Showing posts with label keluarga. Show all posts
Showing posts with label keluarga. Show all posts

Tuesday, 17 August 2021

Perjalanan Mencari Rumah - Part 1

06:08 0 Comments
Mengapa kita perlu rumah?

Saya rasa ini kembali ke pelajaran ekonomi waktu saya masih SMP. Sandang, pangan, papan. Jelas rumah adalah kebutuhan pokok yang bersifat fisik. Namun, lebih dari itu saya rasa perjalanan mencari/membangun/mendapatkan rumah adalah soal perasaan pulang. Rasa selalu bisa diterima dan menjadi diri sendiri.

Saya sendiri, hingga detik ini, masih menganggap rumah saya adalah rumah di mana saya dibesarkan. Saya tetap memanggil rumah Ibu saya sebagai rumah. Apalagi memang di KTP dan KK masih tertera begitu. Kemanapun kaki saya ini melangkah, mau ke Magelang, Surabaya bahkan hingga ke Eropa, rumah saya tetap sama. 




Saya kemudian beruntung karena memiliki rejeki yang cukup untuk membawa ibu saya hadir untuk wisuda saya di Inggris. Kami sempat juga berziarah ke Marrakesh, ke makam ulama-ulama Islam lampau yang tersohor. Ada rasa yang berbeda saat itu. Saya sendiri juga pernah mengunjungi beberapa negara lain di Eropa, sebagai pelancong tentu saja. Tapi melancong ke negeri lain dengan Ibu membuat saya memiliki perasaan yang berbeda. Rasanya seperti di rumah. Raga saya memang tidak di rumah, tapi jiwa saya merasa tenang seperti di rumah. Ada Ibu. Rupanya yang membuat rumah begitu dirindukan adalah rasa pulang itu sendiri. Pulang ke pelukan Ibu. Rumah itu, semakin terasa magnet dan magisnya justru ketika saya secara fisik semakin jauh. 1 tahun saya di Inggris membuat saya semakin sadar, perjalanan saya jauh jauh hingga Eropa itu ternyata mengukuhkan bahwa saya selalu ingin pulang. Saya pergi bukan untuk menjelajah, tapi untuk mendapatkan nikmatnya rasa pulang.




Sampai akhirnya saya menikah. Saya dan suami memilih mengontrak rumah di kawasan Jakarta Selatan karena lokasi saya bekerja. Hingga hari ini, kami lebih sering menyebutnya kontrakan. Bukan benar-benar rumah. Mungkin, dalam benak kecil kami, kami merasa ini pun adalah tempat singgah, bukan tempat pulang seperti rumah. (Suami saya juga masih menyebut perjalanan ke Jember sebagai perjalanan pulang, sama seperti saya menyebut perjalanan ke Temanggung.)

Hingga akhirnya kami mulai berunding soal rumah ini. Apakah sudah saatnya kami memiliki rumah kami sendiri? Diskusi saya dan suami cukup panjang. Diskusinya mulai dari "wah, rumah ini nampak bagus" hingga "yuk kita pikirkan lagi rumah seperti apa yang kita cari". Cukup panjang. Untuk sesama perantau di Jakarta tanpa ada orang tua di Jakarta, memiliki rumah itu adalah hal besar yang kami benar-benar buta bagaimana memulainya. Tak ada peta untuk menuntun.



Kembali soal kebutuhan dasar, kami pun sadar betul untuk mewujudkan rumah ini harus dengan hal yang bersifat fisikal juga uang. (Okay, kita bisa berdebat panjang soal apakah uang ini nyata atau hanya konstruksi sosial yang disepakati bersama tapi agar tulisan ini tidak semakin panjang maka mari kita sebut uang adalah hal fisik).

Kami tentu membahas dengan sangat dalam soal finansial dalam urusan memiliki rumah ini, namun akhirnya di tengah perjalanan kami, kami sadar ada hal penting yang harus dibahas dan tak boleh luput. Rasa pulang, rasa aman, rasa diterima dan menjadi diri sendiri. Hal-hal semacam inilah yang sebenarnya membentuk kami menjadi individu dan menjadi jelas nilai-nilai apa yang penting untuk kami.

Kami kemudian berusaha untuk mengurrangi bias kami dalam pencarian ini dengan cara secara sadar menuliskan apa saja faktor yang penting menurut kami terkait rumah. Ini tentunya akan sangat berbeda dari satu individu ke individu lainnya. Tiap orang hidup dengan pengalaman dan nilai yang berbeda. 



Untuk kami sendiri, akhirnya kami menuliskan lokasi, harga, luas, air, banjir, akses, transportasi umum, lingkungan dan legalitas ini sebagai faktor yang akan kami nilai. Faktor mana yang lebih peting dari pada yang lain? Nah ini kembali ke soal rasa pulang masing-masing orang. Apakah pulang bagi kamu adalah rasa lega di rumah yang luas? Ataukah pulang soal segera tiba? Nah disini jarak dan luasan bisa berbeda. Kami berusaha menuliskan dan mengurutkan faktor faktor ini dalam menulis agar kami sadar betul bahwa pilihan kami itu rasional terlepas dari seberapa sentimentalnya rasa pulang itu sendiri.

Apakah mudah? Tentu tidak. Pencarian dari satu titik ke titik lain, rasa sudah cocok tapi ternyata legalitas bermasalah. Atau sudah cocok tapi lingkungan tidak mendukung. Banyak sekali dramanya. Belum lagi drama finansial yang menyertai. Nampaknya sudah jelas ya di Jakarta, harga tanah atau pun rumah itu memang bukan barang murah.

Kami sendiri banyak menghabiskan akhir pekan untuk survey dari satu lokasi ke lokasi lain. Rajin mencari informasi secara online atau pun melalui agen-agen. Atau sekadar berkeliling siapa tahu menemukan ada area yang cocok dengan kami.

Kalau prosesnya begitu lama hingga bertahun-tahun, kenapa kami tetap jalani? Sederhana, kami ingin rasa pulang yang melegakan. Kami ingin tiba atau pun tinggal di rumah di mana hati kami sreg betul, tentu jika harganya cocok adalah catatan besar dan penting ya.

Poin utama dari tulisan panjang ini adalah perjalanan membeli/mencari/memiliki rumah itu memang bukan sesederhana ingin memilih beli kopi apa untuk siang ini. Karena memang merupakan pengeluaran besar, maka waktu yang diperlukan untuk mencari dan menyeleksi sebaikanya tak sedikit.

Saya sendiri menuliskan ini di blog sebagai pengingat pribadi, bahwa rupanya hidup sudah membawa saya ke fase ini. Fase saya harus bisa membangun rumah kami sendiri. 

Ibuk, saya ingin pulang, tapi masih PPKM 😢.

Saturday, 12 October 2013

Gap

04:41 0 Comments
Perjalanan Magelang - Ngadirejo pagi tadi cukup melelahkan. Setelah semalaman antri di pool Eka dan baru mendapat seat jam 12, duduk selama 9 jam kemudian berdiri selama 100 menit di bus yang penuh sesak itu jelas melelahkan. Namun demi bertemu keluarga dan ponakan tersayang, saya kuatkan diri dan ingat niat awal. Menghabiskan waktu idul adha bersama kelurga.

Sewaktu sampai di terminal lama Temanggung, ada dua penumpang naik. Seorang pelajar dan ibunya, setelah berbelanja laptop. (Dari pengamatan saya, soalnya si anak bawa kardus laptop dan tas laptop baru). Mereka berdiri tepat di belakang saya, dan mau tak mau saya pun mendengar obrolan mereka.

Si anak, yang nampaknya pelajar SMA (atau SMK?) bercerita soal banyak hal ke Ibunya. Si Ibu juga bertanya dengan penuh antusias. Namun, saya rasa ada gap dalam percakapan mereka.

Ibu: Jadi kamu ngga libur habis semesteran?
Anak: Ya ngga lah bu, ini kan midsemester. bukan semester.

Dari percakapan di atas, si anak menyampaikan dengan gaya ih-ibu-gimana-sih-namanya-midsemester-mana-ada-libur. Si Ibu yang nampaknya waktu jaman bersekolah dulu belum mengenal istilah midsemester, manggut-manggut saja.

Percakapan berlanjut waktu si anak bercerita tentang ulangan di kelas yang mudah karena soal-soalnya sudah pernah diajukan.

Ibu: Oh berarti itu tinggal fotokopi aja?
Anak: Ngga lah, tinggal copy paste aja.

Si Ibu, kembali terdiam dan manggut-manggut saja. Dari pengamatan saya, si Ibu nampaknya sama seperti umumnya ibu-ibu di daerah temanggung. Ibu rumah tangga yang membantu suaminya bekerja di sawah, tidak mengenyam pendidikan tinggi ( tingkat pendidikan di Temanggung memang masih rendah). Hal ini saya simpulkan dari percakapan Anak-Ibu itu yang ketika sudah mencapai gap, obrolan terhenti.

Anak: Jadi waktu ulangan kemarin itu ada yang bawa tablet gitu, curang banget coba masa buka google.
Ibu: .....

Untuk kita, yang telah terbiasa dengan teknologi, merasa tak ada yang asing dengan cerita-cerita si anak. Namun, bagi Ibu yang tak pernah bersentuhan dengan teknologi, tentu dunia si anak ini menjadi dunia asing yang penuh dengan istilah-istilah asing-asing.
Kita sudah tak asing lagi dengan istilah google, tapi untuk Ibu yang tak pernah mengecap internet, tentu Google terasa asing sekali. Yang saya sedihkan adalah cara si anak menyampaikan ke ibunya, seolah ibunya paham dan kalau si ibu ngga paham ya salah sendiri.

Gambar diambil di sini


Mendengar percakapan-percakapan itu, saya menilik ke dalam diri saya sendiri dan juga bagaimana saya berinteraksi dengan Ibu soal teknologi. Dan juga menerawang ke depan, bagaimana kelak saya dan anak saya berinteraksi dengan teknologi.

Tak bisa dipungkiri, perbedaan jaman melahirkan perbedaan teknologi. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang tak hanya linear, tapi quadratic. Berkembang pesat. Mungkin kelak, laptop, modem, google adalah hal usang untuk jaman calon anak saya.

Semoga gap itu tidak menjadikan saya merasa lebih dari orang tua, dan semoga kelak gap itu tidak memisahkan saya dan anak-anak saya kelak di jaman mereka :)

Sunday, 26 September 2010

Untuk Ibu'

10:00 2 Comments
Untuk Ibu', dari anak gadisnya yang akan menuju kota.

Ibu', saya akan baik-baik saja. saya akan berusaha sholat di awal waktu seperti Ibu, berusaha membaca Al-qur'an setiap ada kesempatan, berusaha makan tepat waktu, berusaha kuliah dengan serius, berusaha mencintai informatika, berusaha mengakrabi surabaya, berusaha menjaga diri sendiri dan amanah ibu sebaik mungkin, berusaha tidak ngebut kalau naik motor, berusaha agar tomboy saya tidak kumat, berusaha agar lebih efisien menggunakan waktu, berusaha menerapkan nilai-nilai kehidupan yang sering kali ibu ajarkan.

Ibu', saya sedang tumbuh menjadi gadis dewasa. di kota, saya akan menghadapi banyak macam manusia, di kota saya akan menghadapi banyak persoalan yang harus saya pecahkan sendiri. di kota, saya diuji, apakah yang telah ibu ajarkan selama ini saya serap dengan sungguh-sungguh, apakah meskipun Ibu' tidak melihat saya, setiap nasihat Ibu' tetap saya ugemi.

Thursday, 20 May 2010

manut keluarga

20:56 1 Comments

KELUARGA. Bagian paling penting dalam hidup bagi saya. Mereka yang berada di dekat saya, membimbing saya, menemani saya hingga saya menjadi saya yang seperti ini. Karena setiap orang berbeda, maka jelas setiap keluarga juga berbeda. Memiliki keunikan masing-masing juga tata nilai masing-masing.

Ketika sudah berbicara soal tata nilai, tentunya itu sudah menjadi ukuran absolut bagi masing-masing keluarga. Susahnya, tidak setiap anggota keluarga bisa sepenuhnya sepakat dengan nilai itu. Dan saya salah satunya.

Bukan berarti saya tidak mencintai keluarga saya, bukan berarti saya tidak menerima dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang pesantren, bukan berarti saya tidak suka dengan pandangan keluarga saya bahwa ‘ngaji’, agama, adalah yang paling utama. Tidak, tidak seperti itu.

Dalam proses tumbuh saya, saya menyadari bahwa nilai-nilai dalam keluarga saya yang oleh sebagian besar orang mungkin akan dikatakan ‘kaku’, adalah nilai-nilai yang rasional. Pesan abah saya kepada Ibuk, “anak-anak harus bisa mengaji, tidak sekadar mengaji bisa membaca Alqur’an, tapi bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-quran dan hadits itu dengan baik”

Bagaimana caranya mengimplementasikannya? Itulah yang dipelajari di pesantren. Belajar nahwu shorof, agar mengerti gramatikal arab, gramatikal bahasa alqur’an, agar tidak ngawur saat memaknai “alqur’an. Belajar fiqh dan ushul fiqh agar bisa menerapkan hukum-hukum Islam dengan baik dalam kehidupan, belajar soal ‘ubudiyah agar bisa beribadah dengan baik.

Ibuk saya dan kakak-kakak saya, ingin saya bisa belajar di pesantren dengan baik. Tapi, saya akui selama kurun waktu SMA ini saya belajar dengan kurang sungguh-sungguh. Akibatnya, hasilnya pun kurang maksimal. Pelajaran-pelajaran saya di pesantren agak terlunta-lunta. Saya kecewa. Benar-benar kecewa dengan diri saya yang ‘menomorduakan’ pesantren [walaupun tidak saya niati begitu] hingga akhirnya kacau begini.

Ini pula yang menjadi ‘persoalan’ ketika saya akan memasuki bangku kuliah. Bekal ilmu agama saya yang masih sangat minim itu dipertanyakan, baik oleh diri saya sendiri juga oleh keluarga. Bagi keluarga saya, bisa diterima di sebuah PTN itu bukan prestise sama sekali. Prestise adalah ketika saya bisa memahami dan menerapkan nilai-nilai agama dengan baik.

Kemarin, saya berkunjung di Surabaya, denga niatan mencari pondok pesantren. Tapi hasilnya nihil. Tidak ada pondok putri untuk saya. Hati saya masyghul. Bagi sebagian besar orang mungkin akan menjawab,” ya sudah, ngekost saja atau di asrama”. Tidak, tidak bisa begitu.

Tidak ngaji, tidak di pesantren berarti tidak kuliah. Keluarga saya memiliki tata nilai sendiri sehingga memiliki prioritas sendiri. Ngaji adalah prioritas, kuliah? Itu nomor kesekian.

Sampai saya menulis posting ini, saya belum membicarakan secara lebih lanjut hasil saya ke Surabaya kemarin. Saya masih galau, hampir pasti, keluarga saya akan memberatkan saya ke ITS.

Setelah meminta saran dari ‘seseorang’ akhirnya saya sampai pada kesimpulan : MANUT. Apapun kehendak keluarga saya, saya anggap itulah juga kehendak TUHAN. Dimanapun saya harus melanjutkan pendidikan, entah formal atau nonformal, itulah yang terbaik. Keluarga saya menyayangi saya, mereka akan memilihkan yang terbaik bagi saya.

Terima kasih Tuhan, telah menempatkan saya di keluarga HAROEN. Maafkan saya Tuhan, karena saya entah sadar atau tidak, seringkali mengingkari bahwa saya adalah Nada HAROEN.

bertolak belakang dari postingan saya sebelumnya, saya belum resmi, belum pasti, jadi mahasiswi ITS

Tuesday, 30 March 2010

Jaga diri dan Jaga prinsip

18:22 0 Comments
Tadi pagi saya menelepon Ibu saya, meminta ijin untuk pergi ke suatu universitas di Jogja bersama ‘seseorang’. Karena kakak saya sedang di Jakarta dan saya harus ke universitas itu maka saya minta ijin dulu ke Ibu untuk pergi dengan ‘seseorang’ tersebut.

Semula, Ibu mengijinkan karena memang alasan saya masuk akal, kakak saya yang kuliah di Jogja sedang di Jakarta. Ibu hanya menanyakan, apakah ‘seseorang’ itu tidak sibuk untuk mengantar saya? Saya jawab tidak, justru ‘seseorang’ itulah yang menawarkan untuk mengantar saya.

Seteah ijin didapat, saya langsung menelepon ‘seseorang’, dari suaranya dia tampak senang bisa mengantar saya, saya sendiri juga senang karena tidak sendirian. Kami memang sudah sepakat untuk tidak ‘kucing-kucingan’, tidak umpet-umpetan begitulah. Dan bagi ‘seseorang’ itu, ijin dari Ibu saya sudah merupakan langkah awal yang bagus.

Saat saya masih menelepon ‘seseorang’ itu, Ibu saya menelepon. Rupanya, Ibu berubah pikiran. Beliau berkata,
“Ibu pikir, kamu dan dia kan bukan muhrim, Nduk. Tidak baik itu. Meskipun masmu tidak ada, kamu bisa kan ke sana sendiri? Niat baik itu (niat untuk ndaftar kuliah) jangan sampai dikotori dengan maksiat. Jaga diri lah, Nduk. Sendiri ndak apa-apa kan?”

Saya berulang kali berkata tidak apa-apa, saya bisa sendiri.

Bagi sebagian orang, Ibu saya mungkin terlihat sangat kolot dan kaku. Semula saya juga agak kecewa dengan ditariknya ijin itu, tapi kemudian saya berpikir lagi, itu karena Ibu ingin menjaga saya.

Saya adalah seorang gadis. Saya harusnya mampu menjaga akhlak saya, saya harusnya mampu bertanggung jawab terhadap ‘jilbab’ yang sudah saya kenakan. Dan ini prinsip. Ibu saya orang yang teguh memegang prinsip, bukan orang yang kolot.

Maka sesungguhnya hanya ada tiga orang, orang yang berprinsip dan memegang teguh prinsip tersebut, orang yang berprinsip tapi mengabaikannya, dan orang yang tak berprinsip.

Siapapun anda, muslim, nasrani, hindu, budha, konghucu, yahudi saya yakin anda semua adalah orang yang baik selama anda meyakini sebuah prinsip dan memegang teguhnya.

Apapun prinsip anda, selama anda tidak mengusik prinsip orang lain, pertahankanlah. Dan semoga saya bisa menjadi seperti harapan Ibu, menjadi muslimah yang baik yang memegang prinsip.

Semoga bermanfaat.

Thursday, 18 March 2010

IF TOMORROW NEVER COMES

02:14 1 Comments
Saya mendengarkan lagu ini tiba-tiba saja. Tiba-tiba kepingin dan terlintas untuk menuliskannya. Kemudian ketika saya menajamkan telinga saya dan berusaha meresapi maknanya, saya trenyuh. Saya membayangkan ABAH menyanyikan lagu ini untuk Ibuk saat masih sugeng.

IF TOMORROW NEVER COMES
Sometimes late at night
I lie awake and watch you sleeping
You've lost in peaceful dreams
So I turn out the lights and lay there in the dark
And the thought crosses my mind
If I never wake up in the morning
Would you ever doubt the way I feel
About you in my heart
If tomorrow never comes
Would you know how much I loved you
Did I try in every way to show you every day
That you’re my only one
And if my time on earth were through
And you must face this world without me
Is the love I gave you in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes So I made a promise to myself
To say each day how much you mean to me
And avoid that circumstance where there's no second chance to tell you how I feel
If tomorrow never comes
Would you know how much I loved you
Did I try in every way to show you every day
That you’re my only one
And if my time on earth were through
And you must face this world without me
Is the love I gave you in the past
Gonna be enough to last
If tomorrow never comes
So tell that someone that you love
Just what you're thinking of
If tomorrow never comes

Di suatu malam
Aku berbaring terjaga dan memandangmu tidur
Kau telah terlelap dalam mimpi indah
Maka kupadamkan lampu dan berbaring di sana dalam gelap
Dan terlintas dalam anganku
Bila esok pagi aku tak bangun lagi
Akankah kau ragu akan perasaanku tentang dirimu?
Bila esok tak pernah tiba
Akankah kau tahu betapa aku mencintaimu?
Sudahkah aku setiap hari berusaha dengan segala cara untuk menunjukkan kepadamu bahwa kau adalah satu-satunya bagiku?
Dan bila waktuku di dunia telah berlalu
dan kau harus menghadapi dunia tanpa diriku
Apakah cinta yang kuberikan selama ini telah cukup untuk membuatmu bertahan?
Bila esok tak pernah tiba Maka aku berjanji kepada diriku sendiri
untuk setiap hari mengatakan betapa berartinya kau bagiku
dan menghindari tidak adanya kesempatan ke dua untuk mengatakan perasaanku kepadamu. Bila esok tak pernah tiba
Akankah kau tahu betapa aku mencintaimu?
Sudahkah aku setiap hari berusaha dengan segala cara untuk menunjukkan kepadamu bahwa kau adalah satu-satunya bagiku?
Dan bila waktuku di dunia telah berlalu
dan kau harus menghadapi dunia tanpa diriku
Apakah cinta yang kuberikan selama ini telah cukup untuk membuatmu bertahan?
Bila esok tak pernah tiba.Maka katakanlah kepada orang yang kau cintai
Apa yang sedang kau pikir(rasa)kan
Bila esok tak pernah tiba.

Abah, saya di sini mewakili Ibuk akan menjawab:
Ya, Abah. Cinta Abah sangat cukup untuk Ibuk bahkan sangat cukup hingga melimpah ke kami, putra-putri Abah.
Ibuk tak pernah meragukan perasaan Abah, Ibuk selalu setia untuk Abah. Bukti cinta Ibuk begitu nyata untuk Abah, nyatanya kami, yang menjadi prioritas Ibuk. Kami yang ditinggalkan Abah ini, menjadi bagian terpenting dalam hidup Ibuk sebagaimana Ibuk adalah bagian terpenting dalam hidup kami.
Meski mungkin Abah tak pernah berkata “I Love You” kepada Ibuk, Ibuk sadar betul itu sebagaimana Ibuk menyadari perasaan Ibuk ke Abah. Cinta itu, Abah, meski telah 13 tahun berlalu tak pernah mati. Abah tak pernah terganti, Abah selalu menempati posisi teratas di hati Ibuk, begitu juga di hati kami.

Cinta Ibuk kepada Abah yang begitu melimpah itu, membuat kami hidup penuh dengan cinta pula. Tanpa cinta Abah Ibuk, kami tak akan pernah ada, tak akan pernah mampu berdiri setegak ini, tak akan pernah mampu tersenyum semanis ini, dan tak akan pernah menyadari bahwa kekuatan cinta lah yang membuat kami terus tumbuh.

Ibuk bisa saja dan sangat mungkin untuk menikah lagi, tapi tidak. Ibuk telah memilih Abah dan tak memilih yang lain. Ibuk ingin kembali bertemu dengan Abah, menjadi pasangan yang abadi kelak di akhirat. Ibuk sangat mencintai Abah, karena itu Ibuk juga sangat mencintai anak-anak Abah, mencintai kami.

Dan kami yang hingga hari ini masih belum bisa berbuat apa-apa untuk membalas cinta Abah Ibuk, berkata:
KAMI MENCINTAI ABAH IBUK. WE LOVE BOTH OF YOU.

Jika esok tak tiba untuk kami, dan kami belum bisa membalas cinta itu dengan cinta yang sama besarnya, setidaknya hari ini kami telah mengungkapkannya.
Mata saya basah, saya rindu Ibuk, rindu Abah. Ingin rasanya saya pulang dan memeluk Ibuk, mengatakan betapa saya sangat mencintainya.

Monday, 23 November 2009

I Love Somebody

22:03 0 Comments
Saya mencintai seseorang, seseorang yang dekat dengan kehidupan saya. meski kami jarang mengatakan saling mencintai, saya tahu persis dia mencintai saya dan saya pun juga merasakan yang sama.

bahkan sering, saya merasa dia lebih mencintai saya daripada saya mencintainya. Namun, saya sering mengecewakannya. Saya sering membuatnya marah dan kecewa atas pilihan saya meski dia tak pernah berkata, "Nada, kamu sangat mengecewakan". percaya atau tidak, dia tidak pernah mengatakan hal itu kepada saya.

Dia adalah orang yang begitu memahami saya sejak dulu, dia selalu mengerti bagaimana menyikapi seorang Nada dan memberikan cinta dalam porsi yang pas, bahkan kadang lebih.

beberapa kali, bahkan dulu, tiap hari saya sering kesal padanya begitu pula dia. Saya merasa dia terlalu benyak membuat peraturan dan saya harus dibuat patuh. belakangan, saya baru sadar, itu semua karena dia mencintai saya dan tak ingin saya 'jatuh'. hanya terkadang kami saling tak memahami bahasa masing-masing.

dia mencintai saya tanpa tendensi apa-apa, dia tak pernah meminta apa-apa dari saya. dia ingin saya bahagia, itu saja.

sangking luar biasa rasa cintanya itu, sehingga saya kadang sulit memahami betapa kompleks rasa cintanya, betapa luar biasa kasih tulusnya.
betapa saya belum dapat membalas dengan cinta yang sebanding.

saya terlalu sering memikirkan apa yang saya sukai, bukan apa yang bisa membuat saya bahagia sekarang dan nanti, memikirkan sesuatu yang sungguh membuat dia bahagia pula. saya belum dapat mencintai dengan tulus, seperti dia mencintai saya selama ini.

mengapa saya bisa mencintainya adalah pertanyaan yang tidak sebanding dengan pertanyaan "Mengapa dia bisa begitu mencintai saya yang tidak pernah memberikan apa-apa?"

karena saya, adalah anaknya.
Karena dia adalah Ibu, wanita luar biasa yang berhasil membesarkan LIMA ANAK sendirian.
Karena dia adalah Ibu, wanita yang sangat berarti dan paling penting dalam hidup saya.
Ibu dengan tulus dan sepenuh hati saya katakan,
" SAYA MENCINTAIMU".

Friday, 26 June 2009

ZEBRA 2009

21:07 0 Comments

Hari Kamis dan Jum’at kemarin, tanggal 25 sampai 26 Juni 2009, saya dan keluarga besar dari Abah mengadakan acara ziaroh dan wisata keluarga. Tempat tujuannya adalah ziaroh di makam leluhur dari pihak Mbah Kakung, Mbah Asrori.

Sayangnya tidak semua bisa hadir, ada beberapa berhalangan. Dari keluarga saya sendiri, Mbak Widad, kakak sulung saya, tidak bisa ikut sebab sedang test pondok. Dari keluarga Bulik Sintho’, Dek Iza dan Dek Naja absen juga. Dari keluarga Lek Sa’id, Dek Lubaid nggak datang. Dari keluarga Lek Aqil, Blik Ivati, Tata dan Nabih yang tidak ikut. Kemudian dari keluarga Lek Kholil, Bulik Inay dan Khulail absen. Walaupun banyak yang tidak bisa hadir tapi peserta ( agak canggung menyebut peserta, serasa sedang lomba) cukup banyak, 38 orang. Itu baru dari Bani Asrori lho, belum termasuk sopir dan mertua Lek Ma’ruf yang ikut juga Mbah Karto yang kepincut ikut. Yang terakhir saya sebut ini, Mbah Karto adalah sepupu Mbah Ahmad. Mbah Ahmad adalah ayah dari Mbah Kholil. Pendek kata, Mbah Karto ini sepupu dari Mbah Buyut saya. WAW!!

ZEBRA- ziaroh wisata bani Asrori- ini dimulai dari ziaroh ke makam Mbah Asrori, Ayah dari Ahmad Haroen Asrori ( Alm) ayahanda saya, juga Mbah Ahmad Kakung Putri, Mbah Buyut saya. Setelah itu ZEBRA meluncur ke Salam Kanci ke makam Mbah Kholil, Mbah Canggah saya. Begitu istilah jawanya. Jadi Mbah Kholil ini adalah Mbah Buyutnya Abah saya. WAW kan!!

Lanjut acara ke Dilem, sowan ke tempat Mbah siapa, saya lupa namanya. Pokoknya sudah sepuh. Lanjut kemudian ke Makam Mbah Chasanah, kalau nggak salah nih. Mbah Chasanah ini adalah istri dari Mbah Kholil. Setulah itu kami, ZEBRA berlanjut ke Kalangan, ke makam Mbah juga. Tapi saya kurang paham, Mbah siapa.

Setelah urusan ziaroh di daerah Magelang ini beres, ZEBRA segara menuju Jogja, lebih tepatnya pantai Parang Tritis. Seru banget! Kita bisa puas main pasir, main ombak, sampai saya teles klebes, basah kuyup! Nggak lupa saya juga naik kuda lho, sendiri! Agak ngeri juga soalnya kudanya, beringas gitu deh. Hampir jatuh juga, untung selamat.

Selain foto-foto dan mengejar ombak, sunset juga cukup menarik. Kami baru hengkang dari bibir pantai setelah mentari benar-benar pulang. Samapai agak malam kami disini, sebab makan-makan dulu gitu deh sampai kenyang.

Setelah itu ZEBRA ke tempat Mbah Andi’. Mbah Andi’ ini adalah sepupu dari Mbah Rayi saya. Kami menginap disana. Makan malam dan makan pagi juga disana. Lumyan masakan enak, tidur pulas, silaturahmi jalan terus! Paginya, setelah sarapan dan ziaroh ke Mbah Mujab, suami dari Mbah Andi’, (Mbah Andi’ ini wanita lho ya. Jangan salah!) kam segera menuju taman pintar.

Saya dan banyak sepupu lain baru pertama kali ini ke Taman Pintar Jogjakarta. Lumayan juga. Bisa nambah ilmu pengetahuan. Banyak hal baru yang saya tahu, nyobain gempa, lihat simulator tsunami, dan yang paling seru nonton fiml 4D! Seru banget! Nyesel kalau ke Taman Pintar tapi nggak sempat nonton film 4D.

Abis itu, kami ke Gerjen di daerah Sleman. Silaturahim ke Pakde Asrori ( jangan bingung, nama Mbah saya juga Asrori. Tapi Asrori yang ini itu masih tunggal Canggah sama Abah saya) sekaligus ziaroh ke tempat orang tua dari Mbah Kholil, Mbah Canggah saya. Istilah jawa dari orang tua Mbah Canggah adalah Mbah Udhek-udhek siwur. Cukup aneh ya? Hehehe..

Perjalanan kami berakhir disini. Setelah dari Gerjen Kami segera kembali ke Magelang. Senang, dengan kebersamaan yang sangat menyenangkan ini sekaligus sedih karena kebersamaan ini akan segera berakhir.

Lek Ma’ruf, paman saya yang berdomisili di Surabaya, tidak menginap lagi. Setelah Maghrib Lek MA’ruf kembali ke Surabaya dan kakak saya, Mas Nabil Haroen, ikut, nunut sampai Kediri. Padahal, saya baru ketemu mas Nabil hari Kamis, Jumat sudah harus pisah. Saya masih kangen, tapi ya mau bagaimana lagi. Sekuat apappun saya menahan, air mata itu jatuh juga, bagi saya perpisahan memang selalu ngilu dan membuat saya semakin rindu pada pertemuan berikutnya.

SAMPAI JUMPA DI ZEBRA SELANJUTNYA!!

Sunday, 29 March 2009

Nasehat Abah

05:54 0 Comments

Siang tadi,sepulang sekolah,saya tidak langsung pulang tapi menuju Rumah Sakit Harapan yang terletak 150meter dari sekolah saya.

Saya kesana untuk menjenguk paman saya yang sudah seminggu dirawat di sana.
Saat saya menunggui paman saya itulah,saya akrab memanggilnya Lik Said,saya mendapat banyak cerita mengenai orang yang begitu saya sayangi dan rindukan namun saya tak punya waktu banyak untuk mengenalnya,ya orang yang diceritakan itulah abah saya.kakak sulung dari paman saya itu.

Cerita ngalor-ngidul itu begitu saya nikmati,cerita betapa 'cerdas'nya abah saya mengakali mbah saya.cerita betapa ayah saya selalu punya cara jitu mengambil hati orang,cerita mengenai ayah saya yang menjadi mahasiswa termuda di arab saudi dulu waktu beliau kuliah disana.cerita mengenai track recordnya yang begitu aneh,nyeleneh.paman saya memilih kata 'antik' untuk abah saya itu.

Siang tadi,saya serasa bertatap muka dengan abah kala muda.banyak orang yang mengenal abah saya,karena kesupelannya.bahkan paman saya mengatakan,hampir semua kyai di jawa,tahu nama abah saya.

Kisah-kisah abah saya yang begitu menarik itu,kapan-kapan mungkin akan saya bagi dengan anda,didapat paman saya justru dari orang lain.Abah tidak suka mengumbar 'keunikan' dirinya,orang lainlah yang mengabarkannya.
Satu hal penting yang saya pelajari dan menjadi inti catatan ini adalah abah tetap dikenang.
Saya berandai-andai,semisal abah masih sugeng,mungkin saya akan lebih dikenali oleh sanak family(bukan berarti saya sekarang tidak mengenal siapa-siapa).
"Owalalah!putrane pak harun temanggung to?"

Mungkin jika abah saya masih ada,sepak terjangnya akan lebih banyak,lebih dikenal.
Lalu saya,sebagai anak,akan ikut pula dikenal.ndompleng.
Tapi tidak,abah telah tiada.abah memang begitu di kenal,tapi tak lantas mewariskan 'ke-terkenal-an' kepada kami,anak-anaknya begitu saja.

Satu hal penting yang saya sadari,abah ingin kami dikenal karena kami sendiri.bukan karena nama Haroen yang melekat di belakang nama kami.Seperti abah yang dikenal karena Haroen,bukan Asrori(nama kakek saya),meski nama abah saya jelas,Ahmad Haroen Asrori.

Ah,saya merindukannya lagi.
Terima kasih Abah,,
Untuk semua yang kau ajarkan dengan perlahan meski kami tak lagi mampu mendekapmu. . .

IBU, AKU mencintaimu

05:09 0 Comments

Hari ini saya pulang ke Temanggung,setelah hampir 20 hari saya tidak menginjak rumah.

Di bus,kebetulan saya duduk di samping seorang ibu yang membawa beberapa ember besar yang ditumpuk. Ibu itu menyapa saya ramah,"Turun mana mbak?".
Saya pun menjawab dengan ramah pula. Sebentar kemudian, tercium bau amis dari ember-ember itu. Saya lantas sadar, ibu tadi adalah seorang penjual ikan. Kemudian saya bertanya,"Berjualan dimana, Bu?".
Saya pikir, paling juga di daerah magelang. Karena itu saya mengajukan pertanyaan dengan agak basa-basi.
Tapi jawaban ibu tadi,di luar dugaan saya. Ibu itu mengaku berjualan di Jogja.bayangkan!Jogja!
Padahal rumahnya ada di Secang. Jarak jogja-secang mungkin sekitar 50 hingga 60 km.
Saya mulai tertarik lantas bertanya lagi,"Jam berapa Ibu berangkat dari rumah?".
"Setengah satu mbak", ibu itu menjawab dengan enteng.
Giliran saya yang geleng-geleng. Ibu itu lalu bercerita kesehariannya,bangun jam 12,sholat,berangkat, mengambil ikan di pasar induk lalu berangkat ke jogja jam 4 pagi.
Jualannya pun harus habis. Kalau belum habis, belum pulang.

Entah karena saya yang melankolis atau apa, saya trenyuh mendengarnya. Saya bandingkan dengan saya yang baru menghadapi soal fisika saja sudah mengeluh habis-habisan, ibu itu masih bisa menyediakan senyum tulus untuk saya meski menghadapi 'soal' yang lebih pelik.

Berbicara tentang ibu,pikiran saya langsung melayang ke ibu saya sendiri.
Apalagi saat itu saya dalam perjalanan pulang.

Saya membayangkan betapa beratnya hidup ibu yang harus menghidupi 5 nyawa dan nyawanya sendiri seorang diri sejak abah meninggal.

Saya tak berniat mengajak anda ikut seperti ibu, tidak. Yang ingin saya renungi adalah betapa 'bejat'nya saya selama ini.

Selama saya di magelang, saat saya pulang seolah tujuannya adalah meminta sangu. Walaupun saya pulang juga karena rindu. Tapi seolah-olah saya pulang ketika saya butuh saja.
Sekarang, frekuensi pulang saya makin berkurang sejak saya punya rekening bank sendiri. Ibu mentransfer 'bulanan' saya dengan lebih mudah.

Saya merasa begitu berdosa, saya tak pernah bisa pulang saat ibu membutuhkan saya, saya tak pernah mengucapkan terima kasih yang tulus untuk ibu. Saya juga tak pernah meminta maaf atas kebejatan saya itu.

Saya lantas ingat, setiap saya pulang dan keesokan harinya berangkat sekolah dari rumah, pagi-pagi benar ibu sudah bangun. Tanpa saya minta, ibu sudah menyiapkan air panas untuk mandi (air ngadirejo di pagi hari dinginnya seperti es).ibu juga menyiapkan sarapan untuk saya. Ibu melakukan semua itu dengan senang hati, seolah kebutuhan ibu bukan kebutuhan saya.

Saya kemudian mengingat apa yang sudah saya perbuat untuk ibu dalam usia yang hampir 17 ini. Tidak ada,tidak ada yang berarti yang saya lakukan untuk ibu. Saya tak mampu berbakti kepada ibu setulus ibu mencintai saya.
Ya, cinta.
Saat saya menulis note ini,tahu-tahu mata saya basah.
Saya rindu ibu, wanita yang mengandung saya, melahirkan saya, mengajari saya hidup, mencintai saya dengan tulus, berkorban demi kebahagian saya, dan berjuang keras demi saya dan saudara-saudara saya.

Temanggung pun hujan, basah.
Sebasah pipi saya,
Yang merindukan ibu lebih dari biasanya.

Hendak saya cium nanti kaki beliau, saya akan meminta maaf. Saya akan berterima kasih. . .
Nanti sesampai di rumah. . . .


Allahummaghfirly waliwa lidayya warhamhuma kama robbayani soghira. . . .


Setelah anda membaca tulisan ini, silahkan peluk ibu anda, sebelum anda terlambat.
Atau setidaknya ucapkanlah terima kasih atas cintanya yang begitu luar biasa. . .

Sunday, 6 January 2008

alone.........

00:14 0 Comments
raport udah di bagi....
liburan udah dimulai....
tapi duka ternyata tetap mengikuti....
kamis kemarin, tangal 3 januari 2008, jam 21.30..
d' faza meninggalkan kami semua..
sepupuQ yang telah berada dalam ketidakmampuan, ketidakberdayaan,sakit dan perih, berjuang melawan penyakit selama 13 bulan...
13 BULAN....

aku nggak tahu harus ngasih komentar apalagi...
d' faza adalah sepupuQ yang udah gede...
putri bulik sintho' yang ke dua, usianya baru 21 tahun..
sangat muda dan tampan..
aku nggak tahu kenap secepat itu dia pergi..
moga aja dia tenang disana..
moga aja dia bahagia karena telah terlepas dari lara.....
de'...
kami semua nggak akan melupakanmu..
kami semua menyayangimu..
sampai kapanpun....