Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Monday, 15 January 2018

It's her

11:09 0 Comments
It's her, Mom.

I know it sounds silly. For the first time and even until now. I know, you might be hesitant. I and she are too much look alike. We are strong-headed, with strong personality. She is so independent, high-achiever and alpha-female. Yet, it is her, Mom.

Not only you, everyone around me keep asking how could I bare to stand her fierceness. She is simply too independent in some sense. She looks like a leader whom I should say yes, not because she wants me, but because she is always right. She will interrupt me and get me in a way she want me to be. She will take action and lead the way. She doesn't need any thing to stand still and strong. She makes plan for high achievement and sticks by it. She will cuss anything that meddle her way without mercy. In short, she looks a like dictator. No man should approach her without being killed, or at least injured by her fierceness. Yet, it's her, Mom.

She has very strong appearance. She knows how to act strong and sticks with it. She always shines and make her way to the top. She is so full of herself. She knows nothing about the outside world, nor she even care. She closes her ears from the outside, never listen to anyone. How could anyone even imagine to spend the rest of his life with her? Yet, it's her, Mom.

It's her, because I know her. I know that she knows how and WHEN to act strong. I know that she is actually fragile, and needy, and soft, and very passionate about the one she cares about. I know that she loves to be nurtured, I know that she will sacrifice her life for the values she believe in. And I know, Mom, how valuable I am for her.

People see her image, but I understand her values. People see her acts, but I know why she made those acts. She doesn't feel the need to make the whole world to understand, she only wants me understand. And for here, that's the whole world.

So yeah, it's her.

For now. Forever.


Friday, 13 December 2013

Taman

05:10 0 Comments
Keukenhof, sebuah tempat yang kamu janjikan. Sebuah tempat yang katamu selalu membuat kamu terlepas dari dimensi waktu. Tempat di mana kamu selalu merasa tak ada yang lain selain keindahan dan kedamaian. Sebuah tempat di mana bunga-bunga mekar begitu indahnya.

Kamu selalu ingin membawaku ke taman-taman indah di seluruh dunia, seperti Keukenhof itu. Karena itu tak lelahnya kamu bekerja, mengumpulkan uang yang kamu rasa tak pernah cukup untuk bisa membawaku melihat taman-taman indah itu. Kamu merasa cara mencintai terbaik adalah dengan menunjukkannya semaksimal yang kamu mampu, dengan membawaku ke taman yang kamu puja itu.

Hingga akhirnya kamu terbaring di sini, sekarang, kelelahan dan sakit. Menatapku dengan pandangan sesal dan air mata yang kamu tahan. Karena itu, dengarlah sayang, sekali ini saja.

Cinta bukan soal ke mana kamu bisa membawaku, tapi soal di mana saja kamu bisa bersamaku. Cinta bukan soal sebagus apa rumah yang kamu bangun untukku, tapi seberapa mampu kita menjadi rumah bagi satu sama lain. Cinta soal menerima satu sama lain apa adanya dan merasa bahagia.

Kamu tak perlu membawaku ke mana-mana sayang, keberadaanmu sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasakan kembali perasaan indah yang sejak pertama kali bertemu gagal kita terjemahkan itu. Kamu, dengan caramu yang sederhana saja, membuatku selalu bersyukur kita bersama.

Cinta bukan bagaimana kamu membahagiakanku atau aku membahagiakanmu, cinta adalah kita sama-sama merasa bahagia, sayang. Cinta bukan kehilangan waktu untuk membahagiakan yang lain, cinta adalah merasa bahagia ketika menghabiskan waktu bersama.

Jadi sayang, tak perlu lagi kau kejar Keukenhof, taman sejuta bunga yang katamu akan membuatku bahagia. Cukup nikmati senja berdua denganku, di teras rumah kita. Menikmati bunga-bunga yang sedang bermekaran di taman kecil kita. Memang jumlahnya terbilang hitungan jari, namun bukankah waktu bersamalah yang tak bisa kita beli?

Berjanjilah sayang, selepas kau sembuh nanti, kau akan mencintaiku dengan sederhana. Karena aku pun, mencintaimu apa adanya dan itu sudah sangat membuatku bahagia. Berjanjilah sayang, kita akan menghabiskan waktu berdua, tak perlu ke mana-mana. Cukup di taman depan rumah kita sambil menikmati sajak yang pernah kamu bacakan untukku.



Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding perdamaian
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang
Kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan pendek ini, saya bacakan saat Festival Seni Surabaya akhir November lalu. Terinspirasi dari puisi di atas. Taman - Chairil Anwar.

Saturday, 2 February 2013

Dalam Pikir Perempuan. Dalam Hati Lelaki

08:31 3 Comments

Seringkali aku gagal membaca isyarat. Aku tak pandai menerjemahkan tanda yang tersirat. Aku tak mahir memahami tanda-tanda alam. Aku tak bisa mengerti kamu yang duduk disampingku namun diam. Mengapa para wanita harus begitu mengagungkan perasaan? Tak sadarkah mereka bagi kami itu adalah beban?

Seringkali aku tak bisa menyelaraskan hati dan pikiran. Aku tak pandai membahasakan dengan terus terang. Aku tak mahir memberikan tanda yang mudah terbaca. Aku tak bisa mengerti kamu yang begitu patuh pada logika. Mengapa para lelaki harus begitu kaku dengan logika? Tak sadarkah mereka itu membuat sikap mereka kepada kami menjadi tidak peka?

Aku sudah lelah menebak. Diammu selalu menjebak. Kukira ini karena aku telat datang, seperti hari lalu. Tapi bukankah ini belum lewat dari perjanjian kita yaitu pukul tujuh? Aku sudah memberikan penjelasan yang rinci. Aku sudah berusaha berkata tanpa menutup-nutupi. Kamu tetap tegak dalam diam dan sepi. Aku benci.

Aku sudah lelah diacuhkan. Sikapmu tiap kali aku diam selalu menjemukan. Kamu selalu gagal dengan segala tebakan dan aku terlalu letih untuk menjelaskan. Aku memahamimu kemarin karena datang terlambat, tapi hingga seharian kau berkabar pun tak sempat, emosiku berlipat. Kamu tetap tak menyadari, seolah itu bukan sesuatu yang berarti. Aku benci.

Aku diam.

Aku diam.

Diam selalu memberiku waktu lebih bernapas. Merasakan oksigen itu menembus paru-paru hingga meresap ke hati. Ada sejuk dalam sesak. Batinku bergejolak. Benarkah ia sepenuhnya tak tertebak? Benarkah ia tak bisa dipahami? Ini adalah jeda untuk memahami diri sendiri.

Diam selalu memberiku waktu merenung dan berpikir. Merasakan otakku yang nyaris dikomposisi oleh air. Apakah aku pantas marah karena ini semua terasa getir? Apakah hanya karena seharian tak berkabar, cintanya padaku tak lagi bergulir. Ini adalah ruang untukku berpikir.

Aku menoleh. Matanya basah. Namun senyumnya merekah.

Aku menoleh. Wajahnya nampak menyesal dan bersalah. Ia merengkuh namun tak mengeluh.

“Sayang, aku begitu sedih setiap kali kamu menangis. Aku merasa bersalah tapi tak tahu apa yang membuatmu begitu miris. Aku gagal memahamimu untuk kesekian kali. Lelaki yang tak peka ini, selalu gagal menunjukkan mencintai. Maafkan Aku”.

“Sayang. Perempuan selalu gagu dan merasa perlu menjaga diri untuk berterus terang hingga akhirnya hati sendiri menjadi korban. Harusnya aku bicara. Aku tak bisa diacuhkan seharian. Sayang, aku ingin perhatian. Sayang, maaf aku telah diam”.

Kami kemudian menyadari. Cinta tak hanya soal menyukai, tapi juga menerima kurang dan lebih, belajar memahami tanpa pernah letih, selalu bertahan dalam senang dan sedih. Cinta adalah menjadi manusia dengan hati saling berbagi namun akal tetap dijaga, tak peduli betapa menyebalkan orang yang kau cinta begitu ia tak ada hampa yang dirasa. Cinta adalah menerima dan berbagi. Menerima kelemahannya dan berbagi kelebihan kita.

Kami masih saling jatuh cinta. Terima kasih Tuhan Yang Maha Luar Biasa.

Saturday, 27 November 2010

pisau bermata tiga

08:07 6 Comments
Ibarat pisau, kamu adalah pisau bermata tiga. Kamu adalah pisau yang—kalau pisau biasa dua dimensi bisa mencacah segala benda pada dimensi tiga—bisa mencacah 4 dimensi. Kamu menebas waktu, melipat jarak. Kamu membuat apa yang aku rasakan— jika dihitung secara matematis telah berjalan selama setahun ini—terasa secepat kilat

Tidak, kamu tidak punya ilmu kanuragan atau lipat bumi. Kamu Cuma punya satu, kekuatan mencintai yang tulus dari hati. Kamu mencintai dirimu, mencintai kawanmu, mencintai keluargamu, mencintai hidupmu dengan penuh kekuatan. Kekuatan yang entah bagaimana tidak sampai padaku, atau jika sampai pun tidak pernah berhasil mencacahku. Membagiku menjadi aku yang mencintai kamu dan aku yang membencimu. Aku tetap utuh, aku yang tak bisa membencimu barang sedetik, barang setitik.

Pendekatanku sejauh ini adalah pengamatan, mengintai dari balik buku yang pura-pura kubaca, memindai dari balik layar gadget jinjing yang kubawa kemana-mana dan paling jauh berusaha mendekat dalam batasan radius tertentu. Berharap ada suara merdu yang singgah ke telingaku meski suara itu tak sekalipun menyebut namaku.

Kupikir, ini salahku, aku ingin kau berhasil membagiku tapi aku tak pernah membiarkan diriku mengenalmu. Mengenal kurangmu, menilai lebihmu dan menerima keduanya dengan senyum yang sama. Tunggu, atau aku sudah tahu keduanya namun menyeragamkannya?

Ini gawat, aku mulai buta, aku mulai tak bisa melihat mana kamu yang hebat, mana kamu yang cacat. Aku Cuma melihat satu, kamu yang selalu punya porsi senyum yang tepat, takaran suara yang membuat aku berhenti berdebat dan gerak selincah tupai. Cukup kamu sekelebat dan aku tak akan bisa tidur semalaman.

Kamu yang kupuja, kamu yang mengajariku mencinta, kamu yang kucinta, kamu punya senyum semanis kismis, maukah kamu mengenalku dan menaikanku satu level dari pemuja rahasia menuju kawan sebaya?

Itu saja sudah cukup membuatku bahagia. 

alih-alih menulis tugas paper, saya malah mulai menulis fiksi ^^

menempatkan diri sebagai pemuja rahasia, dan membahasakannya. ah, saya sudah terlalu lama tak ngeblog.. *mulai ngelantur*

Sunday, 11 July 2010

CINTA SENDIRI

00:42 0 Comments

hal paling buruk ketika kamu jatuh cinta adalah kamu tidak bisa lupa. kamu tidak bisa lupa senyumnya, kamu seolah mendengar suaranya, kamu seperti melihat tatapannya. kamu seperti ada disampingnya, padahal DIA TIDAK ADA.

kalian terpisah jarak. dan hatimu menjadi barak, tempat pengungsian bagi jiwamu yang nelangsa dan luka.

kamu luka, karena ternyata selama ini hanya kamu yang tidak bisa lupa, hanya kamu yang tak bisa tertawa dengan benar-benar bahagia, kamu yang tak bisa mandiri bahkan dalam pikiran, kamu yang sudah teradiksi olehnya.

sedangkan dia ternyata baik-baik saja. dia bahkan lupa kapan terakhir mengingatmu. dia tidak pernah sekalipun menghitung kebersamaan yang coba kamu bangun.

kamu tahu karena kamu merasakan dia tidak merasakan apa yang kamu rasakan. kamu sadar, namamu bahkan tak masuk dalam contactlistnya apalagi hatinya.

kamu sendirian dalam perasaan yang kamu agungkan tapi bodohnya kamu tidak merasa kesepian. perasaan ngilumulah yang menjadi kawan dan itu justru membuatmu jatuh semakin dalam.

maka jarak yang terbentang tak lagi hanya bicara soal geografis, tapi juga intuisi. perasaanmu menuju hatinya, tapi hatinya bahkan menolehpun tidak ke hatimu.

kamu sakit, kamu menangis tapi kamu tidak mau berhenti mencintai. sebab, perasaan ngilumu meyakinkanmu bahwa suatu hari dia akan tahu bahwa menyia-nyiakanmu adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. suatu hari dia akan menjemputmu untuk akhir yang bahagia.

sampai hari itu tiba, jika kamu tak bisa melepas belenggu rasa, kamu tak akan pernah bisa kemana-mana.

Sunday, 20 June 2010

Tuan Muda

19:32 3 Comments
Mari kita telisik lagi langkah-langkah kita, Tuan Muda. Sudah sejauh manakah saya dan anda mencuri dan dicuri? Sudah sejauh manakah saya dan anda saling mengerti dan memahami? Ah, saya perlu menghela napas panjang sebelum mengurai kisah kita ini.

Banyak yang berkata, kisah kita ini baru seumur jagung. Jika seumur jagung artinya tidak akan lama, saya jelas menolak Tuan Muda. Biji-bijian jagung justru biji-bijian yang dapat bertahan lama, tidak cepat membusuk. Jelas jagung akan berumur lebih panjang daripada semangka atau mangga, misalnya. Tapi tetap, orang-orang mengatakan kisah kita seumur jagung.

Saya akui Tuan Muda, kisah kita ini memang tidak seperti semangka atau mangga yang manis. Sebab, tidak pernah ada sesuatu yang romantis. Setiap kali saya berusaha menciptakan suasana romantis, Tuan Muda selalu berujar,”Ah, kamu ini melankolis”. Dan runtuhlah usaha saya menjadi gerimis.

Gerimis itu membasahi hati saya, membuatnya becek dan lembek, tapi saya suka sebab dengan becek dan lembek itulah biji-bijian yang saya tanam akan berkecambah dan tumbuh. Tapi tidak demikian dengan Tuan Muda. Tuan Muda adalah pagar besi, yang kokoh dan tinggi, yang akan berkarat jika terus digerus gerimis. Sebab itu, Tuan Muda selalu berkata,”Saya tidak suka semua yang melankolis”.

Ya, memang banyak sekali yang saya sukai namun Tuan Muda benci. Tak terhitung lagi apa yang Tuan Muda pahami dan tekuni namun saya tidak kunjung mengerti. Bahkan untuk urusan hati, kita juga berbeda. Tuan Muda menyukai Nona Muda yaitu saya, dan saya malah menyukai Tuan Muda. Sungguh berbeda bukan? Tapi itulah yang akhirnya membawa kita kepada kisah ini. Kisah yang akan kita telisik ini..

Saat awal kita bersua, saya ingat betul Tuan Muda begitu humoris bahkan sesekali romantis. Pesan-pesan Tuan Muda penuh canda dan berhasil membuat saya sesekali tertawa. sampai satu waktu Tuan Muda berbicara dengan nada yang berbeda, “Saya ini sesungguhnya tidak humoris, tidak romantis, tidak banyak basa-basi, tidak banyak bicara”.

Begitulah Tuan Muda, sejak hari itu Tuan Muda benar-benar menjadi diri Tuan Muda sendiri. Tapi saya tidak lantas membenci, saya akhirnya sampai pada titik pemahaman, laki-laki yang menyenangkan—humoris, romantis, pintar, berwawasan luas, bertanggung jawab—tidak selalu satu paket. Sebab sebagaimana manusia, laki-laki jelas makhluk yang tidak sempurna. Mereka punya sesuatu yang di mata perempuan dianggap kekurangan, seperti ya hal-hal yang saya sebutkan tadi.

Titik pemahaman itulah yang seperti Tuan Muda katakan kepada saya,”Saya menerima kamu apa adanya. Lebihmu dan kurangmu”. Saya tentu sejuk mendengarnya. Saya tidak perlu menjadi sempurna, saya hanya perlu dan harus menjadi diri saya apa adanya.

Kita adalah manusia biasa, yang sering disebut tempat salah dan lupa. Sesekali Tuan Muda berbuat sesuatu yang menurut saya salah dan saya demikian juga. Dan sering kita lupa bahwa kita bukanlah makhluk yang sempurna. Disinilah Tuan Muda, pemahaman kita satu sama lain terus diuji. Sampai pada batas mana kita bertoleransi dan mengerti?

Termasuk mengerti tanpa berkomunikasi, berkata tanpa bicara, bersua tanpa tatap muka. Saya harus benar-benar menimbang kekuatan saya Tuan Muda, untuk bertahan dalam hubungan yang Tuan Muda sebut,”Cinta Platonik”.

Saya lebih suka menyebutnya,”Long Distance Relationship”.

Sekali lagi Tuan Muda, saya bertanya, seberapa yakinkah Tuan Muda akan kekuatan Platonik itu?

Saya jelas tidak menunggu Tuan Muda, saya menunggu dan menjalani waktu yang kelak akan mengantarkan Tuan Muda kembali ke hadapan saya sembari membawakan saya seikat bunga lily.

Wednesday, 16 December 2009

jembatan semanggi

04:37 0 Comments

saat itu gelap, senja belum lama berakhir. mendadak ada deru diiringi desingan peluru ke segala penjuru. entah mengenai siapa, entah dari mulut senapan siapa yang pasti ada beberapa yang bersarang di tubuh para mahasiswa. seolah mereka adalah musuh, seolah mereka lebih busuk dari para koruptor, setelah puas menembaki, para penembak itu memekikkan nyanyian kemenangan di antara mayat-mayat mahasiswa.

adegan itu membekas kuat di otakku. Aku merasa aku ikut hadir di jembatan Semanggi dan dapat merasakan kebengisan para penembak itu meski aku hanya menyaksikan dari sebuah sinema dokumenter. Ada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang mengatasnamakan keamanan dan ketidakadilan itu hingga hari ini masih terus dipertahankan. sebuah ironi yang harus kita tanyakan bersama, ada apa? apa nurani sudah mati?

ditulis sebagai paragraf inspirasi sebuah cerpen. :)

Thursday, 3 September 2009

surat seorang pemuda

03:24 1 Comments
Semula, aku tidak begitu peduli padamu. Bahkan, untuk tahu siapa namamu aku tak tergerak sama sekali. Dimataku, kamu tak ubahnya seperti gadis lain, cerewet, cuka mencari perhatian dan manja. Satu lagi, kamu keras kepala. Pertemuan pertama kita membuatku langsung membuatku menilai begitu padamu. Gerak-gerikmu yang lincah dan kenes membuatku sedikit muak. Sedikit saja sebab ternyata pada pertemuan berikutnya aku merasa muak jika aku tidak melihat gerak-gerikmu itu.
Jujur, kamu sangat menyebalkan. Kamu adalah gadis keras kepala yang selalu membuatku beradu argument. Kamu selalu merasa kamulah yang paling benar, kamulah yang paling mengetahui seolah kamu adalah yang paling bijaksana. Ini membuat harga diriku sebagai lelaki terusik. Kamu selalu saja menganggapku tak pernah bisa apa-apa. Kamu memang begitu menyebalkan, kamu selalu mencari kesalahan-kesalahanku. Namun, di saat yang sama kamu adalah satu-satunya yang membuatku berusaha dan merasa berarti. Kamu selalu menyajikan sajak-sajak dari lapak kata-katamu sehabis kita beradu argument dan jujur saja, itu yang membuatku jatuh berkali-kali.
Kamu orang yang sangat keras kepala sekaligus lembut, kamu tidak pernah mau mengakui suatu hal secara terang-terangan di hadapanku. Semua kau buat berbelit-belit dulu, baru setelah aku lelah kamu tersenyum nyengir dan membuatku gemas. Kamu selalu membuatku kehilangan kata-kata setiap mendengar kata tolong dan terima kasih dari bibirmu. Kamu selalu meluruhkan pertahananku terhadap kamu. Kamu selalu begitu dan selalu kamu yang begitu kepadaku.
Hal menyebalkan lain adalah, kamu sangat cuek. Kamu tidak peduli aku berkata jilbabmu norak, atau suaramu cempreng. Kamu terus saja asyik menulis saat aku bilang kamu tidak peduli dan egois. Kamu, kamu, kamu benar-benar m embuatku lelah. Bahkan, saat aku bilang kamu begitu menarik kamu hanya menatapku tanpa ekspresi apa-apa. Sulit, sulit sekali mencuri perhatianmu. Kadang, jika sedang beruntung aku mendapat senyummu.
Satu hal yang membuatku terus menjagamu dalam benakku adalah kenyataan bahwa kamu adalah gadis biasa saja yang mampu membuat intelegensiaku mendadak hilang saat kita beradu pandang. Kamu adalah gadis biasa yang luar biasa, yang memberiku semacam transfer semangat spontan di saat kita bersua.
Sayangnya, sebelum aku sempat mengatakan semua itu, kau terburu-buru pergi. Sebelum aku mengkhitbahmu, kau sudah tak sabar menjadi bidadari surga. Aku yakin, kau menungguku di sana bukan? Aku yakin sebab catatan terakhir yang kau bubuhkan dalam secarik kertas lusuh di ujung senja itu yang bertuliskan ”Di dekatmu, membuatku merasa aman. Mendengarmu, hidup menjadi lebih ringan. Bersamamu, aku yakin kau akan membawaku menuju Jannah-Nya”
Sayangnya, kau terlalu terburu-buru menemuinya..
sang pemuda meninggalkan surat ini diatas makam sang gadis. tepat, 10 hari sebelum mereka menikah

Saturday, 29 August 2009

blog yang kosong

02:09 0 Comments
Akhir-akhir ini, dua blog saya, satu di blogspot dan akun multiply ini agak jarang saya urusi. Maaf untuk yang membuka dan kecewa karena isinya belum juga berubah. Sebenarnya, ini gara-gara facebook. Haduuh.. mlah nyalahin yang lain ya..
Jadi begini, saya merasa kalu saya memposting tulisan di facebook ,akan lebih banyak di baca orang daripada saya post di blog. Buktinya jelas, cerpen-cerpen saya langsung disambut dengan antusias. Berbeda sekali dengan blog dan multiply. Sepi..
Salah saya juga sih, kurang pandai mencari relasi di dunia maya. Tapi semoga, dengan ke-intens-an yang bertambah, begitu juga teman saya bertambah di dunia maya ini.
Soal facebook, saya merasa sangat banyak manfaatnya untuk saya. Bagaimana tidak, lewat facebook, tulisan-tulisan saya akhirnya dapat dibaca oleh sastrawan-sastrawan tanah air. Gimana nggak ‘bangga’ tuh..
Awal mula dari kisah ini begini. Saya memiliki sosok seorang idola, Gus Mus. Sosok kiai yang sangat mengayomi dan menjadi panutan. Oleh beliau, saya disarankan untuk membagi tulisan-tulisan saya di facebook agar bisa dinilai oleh orang lain dan tahu, sejauh mana kualitas tulisan saya.

Saya manut, akhirnya, cerpen saya yang berjudul ‘SURAT’ saya posting. Tak ketinggalan, Gus Mus ( akun facebooknya SIMBAH KAKUNG) juga saya tag. Sambutan yang saya terima lumayan, komentar-komentar atas cerpen saya itu membuat saya tambah semangat saja. Tapi, saya tunggu-tunggu komentar dari Gus Mus kok nggak ada.
Paginya saya terkejut ketika melihat notifikasi. Ternyata Gus Mus me-repost tulisan saya itu dan men-tag sastrawan-sastrawan seperti Sitok Srengenge dan Timur Sinar Suprabana. Air mata saya mengalir. Antara bahagia dan haru. Saya tidak menyangka Gus Mus sepeduli itu terhadap saya. Saya menjadi semakin mengidolakan beliau. Terima kasih, Simbah Kakung..

Sunday, 29 March 2009

Soleh dan Ratri

05:34 0 Comments


Aku berjalan mengendap-ngendap, sambil sesekali melirik kanan-kiri untuk memastikan tidak ada yang melihatku. Tidak Ibu, tidak juga Bapak. Begitu yakin kondisi aman, aku membuka pintu belakang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan derit yang bisa menyadarkan Bapak dan Ibu bahwa aku keluar malam ini. Kalau mereka sampai tahu, aku bisa dihukum semalaman penuh.

Sudah jadi ketentuan bahwa selepas maghrib aku dan adik-adikku tidak boleh keluar rumah. Mengaji selepas maghrib kemudian belajar hingga isya'. Setelah itu kami harus sholat berjamaah dan kemudian belajar kembali. Itu rutinitas wajib yang sudah tidak boleh ditawar lagi. Namun, ada pengecualian. Malam jum'at kami dibebaskan dari rutinitas mengaji sebab bapak dan ibu punya acara mengaji sendiri dengan orang kampung lain yang berdatangan di rumah kami. Bapakku memang seorang yang alim, mengetahui persoalan agama lebih dibanding warga kampung yang lain. Sebab dulu bapak pernah mengaji di Jombang selama 7 tahun, di tempat Gus Dur pernah dilahirkan, begitu kata Bapakku. Disana pula bapak bertemu Ibu yang kala itu baru mondok 4 tahun. Mereka bertemu jatuh cinta, menikah, lalu lahirlah aku dan adik-adikku.

Karena bapak menganggap mengaji sangat penting, kami tidak pernah bisa luput dari kewajiban mengaji. Kami pun tidak boleh berkeliaran sesuka kami pada malam hari, seperti anak kampung yang lain. Apalagi di malam hari begini. Karena itu, malam ini aku sangat berhati-hati agar Bapak tidak tahu aku sedang berusaha keluar.

"Krompyaaaang!!", tidak sengaja aku menginjak piring di dapur. Karena aku tidak menyalakan lampu maka aku tidak melihat benda-benda disekelilingku. Jantungku sudah ketar-ketir, takut ketahuan Bapak. Apalagi setelah itu terdengar langkah kaki Bapak menuju dapur.

Kurang tiga langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara kucing yang entah dimana asalnya, aku juga tak melihat karena dapur malam itu gelap sekali.
"Meaoow…"
"Oalah, Kucing kok, Bu," kata bapak sambil berbalik langkah. Aku lega sekali. Hampir saja bapak tahu. Untung ada kucing penyelamat itu sehingga Bapak urung masuk dapur.
Tak ingin nyaris ketahuan lagi, sekarang aku berjalan lebih hati-hati menuju pintu dapur yang menghubungkan dengan kebun milik Mbah Tejo. Kali ini aku berhasil keluar dengan selamat.

Saat aku sampai diluar, terlihat Ratri sudah menungguku gelisah. Begitu melihatku dia langsung bersorak tanpa suara.

"Ayo cepet! Lenggere hampir main!," bisik Ratri kepadaku.
"Iya, Iya. Ini juga sudah aku usahakan cepet," jawabku.

Segera kami berlari menuju lapangan kampung. Disana sedang ada pertunjukan kuda lumping yang biasa disebut jaran kepang. Jaran kepang di daerahku terdiri dari penari pria yang menari diatas kuda-kudaan yang dianyam dari bambu. Setelah menari sekitar 15 menit, tubuh para penari akan dimasuki roh dan mulai menari dengan tidak beraturan bahkan kadang makan ayam dan beling. Konon, yang makan ayam dan beling tersebut bukanlah para penari namun Arwah yang merasuki mereka. Jadi para penari itu aman-aman saja memakan ayam hidup ataupun beling tadi.

Selain para penari yang kesurupan itu ada pula penari yang tidak kesurupan. Para penari yang tidak kesurupan ini lazim disebut lengger dan Ratri suka sekali melihat lengger beraksi, sedangkan aku suka sekali mendengar Ratri bercerita tentang lengger.

Dari cerita Ratrilah, aku melihat gerakan para penari yang rancak dengan riasan yang tebal dan mendengar alunan pengiring yaitu tembang jawa dengan irama yang mengehentak. Mereka menari dengan serempak dan penuh semangat. Sesekali sambil bercerita Ratri mempraktekan tarian para pemain lengger itu membuat ceritanya semakin hidup saja. Pertama, dia akan berjalan seolah sedang menunggang kuda lumping lalu berjalan berputar sambil memainkan pecut. Tangannya naik turun dengan gaya orang yang sedang mengawasi. Lalu kuda lumping yang dikenakan dilepas lalu dipegang dan digerak-gerakkan ke kanan dan ke kiri. Setelah itu dia akan bercerita dengan bahasanya yang begitu memukau tentang lengger. Aku betul-betul kagum dibuatnya.

Ratri sudah berkali-kali melihat jaran kepang dan lengger. Dia bahkan hapal irama dan gerakan para pemain, kecuali yang kesurupan tentunya. Berbeda denganku yang belum pernah menyaksikan jaran kepang yang umumnya digelar malam hari itu. Bapak selalu melarangku menontonnya. Bapak bilang itu musyrik, tidak baik. Percaya sama hal seperti itu. Tidak edukatif. Entah apa makna kata itu, tapi kata itu membuat jaran kepang dan lengger seolah tidak modern, lha wong sampai dibilang tidak edukatif.

Awalnya tiap kali Ratri mengajakku menonton jaran kepang aku selalu menolak dengan memberikan alasan seperti yang Bapak ajarkan. Namun, lama-kelamaan aku terpikat juga dengan rayuan Ratri. Apalagi Ratri bilang,"Ora bakal melbu neraka mung merga ndelok lengger, asal sholat tetep 5 wektu. Yo opo ora??".

Ditambah lagi cerita Ratri yang mampu mengambarkan lengger begitu apik. Katanya para penari itu menari begitu indah, musik yang mengalun mampu menghilangkan penat. Pokoknya benar-benar menghibur lah! Bukan orang jawa namanya kalau belum pernah nonton jaran kepang, dalihnya suatu waktu.

"Tinggal sekarang kamu ini orang Jawa bukan? Kalo iya, ya nontonlah!," bujuk Ratri sore sebelum pertunjukan kuda lumping.
Karena penasaran dan ingin dianggap sama dengan anak lain, aku mengiyakan ajakan Ratri untuk menonton jaran kepang malam ini. Ratri tidak pernah absen nonton jaran kepang, sebab kakekknya adalah pawang jaran kepang. Kemana saja kakeknya tampil, Ratri selalu diajak, tapi belum boleh ikut main sebab dia masih anak-anak. Umurnya baru 12 tahun sama denganku.

Sampai di lapangan aku celingak-celinguk kebingungan mencari Ratri yang sudah lebih dulu berlari. Tiba-tiba ada yang menggamit tanganku,"Ayo!," ternyata itu Ratri. Baru saja dia mencarikan tempat yang strategis untuk kami menonton, di pojok kanan yang cukup sepi namun pertunjukan dapat terlihat jelas.

Saat aku mulai melihat aksi jaran kepang itu, ternyata beberapa pemain sudah mulai kesurupan. Seorang ada yang mengambil piring dan memecahkannya. Lalu serpihan-serpihan piring-piring itu dimakan begitu saja seperti kerupuk. Aku sampai melongo dilihatnya.

"Untung piringnya pas," celetuk Ratri.
"Apa maksud kamu?,"tanyaku tak mengerti.
"Kadang, setan yang masuk tidak suka dengan piring yang disediakan. Terus piringnya dibanting, dilempar-lempar ke penari lain. Kalau sudah begitu mbah kakungku yang beraksi, sudah harus nimbul.,” jelas Ratri panjang lebar.

"Nimbul?", dahiku mengernyit mendengar kata asing itu.
"Itu artinya mengeluarkan setan yang sudah masuk ke dalam tubuh. Hanya yang punya mata batin yang bisa nimbul. Kalau tidak ada tukang timbul, pertunjukan tidak akan pernah selesai. Lha wong setannya nggak mau pergi."
Aku hanya ber-oo panjang tanda mengerti.

Kami kembali asyik menikmati aksi para pemain. Ada yang mengambil ayam hidup, lalu memakannya mentah-mentah hingga darah ayam itu muncrat kemana-mana. Aku ngeri melihatnya. Namun, justru sebaliknya dengan Ratri dan penonton lain, mereka bertepuk tangan dan bersorak riuh.

"Ratri, aku mau pulang saja," kataku kepada Ratri diantara teriakan para penonton yang tampaknya mulai ikut menggila.
"Sekarang? Kamu belum lihat lenggernya. Sebentar lagi keluar kok"

Tak lama kemudian, tampak 2 penari wanita yang menari seiring dengan hentakan alunan musik. Gerakan mereka tampak luwes dan bersemangat tetapi beraturan tidak seperti pemain yang kesurupan. Tarian mereka memang tidak halus seperti layaknya tari jawa,namun justru menghentak. Sesekali mereka mengeluarkan sorakan saat gong dibunyikan. Tarian mereka begitu indah dinikmati.

"Itu lenggernya. Bagus kan?," kata Ratri menjelaskan.
Aku mengangguk. Tarian mereka memang lebih bisa dinikmati dan manusiawi menurutku.
"Ayo sekarang kalau pulang, nanti kamu dimarahi Bapakmu," ajak Ratri.
Aku mengiyakan dengan segera beranjak dari dudukku dan berjalan. Ratri mengikuti.
"Kamu mau pulang juga?," tanyaku.

"Iya. Aku sudah tahu kok lanjutan jaran kepangnya seperti apa. Aku mau pulang saja, bareng kamu. Biar tidak pulang sendiri," jawabnya.

Kami berduapun pulang bersama. Untung malam itu bulan purnama, sehingga kami tidak perlu obor untuk menerangi jalan kami. Rumahku dengan rumah Ratri berjarak 10 rumah. Agak jauh, tapi masih satu deret. Rumahku lebih dulu dilalui daripada rumahnya. Ketika kutawarkan untuk kuantar sampai rumahnya, Ratri menolak. Dia justru meminta yang lain.

"Sholeh,Kapan-kapan ajari aku baca Qur'an dan mengaji.seperti kemarin-kemari ya? Aku ingin menjadi pemain lengger kalau sudah besar tapi yang bisa mengaji," pintanya. Aku tersenyum mendengar permintaanya itu. Pemain lengger yang bisa mengaji, agak janggal saja rasanya.

"Tentu, nanti aku ajarkan kepadamu semua yang aku tahu." jawabku sambil tersenyum.
"Sayang sekali mbah kakung cuma bisa nimbul tapi tidak bisa sholat dan mengaji. Padahal aku senang sekali lho melihat orang sholat. Mbah kakung selalu marah-marah tiap aku tanya tentang sholat. Apalagi kalau Mbah tahu aku belajar sholat, wah aku langsung dihukum," keluh Ratri dengan wajah bulatnya yang lucu.

"Tahu mengapa Mbahku begitu?." Aku mengeleng.
"Kata orang Mbah kakung itu orang kejawen. Aku juga ndak tahu artinya apa."
"Kalau Bapakku sebaliknya tidak tahu tentang jaran kepang. Aku selalu tidak boleh minta ijin menonton jaran kepang. Katanya aku bisa musyrik, percaya sama setan. Lalu tidak takut sama Allah. Ternyata bapak salah, aku tidak jadi musyrik kok," aku menimpali.

"Musyrik itu apa?," tanya Ratri.

'MUSYRIK ITU ORANG KAYA KAMU DAN MBAHMU! TIDAK PERCAYA DENGAN ALLAH DAN TEMPATNYA DINERAKA!!!," bapak menjawab dengan nada membentak. Ternyata bapak sudah dibelakang kami. Bapak marah besar mengetahui aku keluar malam-malam dengan Ratri, menonton jaran kepang pula.

Aku ketakutan setengah mati, begitu juga Ratri. Dia langsung lari terbirit-birit kerumahnya.

Seketika itu juga bapak menyeretku pulang. Aku dengan perasaan takut yang luar biasa mulai menangis. Perasaanku campur aduk, antara takut dan marah. Aku seolah tidak terima Bapak menyebut Ratri musyrik. Sungguh bapak keterlaluan, pikirku.

Malam itu juga, hukuman untukku ditetapkan. Bukan berdiri semalaman sambil membaca surat yassin seperti biasanya, atau mencuci dan menimba air sebulan penuh, akan tetapi mondok. Besok pagi aku akan diantar bapak mondok di tempat bapak mondok dulu. Hatiku berontak, aku masih ingin menikmati masa kecilku dirumah bersama keluarga dan teman-temanku yang lain. Tapi bapak berkata lain, bapak sudah jengah melihat aku yang kian hari kian akrab dengan Ratri, cucu Mbah Jatmiko, ahli jaran kepang di kampung kami. Sudah menjadi rahasia umum sejak dulu Bapak dan Mbah Jatmiko bersitegang. Bapak menentang keras jaran kepang, sedangkan Mbah Jatmiko adalah pelopor jaran kepang di kampung kami hingga terkenal sampai kampung-kampung lain. Selain itu Bapak adalah ulama terpandang di kampong sedangkan Mbah Jatmiko adalah orang kejawen yang sangat keras.

Bapak tidak sudi melihat aku, putra sulungnya, bergaul akrab dengan cucu musuh bebuyutannya itu. Bapak khawatir aku akan tertular virus jaran kepang, yang kata bapak bisa membahayakan iman. Padahal tidak seperti itu, Ratri memang selalu bercerita tentang menariknya jaran kepang, namun ia juga selalu minta diajari mengaji. Ia tidak seperti anak yang lain, minatnya kepada agama begitu besar, bahkan menurutku lebih besar dibanding aku sendiri. Itu yang bapak tak pernah tahu, bapak melihat Ratri hanya dari sudut pandang Bapak, tanpa pernah peduli isi hati Ratri yang sebenarnya.

Malam itu, bapak meyumpahi Ratri yang membujukku keluar, aku dimarahi habis-habisan. Bahkan tidak akan dianggap anak lagi jika aku berani melanggar larangan Bapak. Bapak memang orang yang sangat otoriter, keras kepala. Keputusanya malam ini pun tidak dapat ditawar lagi, aku besok akan dikirim ke Jombang. Mengaji disana hingga alim seperti bapak, tidak boleh pulang sebelum 10 tahun mengaji. Mendengar keputusan bapak itu, aku justru teringat dengan waktu yang kuhabiskan bersama teman-teman, termasuk Ratri. Esok pagi aku sudah tidak bisa lagi menangkap belut tiap masa tanam akan berlangsung, atau memet; mencari ikan-ikan kecil di kali bersama yang lain, juga bermain layang-layang di lapangan, hilang sudah masa kecilku, hilang waktu bermainku, hilang kesempatan bertemu Ratri lagi meski untuk sekedar berpamitan.



10 tahun kemudian.

Aku menerima surat itu dengan tangan gemetar. Surat itu kuterima dari tangan Iffah, adikku.
Surat yang ditulis oleh tangan Ratri sendiri,Ratri teman masa kecilku.
Sudah 10 tahun aku tidak pernah bersua dengannya. Kabarnya pun baru akan kudengar sekarang.
"Mbak Ratri pengen banget bisa ketemu Mas Sholeh," kata Iffah.
Tanganku bergetar hebat membuka lipatan kertas.

Untuk Sholeh
Semoga damai selalu dalam harimu

Assalamualaikum wr.wb.
Apa kabar Sholeh? Masihkah kau ingat denganku yang membuat kau dimarahi habis-habisan oleh Bapakmu? Aku yang selalu menjadi teman sebangkumu dari kelas 1 hingga kelas 6, aku yang selalu minta kau ajari mengaji, aku yang selalu memaksamu menonton jaran kepang dan lengger, aku yang begitu dibenci oleh Bapakmu.
Aku hanya ingin mengucapkan maaf atas segala yang pernah aku lakukan kepadamu. Aku menyesal memaksamu menonton malam itu yang justru membuat aku tak pernah lagi bertemu denganmu. Aku meminta maaf aku tak pernah bisa mengajari sesuatu yang berarti bagimu, tapi kau justru mengajariku begitu banyak hal. Darimu aku tahu syahadat, darimu aku bisa sholat.
Masih ingatkah kau saat aku pertama kali belajar puasa? Kau selalu mengawasiku hingga maghrib, memastikan aku menyempurnakan puasaku. Aku masih ingat betul suaramu yang sangat merdu saat menjadi imam ketika kita sekelas sholat berjamaah. Suaramu itu yang membuatku selalu semangat mengaji, semangat belajar menjdi wanita sholehah yang kau sebut sebagai perhiasaan dunia. Aku ingin sekali disebut wanita sholehah, aku ingin sekali nama kita menjadi mirip. Aku ingin sekali kau bisa mengajari aku mengaji lagi. Ingatkah kau pernah berjanji akan mengajarkanku semua yang kau tahu?
Ah tentu kau sudah sangat pandai sekarang, dan waktu yang kau perlukan untuk mengajarkan segala yang kau tahu akan menjadi sangat panjang bukan?
Karena kau jugalah, aku dapat mewujudkan cita-citaku, pemain lengger yang bisa mengaji dan rajin sholat, meskipun aku harus mengerjakannya sembunyi-sembunyi dari mbah kakung.
Percaya tidak? Aku selalu membaca doa setiap akan pentas,doa yang dulu kauajarkan, doa khusnul khotimah.Karena itu,aku selalu tampil memukau. Aku senang sekali, doamu itu manjur benar.
Tapi sekarang aku berhenti menjadi pemain lengger, sejak Mbah kakung meninggal. Aku sudah pakai jilbab. Kata adikmu, Iffah, seorang yang berjilbab tidak boleh lagi membuka auratnya. Padahal kau tahu sendiri kan? Pakaian pemain lengger hanya kemben, rompi bahu dan celana selutut. Karena itu aku tak pernah lagi menjadi pemain lengger, aku hanya menjadi penabuh kenongan. Untung aku masih diterima meski aku berjilbab. Katanya karena aku cucu Mbah Jatmiko, takut kualat kalau aku ditolak.
Kualat, pasti kau orang yang tak pernah takut kualat. Apalagi sekarang, kau hanya takut pada Tuhanmu kan? Ah, itu yang membuat berbeda dari pemuda lain. Aku sungguh bangga. Bangga pernah menjadi temanmu. Bangga pernah menjadi teman sebangkumu. Bangga pernah kau ajari mengaji. Bangga yang meluap-luap. Membuncah-buncah. Hingga aku tak tahu disebut apa. Yang aku tahu aku hanya selalu ingin bertemu denganmu, diajari mengaji lagi, dibimbing sholat lagi. Manjadi yang halal bagimu, menjadi yang mendampingi sisa hidupmu.
Maaf, jika apa yang aku utarakan ini berlebihan. Maaf, jika aku tidak tahu diri. Seorang yang pernah dibilang musyrik oleh ayahmu memintamu untuk meminangnya.
Tapi apa daya aku berkata? Aku hanya gadis yang tak bisa membohongi perasaanku sendiri.

Wassalamualaikum. Wr.wb.

Ratriningsih
Yang ingin menjadi SHOLEHAH
Aku melipat kembali surat dari Ratri dengan perasaan haru. Aku tak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan bahasa, perasaan itu membuncah-buncah hingga aku tak dapat membendungnya. Air mataku meleleh.

"Mas?," Tanya Iffah. Aku menghapus buliran bening di pipi dan mataku.
"Mas, nggak apa-apa kan?,"Iffah berusaha memastikan.

"Nggak apa-apa," jawbku kelu."Bagaimana Ratri sekarang?," tanyaku.

"Setelah menitipkan surat itu, Mbak Ratri didatangi oleh kelompok islam militan.
Mereka mengajak Mbak Ratri untuk menjadi salah satu pejuang jihad fi sabillilah, kedok mereka licik sekali. 1 bulan berselang, terdengar kabar, Mbak Ratri… Mbak Ratri menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel Hilton," Iffah menceritakan dengan suara terbata-bata. Aku yang mendengarnya nyaris tak percaya.

"Mas tahu apa yang kelompok teroris itu janjikan pada Mbak Ratri? Mereka bilang Mbak Ratri akan menjadi gadis Sholehah yang selalu diingat oleh umat. Mbak Ratri akan menjadi penghuni surga bersama yang dicintainya. Mereka sama sekali tidak mengatakan bahwa mbak Ratri akan tercabik menjadi ratusan bagian yang tak bis diidentifikasi. Mereka tidak menyebutkan mbak ratri justru akan membunuh puluhan muslim lainnya." Mata Iffah sekarang sudah sama sembabnya dengan mataku.

"Lalu bagaimana reaksi Bapak mendengarnya?," tanyaku.

"Bapak tidak mengucap sepatah katapun. Tapi aku tahu, Bapak menyesal atas kata musyriknya dulu. Sekarang Bapak memang sudah tak bisa berkata apa-apa, Bapak.. Bapak sudah tiada," Iffah menangis semakin keras. Tangisku tak kalah kerasnya.

"Iffah, aku menyesal sekali telah mengecewakan banyak orang termasuk kamu. Apalagi Bapak dan Ratri yang sangat aku cintai, yang aku belum sempat meminta maaf kepada meraka atas apa yang aku lakukan. Seandainya Bapak dan Ratri tahu aku sekarng dipenjara karena kasus narkoba, pasti mereka sangat kecewa. Pasti ratri tak akan menulis surat itu. Pasti bapak akan meleyangkan kata musyrik itu kepadaku. Aku sangat menyesal…". Dari balik jeruji Iffah memegang tanganku, seolah hendak memberiku kekuatan.

"Sekarang saatnya berubah mas, jangan sampai terlambat untuk yang kedua kalinya."
Aku semakin tergugu, mendengar kata-kata Iffah yang begitu tulus. Aku, terpidana seumur hidup karena penyelundupan narkoba 3 kg di Bandara Soekarno-Hatta. Aku, yang gagal mewujudkan mimpi bapak dan Ratri. Aku, yang terjerumus sebab setan-setan itu tak mau pergi dari hatiku. Aku, yang membiru di sel tahanan itu.

Magelang, 10 Maret 2009

Monday, 16 March 2009

BULAN DI ATAS BALKON, sebuah cerita

00:13 1 Comments



Awan itu beringsut pelan. Menampilkan bulan dengan caranya yang anggun. Perlahan dari langit cahaya jingga mulai berpendar, menggeser awan yang semula menutup para bintang dan kilau sang bulan.
Dari balkon, aku termangu menyaksikan fragmen malam yang begitu memesona. Inikah purnama yang sempat kau janjikan? Dimana selalu sama sisi yang tampak, kemarin, sekarang, esok dan lusa.
Mendadak fragmen tentangmu muncul begitu saja. Ada kamu yang menemaniku mengetik tiap malam. Ada kamu yang rajin membuat kopi di pagi hari untukku. Ada kamu yang membuka pintu dengan senyum yang tak pernah surut. Ada kamu yang selalu menyediakan telinga untuk mulutku yang rajin mengomel. Ada kamu, ada beribu kamu yang terpecah menjadi berjuta sel di otakku. Begitu pula aku memahamimu, tak pernah bisa utuh.
aku masih belum mengerti mengapa kau selalu mampu memberiku sandaran saat aku lelah tanpa sekalipun kau meminta tempat bersandar layaknya wanita lain. Atau kebiasaanmu menanam melati di malam hari saat purnama menjadi raja. Belum lagi kau yang selalu menghindari obrolan para tetangga yang gemar menggosip. Kau begitu berbeda dengan yang lain. Kau unik tetapi kau tetap seorang wanita yang selalu mencintai dengan air mata. Uniknya air matamu itu justru kau tampung di sebuah botol kaca. Dengan perlahan kau kumpulkan tiap tetes air matamu lalu kau masukkan ke dalam botol kaca itu. Kau bilang itu adalah cara jitu untuk mengalihkan perhatian, sehingga kau bahkan lupa kau sedang menangis. Lalu tahu-tahu pipimu sudah kering saja.
Dan tidak hanya satu botol yang kau punya, tapi belasan. Satu botol untuk satu alas an. Begitu kau bilang. Sempat aku mencoba bertanya apa sajakah alasan itu? Kau hanya tersenyum dan berbisik, pokoknya kamu salah satunya.
Aku menjadi merasa bersalah mendengar jawaban itu. Bagaimana tidak? Aku ternyata mampu membuatmu menangis dan bahkan menjadi salah satu alasan yang paling sering.
"Tapi botolmu paling berbeda dengan yang lain. Ada dua alasan untuk satu botol."
"Dua? Kau ternyata menduakan aku dengan alasan lain?"
"Iya." Aku bersungut mendengarnya. Sesal berganti kecewa. Merasa tak terima di campurkan dengan yang lain padahal yang lain tidak.
"Aku menyatukanmu dengan cinta".
Ah, kau ini, selalu saja punya cara berbeda untuk membuatku tersenyum dan bernapas lega.
"Meski aku tahu kau menyatukan cintamu untukku dengan cinta untuk yang lain".
Setelah berkata begitu, kau akan memandangi purnama semalaman. Tanpa aku bisa mengusik atau sekedar mengucapkan selamat malam.
Kau begitu larut dalam cahaya purnama. Aku heran mengapa kau begitu khusyuk?
Apakah ada alasan gaib? Atau yang lain?
Tapi aku tahu betul kau orang yang sangat rasional. Segala kau pikirkan masak-masak. Tak ada yang meleset dari perencanaan dan keluar dari penjadwalan. Harus ada alasan yang masuk akal atas setiap tindakan yang kau lakukan. Begitu juga dengan mencintaiku.
Alasanmu kala itu adalah untuk menjadi penyeimbang hidupmu yang terlalu rasional. Kau ingin menjadi orang yang berada di tengah, tidak condong atau malah memihak sepenuhnya. Karena itu kau perlu sesuatu yang irrasional, yaitu cinta. Saat aku bertanya, mengapa aku yang kau pilih? Padahal kau tahu betul aku tidak mencintaimu.
Jawabmu enteng saja,"Itu yang akan membuat cintaku semakin tidak rasional. Jika aku mencintai orang yang mencintaiku, itu masih bisa dinalar. Aku ingin sesuatu yang diluar akalku. Kamu".
Dengan orang yang sangat taktis semacam kau, aku selalu dibuat bisu. Tak bisa menyanggah bahkan berkomentar. Kata-katamu itu selalu menjajah aku yang begitu labil. Aku yang tak pernah punya rencana, apalagi penjadwalan ketat macam kau. Kubiarkan hidup mengalir saja. Begitu juga saat bertemu kau. Aku tak pernah menarget kita akan menikah suatu hari atau bahkan saling mencintai. Aku pikir jika kita memang harus bersama, ya bersama. Seperti sabda Allah, Kun Fayakun* maryam:35.
Balik kau yang bertanya, "Sekarang mengapa kau bersama aku yang tidak kau cintai?". Jawabanku tak kalah enteng," Karena kau mencintaiku, aku hanya butuh waktu untuk mencintaimu. Tapi jika kau yang tidak mencintaiku, lebih dari sekedar waktu yang kau butuhkan".
Lalu senyummu yang manis sekali itu akan tampak berkilauan. Aku ikut-ikutan tersenyum. Begitu saja kita lalui hari-hari kita. Kau tetap kau yang idealis dan aku tetap aku yang aku. Tidak berubah sedikitpun menjadi kekamu-kamuan. Pun kamu, tak menjadi keaku-akuan.
Aku tetap belum bisa mencintaimu, selalu saja aku menduakanmu tiap hari dengan yang lain. Kau sendiri tak pernah gusar bahkan meski aku tak pernah sekalipun meyentuhmu meski kita telah diikat ijab qabul. Tetangga mulai membicarakan kita. Ada yang bilang kau mandul, ada yang menyebutkan aku selingkuh. Bahkan seorang menuduh kita menikah hanya untuk menyelesaikan kontrak.
Mungkin salah satunya benar, tapi entah yang mana. Kau tak pernah tertarik membahas hal itu, kau bilang selalu ada yang lebih penting. Yang penting aku mencintaimu dan kita seatap. Soal kau mencintaiku atau tidak, itu urusanmu. Aku tidak ingin bergantung dengan cintamu, aku mandiri. Aku bergantung kepada cintaku untukmu. Itu yang harus kau tahu."
Masalah mulai timbul saat kau mulai sering menatap langit malam, entah ada purnama atau tidak. Kau mampu duduk dibalkon sejak isya hingga menjelang subuh. Sehari dua hari aku masih mendiamkanmu, tapi beranjak hari ketiga aku mulai khawatir. Kau selalu menolak kuajak kedokter atau psikiater. Mendengar jawabanmu yang tak bisa ditawar, aku hanya bisa manut. Ah betapa sulitnya memahamimu. Kau tak pernah memberiku penjelasan mengapa kamu seperti itu. Saat aku bertanya, apakah karena aku yang tak pernah bisa mencintaimu? Kau langsung berlari menuju balkon dan mengunci pintu. Aku kaubiarkan sendiri dengan pertanyaan yang tak pernah bisa terjawab.
Sampai suatu hari aku terpaksa membawamu ke rumah sakit. Aku khawatir betul saat kau tak sadarkan diri. Dokter memvonis kau mengidap leukemia. Sebenarnya kau sudah tahu tapi tak pernah mau memberitahuku. Semalaman aku menangis disampingmu yang koma.
Hari berikutnya kau sadar dan langsung minta diantar ke balkon bersamaku. Semula aku menolak tetapi kau bilang kau hanya ingin memberiku jawaban. Lagi-lagi aku manut.
"Bulan tak pernah berganti sisi ketika bertemu bumi. Hanya yang tampak oleh mata melebar kian hari hingga penuh utuh menjadi purnama. Itulah kamu. Itulah kenapa aku selalu melihat bulan. Karena aku melihat kamu disitu. Aku yakin sekali kamu akan menjadi matahari suatu saat nanti buatku setelah kau usai menjadi bulan. Aku yakin sekali".
Aku membiarkan saja air mataku jatuh berguliran. Aku minta maaf ternyata aku belum berhasil mencintaimu, bisikku ditelingamu. Kau mengangguk lemah lalu meminta diantar kembali kekamar.
Itulah terakhir kita sempat berbicara banyak. Setelah itu kau kembali tak sadarkan diri lagi hingga sekarang. Aku mulai mencerna kata-katamu yang masih sulit kupahami itu.
Aku sadar betul aku lelaki. Aku tahu betul kewajibanku sebagai seorang muslim. Tapi sebagian hatiku ternyata menolak, menolak mencintai wanita. Aku adalah pecinta sesama yang tak pernah mewujudkannya seperti gay yang lain. Cukup di hati saja, karena aku tahu batasan. Aku tahu agama telah mengatur yang seharusnya, termasuk kewajiban menikah dengan perempuan.
Saat pertama kali aku mengatakan siapa aku yang sebenarnya, kau tak terkejut sama sekali. Aku ingat betul raut mukamu saat itu. Kau juga sangat memahami, aku yang tak bisa menyentuhmu dengan cinta layaknya suami lain.
Kembali aku menatap purnama, mengapa aku kau samakan dengannya? Apakah aku akan berhenti pada penolakanku mencintai wanita? Apakah iya? Apakah aku bisa mencintaimu pada akhirnya?
Dan disinilah aku, menatap bulan lewat balkon untuk mencari jawaban. Aku mencoba mengingat segala yang pernah kita lewati. Apakah ada cinta yang pernah terpercik? Apakah ada gelora yang sempat ada?
Tepat saat bulan mulai akan tenggelam, aku dipanggil ke ruang ICU. Kondisimu semakin kritis. Tiba-tiba aku menjadi sangat takut kehilanganmu. Aku ingin lagi mengulang semua yang pernah kita lewati. Aku ingin menjadi imammu lagi. Aku ingin membelai rambutmu yang halus. Aku ingin menyentuhmu dengan cinta, sebab sekarang ternyata aku sudah merasakannya.
Aku merasakan cinta kepadamu tepat disaat Izrail menjemputmu. Hadirnya rasa cinta kepadamu harus ditebus dengan kehilanganmu. Begitukah yang semula kusebut hidup mengalir? Oh, ternyata semesta ini cair, bergerak dan tak pernah berhenti berubah.


Aku memandangi nisanmu dengan haru. Kau yang menyembuhkanku. Membuatku menjadi lelaki yang seutuhnya yang dapat mencintai wanita, bukan sejenisku. Setelah membaca tahlil, aku meletakkan bunga melati yang dulu sempat kau tanam. Begitu asyiknya aku bercengkerama, sampai tak sadar gerimis mulai menyapa. Seolah ikut sendu kehilanganmu meski sudah 3 tahun kau berlalu.
"Ayo Abi, hujannya sebentar lagi deras. Nanti Faya bisa masuk angin," Nia, istriku yang sekarang mengajakku beranjak.
Sekilas kupandangimu namamu yang tertoreh dinisan sambil menggendong buah hatiku, Faya. Sedang dibawah nisan itu terbaring pula seorang Faya lain, yaitu kamu.
Aku selalu mengingatmu yang menjelma menjadi anakku.
Kau sungguh benar, kini aku mampu menjadi matahari.

Sunday, 1 March 2009

SURAT UNTUK AYAH

03:57 0 Comments

Aku berdiri tak tenang di depan gerbang sekolah. Sudah lebih dari 1 jam aku menunggu dan tahu-tahu kesabaranku sudah mencapai ubun-ubun saja. Ayah lagi-lagi membatalkan janji sepihak begini. Tadi pagi sebelum aku berangkat sekolah Ayah menulis pesan untukku yang ditempelkan di depan pintu bahwa Ayah akan menjemputku sepulang sekolah lalu kami akan menghabiskan hari berdua untuk merayakan ulang tahunku yang ke enam belas hari ini.


Tampaknya semua akan cukup indah hari ini meski aku tidak mendapati ucapan selamat ulang tahun dan kecupan manis Ayah tepat tengah malam tadi atau sekedar kue ulang tahun yang bertatahkan lilin yang menyala. Bagiku janji menghabiskan waktu berdua sudah lebih dari sekedar kado indah dari Ayah yang hampir sejak 3 bulan ini tak pernah punya waktu untukku. 



Ayah selalu berangkat ke kantor sebelum aku bangun dan pulang setelah aku tertidur lelap. Otomatis aku tidak pernah mengoborol dengannya. Meski sekarang sudah ada tekhnologi dan Ayah memfasilitasiku dengan semua itu, tetap saja jarak diantara kami makin menganga hari demi hari.

Drrrt..drrrt.. handphoneku bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayah, segera kuangkat.
"Sayang, Maafkan Ayah, Ayah nggak..".Klik. aku memutuskan sambungan telepon itu. Aku sudah tahu sekuelnya. Daripada mendengar langsung dari Ayah membuatku semakin lara lebih baik aku matikan telepon itu. Ini seperti saat Ayah berjanji akan mengambilkan raportku namun ternyata Ayah tidak bisa karena ada janji dengan klien yang mendadak. Sontak emosiku meledak, merasa aku tak lagi punya harga di mata Ayah. Merasa aku tak punya arti buat Ayah. Untung kala itu ada Tante Linda, mama Ical,mama pacarku. Tante Linda berbaik hati mengambilkan raportku dan untungnya wali kelasku menyutujuinya.

Kali ini aku sudah tidak bisa lagi menahan emosi. Aku menelpon Ical, meminta diantar pulang ke rumah, tidak kemana-mana. Aku hanya ingin pulang dan sendiri saja. Ical manut, jadilah aku sampai dirumah 30 menit kemudian.
"Nad, kalo ada apa-apa kamu harus ngasih tahu aku ya?", Ical berharap cemas, seolah aku ini hendak bunuh diri saja. Aku tersenyum tipis dan mengangguk.
"Kalau kamu butuh cerita,aku siap kapan aja," Ical sibuk menawarkan bantuan.
"Makasih sayang, makasih banget. Aku cuma butuh sendiri sekarang".
"Ini hari ulang tahun kamu, seharusnya kamu nggak melewatkannya dengan cara begini". Aku tersenyum getir dan melangkah masuk kerumah.

Sesampainya dikamar, aku mengambil album foto keluargaku. Masih ada Ibu yang menggendongku, Ayah yang mengajariku bersepeda dan kami bertiga yang belajar berenang bersama-sama sebab sama-sama tidak bisa. Ada juga fotoku sedang mengangkat piala tinggi setelah memenangkan pertandingan catur saat berusia 10 tahun. Ayah mengangkatku tinggi-tinggi dan ibu tersenyum manis sekali.

Sayang sekali kebersamaan itu luntur, sejak Ibu meninggal 3 bulan yang lalu. Tahu-tahu Ayah menjadi sangat sibuk dan tak punya waktu. Sekedar makan malam bersama atau mengantarkanku ke sekolah tak lagi sempat. Aku malah lebih banyak menghabiskan waktu dengan Ical. Dan Ayah? Tenggelam dalam dunianya sendiri seolah aku tak ada lagi..

Aku sudah memutuskan untuk menulis surat saja buat Ayah. Kupikir itu lebih baik dan Ayah bisa membaca sesempatnya. Surat yang mengabarkan aku sudah lelah merasa sendiri dan tak dianggap penting atau bahkan mungkin dianggap ada. Jadi begini bunyi suratku..

Untuk AYAH
Terima kasih Ayah, Ayah selalu pulang setelah waktu makan malam usai sehingga aku bisa makan tanpa peraturan yang kaku
Terima kasih Ayah, Ayah terus mengganti perhatian dengan uang sehingga aku kelelahan mengahabiskannya sendirian
Terima kasih Ayah, Ayah tak pernah menjemputku atau mengantarkanku sehingga aku punya lebih banyak waktu dengan Ical
Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi menemamiku main catur di sore hari sehingga aku bisa berkeliaran sesukaku
Terima kasih Ayah, Ayah tak lagi sempat mengambil raportku sehingga aku tak perlu melihat kebanggaan yang mengharu biru
Terima kasih Ayah, Ayah sudah melupakan hari ulang tahunku sehingga aku tidak perlu menutup mata untuk membuat permintaan sesaat sebelum meniup lilin

Maaf., aku tidak pernah mengerti dunia Ayah
Maaf, aku terlalu banyak menuntut waktu Ayah
Maaf, aku selalu saja tak peduli dengan apa yang terjadi pada Ayah
Maaf, aku tak lagi pernah bercerita tentang duniaku kepada Ayah
Maaf, aku tak lagi memberi dekapan hangat dan ucapan selamat pagi sebelum memulai hari
Maaf, aku membebani hidup Ayah
Maaf, aku menjadi anak Ayah yang membuat Ayah tak bahagia
Maaf, aku tak lagi bisa merasakan cinta dalam keluarga kita
Maaf, aku terlalu menuntut banyak maaf sedang aku tak bisa memberi apa-apa

-NADIA-


Pada baris terakhir dimana namaku berada, air mataku menetes lembut. Aku terlalu lelah sekarang untuk menahan air mata. Aku tidak lagi percaya aku masih punya keluarga. Aku lelah.. aku kehilangan arah..

Tepat pukul 11 malam aku terbangun, ternyata menangis menguras air mata dan aku kelelahan karenanya. Tahu-tahu aku sudah terbangun saja. Namun ada yang aneh, surat yang kutulis untuk Ayah tidak lagi disebelahku. Ada secarik kertas lain yang ditujukan untukku.

Untuk Nadia, malaikat kecil Ayah yang beranjak dewasa

Maaf, Ayah tak pernah lagi menemanimu makan malam atau sekedar main catur di sore hari. Ayah tahu nak, Ayah telah terlalu jauh mengabaikanmu. Tapi bagaimanapun juga sekarang Ayah sendiri. Sendiri mengurus kantor dan usaha perkebunan bunga yang dulu sempat dikelola ibu. Sendiri juga Ayah harus mengatur diri. Sendiri membesarkanmu dan pada yang terakhir ini ternyata Ayah gagal. Ayah tak pernah mau berterus terang kepadamu, kepada permintaan terakhir ibumu, bahwa kaulah yang mengurus perkebunan bunga itu, Ayah pikir kau masih terlalu kecil untuk mendapat beban seberat itu. Ayah takut masa remajamu akan lewat tanpa kau sempat menikmatinya. Ayah takut mengatakan hal ini kepadamu, takut kalau Ayah menyebut Ibu dukamu akan kembali hadir dan Ayah tak sanggup melihatmu menangis karena jauh dalam hati Ayah, Ayah akan lebih dari sekedar menangis. Ayah selalu tak tahan melihatmu bersedih, Nak. Maaf Ayah tak memberitahumu sehingga justru Ayahlah yang membuatmu merasa bersedih atas kesepian yang Ayah ciptakan.
Maaf Ayah tak pernah memberitahumu betapa Ayah sangat khawatir kau bergaul dengan tidak benar, berkawan dengan orang yang salah. Tapi ternyata kau memilih Ical masuk dalam hidupmu dan Ayah selalu yakin dengan pilihanmu. Meski Ayah sangat khawatir Ayah rasa Ayah tidak perlu mengatkannya kepadamu karena Ayah pikir itu hanya akan membuatmu merasa terbelenggu.

Maaf Ayah tak pernah memberitahumu, setiap malam Ayah selalu masuk kamarmu dan tidur disebelah ranjang diatas karpet merah itu. Ayah selalu menciummu keningmu diam-diam dan menatap senyummu yang damai dalam tidur. Itu membuat Ayah lebih kuat untuk menjalani eok hari. Hanya kamu yang memberi Ayah kekuatan. Hanya senyummu yang membuat Ayah bertahan.
Maaf Ayah membuatmu menutup telepon siang tadi. Ayah ingin berkata sebenarnya. Ayah ada di makam Ibu. Mengabarkan kepadanya tentang kau yang terus membuat kami bangga dengan prestasi dan tumbuh menjadi gadis manis yang sungguh cantik. Ayah juga bercerita kepada Ibu betapa Ayah sangat bangga kau tetap menjadi juara pertama di sekolah meski Ibu tidak ada lagi. Ayah menceritakan semuanya Nak. Ayah pikir Ibu juga harus berbahagia di ulang tahunmu ini. Tapi Ayah justru membuatmu kecewa dengan tidak menngatakannya. Entah mengapa sekarang Ayah terlalu takut berkata apa-apa. Takut Ayah akan terlalu sering mengucapkan nama Ibumu dan kau akan merindukannya dan merasa tersiksa. Dan disinilah kesalahan Ayah. Ayah tak lagi pernah berbicara kepadamu. Ayah tak pernah lagi mengatakan betapa Ayah sangat menyayangimu dan bangga padamu. Ayah terlalu takut membagi beban tentang kesedihan ditinggal Ibu. Ayah terlalu sibuk mencintaimu tapi tak pernah membuktikannya dihadapanmu.
Maaf Ayah terus membiarkanmu sendiri, maaf Ayah terlalu sering membuatmu kecewa. Maaf Ayah menyayangimu tapi kau tak lagi tahu.

Sayang, disebelahmu Ayah meletakkan kue ulang tahunmu. Entah apakah sekarang lilinnya masih menyala atau tidak. Jika masih dan kau menginginkan Ayah menemanimu untuk meniupnya, turunlah. Ayah menunggumu didepan gerbang. Tapi jika sudah lewat tengah malam dan kau tak juga turun, Ayah mengerti. Memang Ayah terlalu banyak bersalah dan lebih baik kau sendiri. Ayah mengerti dan Ayah akan membiarkan kau melakukannya sendiri.

-Ayah-


Sampai pada titik terakhir, surat itu sudh basah oleh air mataku. Aku segera berlari keluar membawa kue ulangtahunku yang sudah dingin. Ternyata Ayah sudah menungguku sejak tadi dan teteap terjaga.
"Ayah..",aku berkata pelan. Ayah tersenyum menatapku. Segera aku berlari memeluknya.
"Ayah menyayangimu tapi Ayah tak memberitahumu. Maaf."
"Aku yang bodoh, tak pernah merasakannya."

Dan kami pun tenggelam dalam tangis disaksikan oleh kue ulang tahun yang membeku.