sejuk dalam sesak. Batinku bergejolak.
Benarkah ia sepenuhnya tak tertebak? Benarkah ia tak bisa dipahami? Ini adalah
jeda untuk memahami diri sendiri.
Diam selalu memberiku waktu merenung dan berpikir. Merasakan
otakku yang nyaris dikomposisi oleh air. Apakah aku pantas marah karena ini
semua terasa getir? Apakah hanya karena seharian tak berkabar, cintanya padaku
tak lagi bergulir. Ini adalah ruang untukku berpikir.
Aku menoleh. Matanya basah. Namun senyumnya merekah.
Aku menoleh. Wajahnya nampak menyesal dan bersalah. Ia merengkuh
namun tak mengeluh.
“Sayang, aku begitu sedih setiap kali kamu menangis. Aku merasa
bersalah tapi tak tahu apa yang membuatmu begitu miris. Aku gagal memahamimu
untuk kesekian kali. Lelaki yang tak peka ini, selalu gagal menunjukkan
mencintai. Maafkan Aku”.
“Sayang. Perempuan selalu gagu dan merasa perlu menjaga diri
untuk berterus terang hingga akhirnya hati sendiri menjadi korban. Harusnya aku
bicara. Aku tak bisa diacuhkan seharian. Sayang, aku ingin perhatian. Sayang,
maaf aku telah diam”.
Kami kemudian menyadari. Cinta tak hanya soal menyukai, tapi
juga menerima kurang dan lebih, belajar memahami tanpa pernah letih, selalu bertahan
dalam senang dan sedih. Cinta adalah menjadi manusia dengan hati saling berbagi
namun akal tetap dijaga, tak peduli betapa menyebalkan orang yang kau cinta
begitu ia tak ada hampa yang dirasa. Cinta adalah menerima dan berbagi.
Menerima kelemahannya dan berbagi kelebihan kita.
Kami masih saling jatuh cinta. Terima kasih Tuhan Yang Maha
Luar Biasa.